Setelah enam bulan mengunci diri lantaran berduka, akhirnya El putuskan untuk membuka pintu dan kembali menjalani kehidupan normalnya. Ia berharap sekolah bisa menjadi tempat mengaburkan pilu yang selama ini dipeluknya seorang diri. Tapi seluruh angan-angan indahnya seketika lenyap setelah menghadapi kenyataan di hari pertama sekolah. Tak ada kedamaian, pandangan memusuhi tersirat dimanapun ia berpijak, musuh-musuh baru berkeliaran mengincar. Ancaman, cemooh, tuduhan ... sekolah bukan lagi tempat berwarna baginya. Mereka salah paham. El bukan pelaku dari apapun! Bahkan ia tidak mengerti apa alasan mereka membencinya tanpa celah. Tetap menghindar dan bungkam. El sama sekali tak berkutik terhadap semua orang yang terus berusaha menghancurkannya. Tentu si manis itu bisa menghabisi mereka begitu saja, tapi ia bukanlah gadis gegabah yang senang membuang waktu untuk hal tak berguna. Lagipula ia bukan sang pelaku. Tapi El sudah menyadari apa alasannya. Hari-harinya penuh lamunan dan rasa bersalah. Tidak ada secercah senyuman meski hanya palsu, ia tak mau. Di tengah ramai pertempuran balas dendam itu, munculah satu tokoh anonim dalam kehidupan El. Laki-laki asing yang tiba-tiba menghampirinya dan memberi sebungkus obat luka. Aneh. Tidak banyak yang berubah setelah kedatangan dia, tapi ... gadis itu sekarang tertawa lebar karena ocehannya? "Tenanglah sebentar saat kupeluk, tidak masalah menangis sekarang ... hanya ada aku di sini."