webnovel

BAB 9: ORANG ITU KENAPA SIH?!

Empat hari setelahnya, Kinn duduk-duduk di depan sang Ayah. Mereka memainkan catur di saat senggang, tetapi Korn sangat peka dengan kondisi puteranya. Jari boleh menggerakkan bidak catur kesana kemari, tetapi ekspresi Kinn tak pernah bersih dari kegelisahan.

"Oh, ya. Kudengar kau membawa seseorang pulang beberapa hari lalu," kata Korn mengawali. "Siapa namanya? Ayah ingat terakhir kali kau melakukannya beberapa tahun lalu."

Kinn seketika menghentikan bidaknya. Mungkin ini hal biasa bagi orang lain, tetapi tidak baginya. Korn sangat tahu puteranya senang memanggil lelaki untuk bercinta, atau memburu lelaki mainan di luar. Tetapi, untuk memasukkan orang itu ke kamar pribadinya berhari-hari, itu bukanlah Kinn yang biasanya.

"Porche, namanya Porche Pachara Kittisawat," kata Kinn. Korn pun mengangguk-angguk, lebih dari mengerti sosok Proche itu istimewa. Bila tidak, Kinn takkan menyebutkan namanya selengkap itu. Justru, biasanya Kinn akan meminta agar tidak meneruskan pembahasan mereka. "Dia orang biasa. Hanya mahasiswa gagal sarjana, bekerja sebagai bartender, dan kadang bertarung di bawah tanah."

"Hmm ..." Korn pun melajukan bidak caturnya hingga salah satu kuda Kinn bisa direbut. "Tidak buruk."

"Ayah tidak bertanya dia kenapa?"

Korn menatap mata Kinn lurus-lurus. "Kita masih dalam permainan. Fokus dulu, Nak."

Kinn pun membalas Korn dengan melahap salah satu kudanya juga. "Aku tidak lengah, Ayah. Aku beda dari beberapa tahun lalu."

Senyum tipis pun terbit di bibir Korn. "Ayah tahu."

Kinn kadang memang tak mengerti isi pikiran sang ayah. Biasanya, dia sangat tegas dalam menyikapi sesuatu, tetapi kali ini aneh sekali.

"Ayah akan mengunjunginya kapan-kapan," kata Korn tiba-tiba. "Aku ingin melihatnya sendiri."

"...."

"Kenapa? Kau tidak suka dengan ide itu?"

Kinn pun menggeleng pelan. Dia tampak tidak mood melanjutkan permainan, sehingga Korn pun memerintahkan seorang bodyguard untuk memberesi papan bidak itu.

"Apa Ayah pernah menyakiti Ibu?" tanya Kinn setelah menyesap teh camomile yang diberikan oleh seorang pelayan.

"Tentu saja pernah, tetapi Ibumu wanita paling kuat yang pernah ada," kata Korn. Lalu mengetuk rahang kanannya. "Bila tidak, aku takkan punya bekas luka permanen di tempat ini."

"...."

Benar juga ....

Kinn pun mengangguk-angguk. "Secara sengaja atau tidak?"

"Tentu saja tidak. Mana mungkin seseorang tega melukai pasangannya, kecuali kalau memang sudah tidak suka."

Pembicaraan ini cukup pribadi. Para bodyguard Kinn dan Korn pun paham dan pamit undur diri untuk menjaga di kejauhan.

"Dengar, Nak. Ayah hanya ingin kau fokus dan serius menjalani tiap masalah, tetapi itu tidak berlaku untuk pekerjaan saja," kata Korn. "Jika anak itu memang pilihanmu, tangani dia dengan benar. Kalau tidak terlatih, kau pasti tahu apa yang harus dilakukan agar bisa lebih menjaga diri sendiri."

"Dia bisa menjaga diri sendiri, tapi sepertinya tidak dari aku," kata Kinn.

Korn benar-benar melihat wajah Kinn versi muda saat ini. Kapan terakhir kali puteranya menggalau seperti remaja puber? Dia lupa. Kinn sepertinya kehilangan beberapa persen kewarasannya sekarang.

"Hmmm ...." gumam Korn sedikit bingung. "Lalu maumu sebenarnya apa?"

Kinn masih ternyata masih berputar-putar dalam pemikirannya. "Ayah pernah menyesali saat-saat itu?" tanyanya lagi. "Maksudku, setelah berkelahi dengan Ibu."

Bocah ini ....

Korn pun mencoba lupa dengan gambaran istrinya yang sudah meninggal. Well, itu sebenarnya tidak mudah. Apalagi wajah cantik yang diingatnya mendadak kembali terngiang. Hanya saja, daripada berpikir hal yang tak penting, Korn rasa kegelisahan Kinn saat ini cukup mengganggu, meskipun sedikit naif.

"Ya, tetap saja menyesal. Dan Ayah tak ingin mengulanginya. Tapi ingat. Keluarga kita ada di puncak hirearki masyarakat kelas tinggi. Jika sudah memasukkan satu orang asing jadi keluarga, kau harus tahu kapan membiarkan dia bersenang-senang, atau memberinya pelajaran," kata Korn. "Jadi, kuanggap tindakanmu itu ada tujuannya. Tak masalah. Kau hanya harus lebih berhati-hati di lain hari."

Tatapan Kinn pada cangkirnya pun melembut. "Aku paham, Ayah."

Menjelang sore, Kinn pun kembali dari waktu santainya bersama Korn. Dia pulang ke rumah bagian sayap kanan, sementara Korn mendengarkan informasi lebih detail tentang Porche dari seorang bawahannya.

Korn merasa tak perlu bertanya lebih jauh kepada puteranya. Sebab, apa yang didengar lebih dari cukup kenapa Kinn memilih Porche untuk pulang ke rumah ini.

"Hmph, anak kesayanganmu baru berubah lagi, Pat," kata Korn sambil memandangi foto istrinya yang terpajang di sebelah meja kerja. Wanita itu dipeluk Kinn versi 13 tahun, saat kelulusan sekolah, dan mereka memiliki senyum yang sama persis. "Aku agak miris, tapi ingin tertawa juga melihatnya seperti itu."

***

Niat hati, Kinn mau langsung tidur seperti 3 malam sebelumnya. Dia berbaring di sebelah Porche yang tak bangun-bangun, diam-diam memasang cincin di jarinya sebelum kerja dan bertugas lagi, tetapi kali ini dia diam terpaku di pintu kamar.

"Oii .... ha ha ha! Kinn! Kau ini dari mana saja?" kata Porche. Dia sempat tersentak kaget melihat kedatangan Kinn, lalu berhenti mengagumi cincin di jarinya dengan cengiran yang manis. "Harusnya aku merasa lapar, tapi, entahlah ... mungkin karena mimpiku makanan terus, jadi tidak berpengaruh."

Bukannya senang, Kinn justru mengepalkan tangan. "SIAPA BILANG KAU BOLEH MELEPASI ALAT-ALAT ITU?!" bentaknya kesal. Sebab Porche tidak lagi memakai infusnya, bahkan perban yang di tangannya pun dilepas. Dia kini duduk di tepi ranjang, sok kuat dan masih dengan wajah tersenyum, tetapi pucat sekali.

"Aih ... aku sudah baik-baik saja," kata Porche. Kali ini dia tidak takut atau gelisah samasekali menghadap Kinn, malahan menepuk tempat di sebelahnya dengan ekspresi yang girang. "Sini, sini. Kau tidak kangen padaku?"

Kalau tidak berbahaya, Kinn pasti menabarak tubuh Porche, mendorongnya rebah di ranjang, menciumnya, lalu mencumbunya seperti biasa. Hanya saja, mana mungkin?

Kinn justru berdecih, lalu berjalan keluar dari kamar itu. "Fuck ...." desahnya.

"Eh? Kinn? Kau ini mau kemana--"

"DIAM SAJA!" bentak Kinn dengan kedua mata tajamnya. "Tunggu dokternya ke sini untuk memasang kembali semua, atau aku yang akan menembak kepalamu sekarang."

Deg!

"Apa?"

BRAKHH!!!

Kinn justru membanting pintunya kesal. "Bedebah ...." makinya jengkel.

Sebab, meski dia berusaha menahannya, tetap saja sakit sekali melihat Porche yang seperti itu. ".... aku seharusnya tidak pernah mengenalmu."

Kinn pun mengepalkan tangan. "Tidak bisa! Aku tidak akan tidur di sini selama dirinya sakit. Tidak akan!" batinnya merutuk kesal.

***

"Orang itu sebenarnya kenapa?!" bingung Porche. Senyum dan cengiran di wajahnya langsung hilang melihat kelakuan Kinn yang aneh. Kalau khawatir kenapa malah marah-marah? Kalah cemas kenapa malah pergi-pergi? Dia benar-benar tidak paham isi pikiran pria tersebut. "Aku akan memukul kepalanya kapan-kapan kalau ketemu lagi."

Baru saja dia bergumam begitu, beberapa suster pribadi berseragam masuk ke kamar Kinn dan diikuti dua pelayan yang membantu membawakan peralatan infus baru.

Mereka tersenyum, sangat sopan, tetapi seperti gelisah baru saja dibentak boss yang emosi di luar sana.

"Ugh, Tuan Porche sudah bangun? Selamat malam," sapa salah satu suster. "Boleh saya memasang kembali alat kesehatan Anda?"

Bersambung ....