Review Paling Sering Muncul:

😹 Dan yang serupa. Btw, makasih ya. Beneran deh. Author cuma bikin FF, dan tulisan penulis lain banyak yang jauh lebih keren. Disclaimer telah saya sematkan di bagian depan sinopsis. Dan mereka tetaplah kreator besar di ranahnya sendiri. Bukankah tanpa Daemi, FF KinnPorsche apapun takkan lahir di dunia ini? So, Thankies, Daemi-nim. 🐭


🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞
NC (Not Child) AREA || NSFW (Not Save For Work) || Dilarang Dibaca Bila Di Bawah Umur || Dilarang Dibaca Di Tempat Umum || Hanya Untuk Kalangan Tertentu|| Happy Reading ️☺️
.
.
.
Kinn memang bukan alkemis, juga tak tertarik dengan hal yang berbau sains fiksi. Namun, melihat kondisi Porche sekarang, dia paham bahwa tubuh lelaki itu tak beres. (*)
Alkemis: orang yang menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Biasanya digambarkan sebagai ilmuan gila, freak, dan tidak diakui oleh sejarah.
Haruskah Kinn memaki Ken nantinya? Apa yang baru saja dimasukkan lelaki itu ke tubuh Porche?! Sedetik dia emosional, sedetik kemudian akal sehatnya kembali. Bagaimana pun, tanpa injeksi ampul dari Ken, Kinn takkan melihat Porche lagi.
"Kinn, arrgghhhh!" teriak Porche sembari mencakar lantai. Lelaki itu membuat kuku-kukunya tergores hingga berdarah, tetapi dia juga melenguh nikmat karena lubangnya dimanjakan sedemikian rupa. Sensasinya sungguh terbalik dengan pusing yang berat ini! "Hahh ... hahh ... lebih cepat, Bicth! Kumohon! Aku bisa mati kalau siletnya terus di kepalaku! KIIINNNN!!"

Maka sesuai keinginan lelaki tercintanya, Kinn pun menggempur lubang hangat Porche hingga dirinya sendiri susah bernapas. Gerakannya begitu cepat. Bahkan mungkin yang paling cepat ketika mereka bercinta selama ini.
"Tahan, Porche. Kau bisa--"
"ARRRGGGHHH!!" Porche seperti bergulat dengan dirinya sendiri. Dia memukul-mukul lantai di bawah mereka hingga retak berlubang, bahkan Kinn dia gampar karena sempat menahannya menggila.
PLAKKKHHH!!
"Porche--!!"
PLARRRR!!
"BRENGSEK! JANGAN COBA-COBA MENAHANKU!!"
Padahal niat Kinn adalah agar Porche tidak menyakiti tangannya sendiri. Jujur, dadanya perih melihat darah mengalir lagi dari luka-luka Porche. Keringat Kinn juga bersaing dengan air matanya saat meneruskan gerakan keluar masuk ke tubuh itu.

"Porche ... Porche ...." panggil Kinn menahan cemas. Dia sebenarnya tidak tega melakukannya saat Porche terluka, dan ragu apa benar-benar ini tindakan yang harus diambil. Hanya saja, tiap kali Porche merasakan semburan air maninya, lelaki itu terpejam lega.
"Aahhh ... unnhhh." Tatapan mata Porche juga melembut. Merah syaraf di maniknya juga hilang setelah Kinn mengisinya hingga tumpah-tumpah. Sayang, jika Kinn berhenti terlalu lama, Porche mulai murka dan nyaris menghancurkan jeruji besi dengan tendangan tanpa sengaja.
BRAKHH!
BRAKHH!
"ARRRGGGHHHHHHHHHH!!"
Bahkan lolongannya semakin panjang. Menggaung di seluruh lorong sel, dan kepala Kinn rasanya mau pecah bila tidak bertekad tahan. Dia berusaha tetap sadar apapun yang terjadi, padahal setelah beberapa ronde sekaligus, otaknya sendiri terasa sinting.

Kinn lelah mengganti posisi mereka di tempat kotor tersebut. Dari berebah, kini Kinn membalik Porche agar telungkup.
Tanpa memberi banyak jeda, dia menjilat leher lelaki itu hingga sebatas pelipis. Lalu menusuknya hingga ke tempat terdalam.
"Hhhh ... hhh ... hhhh ... hrrrmnh .... "
"Nnhhh ... ahhh ... unh, Kinn--"
Kesulitan atau tidak, Kinn tetap mencium bibir Porche sebisanya. Dia tak habis pikir, diantara sekian momen bercinta, justru di sinilah yang menurutnya paling nikmat, sakit, dan gila sekaligus.
Kinn tak peduli bila ada CCTV tersembunyi di tempat ini, atau penyadap suara. Yang penting keselamatan Porche! Yang penting lelaki tercintanya tidak menjerit frustasi lagi!

BRAKHH!!
"Hnnhh--CEPAT!" kata Porche setelah badannya dibawa berdiri. Lelaki itu mencakar dinding yang sudah retak hingga ke atap, dan menerima gempuran-gempuran yang berikutnya.
Demi apapun, Tuhan! Kalau mereka mati berdua di sini hanya karena tertimpa gedung, pastinya konyol sekali!
"Aahhhhhhhhhh!!"
"Porche?"
Untung saja tidak. Sebab setelah Porche klimaks untuk kesekian kalinya, lelaki itu mendadak merosot jatuh.
BRUGH!
"OI PORCHEEEE?!"
Mungkin karena kakinya lemas, Kinn pun segera menangkap tubuh Porche ke pelukannya. Dia mendekap lelaki itu ke dadanya yang masih tersengal heboh, lalu mengesun rambut basah lepeknya.
"Kinn, dingin ...." Kali ini Porche mendadak mengeratkan diri pada tubuhnya. Kinn sampai membayangkan Porche versi bayi karena lelaki itu benar-benar melingkari pinggangnya dengan sekujur fitur. Bibir bengkaknya meracau-racau, lalu mendusel ke dadanya untuk mencari panas yang masih tersisa. "Hhhnnhh ... hhnnnh ... aku tidak mau es krim lagi--mhh ... boleh aku minta croissant saja?" katanya separuh sadar.
Kinn pun membisikkan kata-kata menenangkan yang paling dia ketahui. Atau apapun yang membuat Porche senang. Lalu menghela napas lega setalah lelaki itu tertidur lelap.
"Ahhh ... akhirnya selesai juga," batin Kinn yang nyaris menyusul mimpi Porche. Namun, kedua matanya batal terpejam setelah melihat luka-luka di tangan Porche juga menghilang lagi. Bahkan kuku-kukunya tampak mengkilap, dan darah yang terkucur juga mengering cepat.

Kinn pernah melihat yang seperti itu pada klona-klona, sumpah! Namun, sebelum dia khawatir apakah Porche berubah aneh, Kinn baru sadar bahwa jemarinya yang memar mendadak menjadi sembuh.
Walau, bukan sembuh total seperti Porche. Tapi, lukanya menutup dengan baik, tidak ada lagi darah mati hitam, walaupun bekasnya tampak menghajar jeruji besi.
DEG
Apa karena kita bertukar cairan tubuh?
Kinn sampai bingung sendiri, tetapi dia bahagia Porche kembali. Dia lega napas lelaki itu kembang kempis stabil. Bahkan tampak lebih cerah daripada sebelum mereka bercinta.
"Kalau keluar nanti pasti kubelikan croissant," bisik Kinn di telinga Porche. "Mau yang rasa apa, hm? Cokelat? Butter? Atau semua rasa di toko?"
"Atau beserta pabriknya," tambah Kinn dalam hati hingga terkekeh sendiri.
"...."
"Kau harus makan banyak begitu bangun."
Perlahan, Kinn pun melumat bibir kemerahan Porche yang agak basah. Dia memandangi raut menggemaskan tersebut, dan memindah bibir ke kening.
"Walau konyol, harusnya tempat ini diukir namaku dan namamu," kata Kinn sebelum ikut terlelap.
__________
Karena kau sungguh kembali padaku sekarang.
________


Lima menit yang sangat berharga. Kim tidak akan mengabaikan kepentingan Tawan apapun yang terjadi. Dia tetap datang kepada lelaki itu meski masih sangatlah jengkel. Dan begitu sampai di "ruang perawatan", Kim mencuci tangan terlebih dahulu agar sisa-sisa darah Porche hilang. Dia menggunakan handwash beberapa kali, bahkan diikuti antiseptik berbau keras.

"Halo, Phi."
... karena Kim takkan membiarkan siapapun menyentuh Tawan dalam kondisi kotor, bahkan tangannya sendiri.
"Bagaimana kabarmu? Masih baik?"
Mengajak Tawan bicara memang menjadi kebiasaan Kim, meski dia tahu tubuh itu tak pernah memberikan reaksi. Sebab bagi Kim, itu sudah memberikan kebahagiaan tersendiri selama menyalurkan darah baru ke tubuh Tawan.
Aku datang tepat waktu lagi. Tidakkah kau senang?
Kim juga tak pernah memberikan kesempatan orang lain melakukannya untuk sang lelaki tercinta. Dia selalu menyempatkan waktu untuk mengatur dialyzer Tawan sendiri di tengah-tengah kesibukan. Toh, hanya 2-3 kali seminggu. (*)
(*) Dialyzer: Alat pencuci darah.

Memang, normalnya pembekuan darah terjadi tiap 2-6 menit. Namun, setelah dua tahun penelitian, Kim bisa menemukan serum khusus yang membuat pembekuannya melambat.
Hal yang luar biasa bagi Kim, karena itu membuat tubuh Tawan bisa lepas dari kotak kaca sesekali, sehingga Kim bisa mengurus kebersihannya lebih teliti. Bahkan mengajaknya jalan keluar sesekali.
Ke pantai, ke pulau pribadinya di Costa Rica, dan tempat-tempat privat lainnya.

Tidak perlu sulit membayangkannya. Kim selalu menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi kemana pun, lalu menidurkan tubuh Tawan di pangkuannya selama menyetir mobilnya pergi.
Selain aset waris yang diatas namakan lelaki itu, Kim juga menyediakan kamar serta kloset pakaian Tawan sendiri. Tempat dimana Kim bisa menyetok ratusan setel pakaian branded, dan selalu menambah jumlahnya setiap pulang dari perjalanan konser.
Mungkin ... daripada berusaha menghidupkan Tawan, Kim lebih seperti memainkan boneka teristimewa dalam kehidupannya sehari-hari. Dia cukup menikmati, walau kadang menyadari semakin hari dirinya semakin kehilangan hati nurani.
Tok tok tok ...
"Siapa?"
Suara sahutan baru terdengar. "Saya Kei, Tuan. Mau mengantarkan buket bunga pesanan Anda," kata pelayan klona di balik pintu.

Kim pun beranjak dari duduknya setelah memastikan penyaluran darah Tawa lancar. "Sebentar ...." katanya. Lelaki itu tersenyum tipis saat membuka kenop, lalu menerima buket mawar sesuai model yang dia inginkan. "Thanks."
Namun, pelayan itu menahan pergerakannya. "Tunggu, Tuan. Ada lagi," katanya. "Ini hadiah untuk Anda dan Tuan Tawan."
"??"
"Kata si pemilik toko, selamat anniversary." Klona wanita itu tersenyum ceria. "Ini dalam rangka perayaan perluasan toko, juga rasa syukur karena Anda sudah jadi pelanggan tetap."
"Oh ...." desah Kim saat melihat sebuah kue dibawakan pelayan lain.

"Anda suka?"
Kim pun mendengus dengan senyuman melebar. "Hm, mungkin dia juga akan suka," katanya. "Bawa saja ke dalam. Selanjutnya biar aku yang urus."
"Baik!"
Setelah sang pelayan pergi, Kim pun meletakkan buket bunganya di sebelah nakas. Dia lantas terkekeh. Karena situasi sekarang sangatlah lucu. Bagaimana pun, kalau pemilik toko tahu kekasihnya sudah tak hidup, mereka mungkin lebih memilih memberikan dupa daripada tart cantik. Meskipun begitu, semuanya tidaklah buruk. Kim pun memandang wajah tidur Tawan sambil membelai rambut yang jatuh di dahi. "Selamat anniversary, katanya ...." gumam lelaki itu pelan. "Benar-benar tidak sopan mendahuluiku seperti itu."

Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Kim pun berhenti emosi karena merasa dirinya tetaplah jadi pemenang. Lelaki itu lantas mengeluarkan kotak yang dia simpan di laci ranjang sejak bulan lalu sebelum membukanya perlahan.
Isinya adalah cincin bertahta safir. Gaya desainnya feminin klasik, tapi cukup sesuai setelah dipakaikan ke jari Tawan.

"Kupikir warnanya harus lebih gelap lagi," gumam Kim setelah melepaskan cincin hadiah darinya yang tahun lalu. Dia menyimpan benda berhiaskan Topaz kuning itu ke kotak lain, dimana ada 6 cincin yang usianya malah lebih tua lagi. "Tapi ternyata bagus ...." walau dia merenung setelah itu.
Sebab di genggaman Kim, jari-jari kulit Tawan semakin memucat. Dan mungkin karena itu juga kombinasi warnanya jadi sesuai. Kim sendiri tidak bisa memungkiri, kadar kesegaran Tawan memang sudah menurun. Terbukti saat Kim mengelus telapaknya dengan ibu jari. Sekarang kulit lelaki itu juga terasa lembek.
"It's okay ... it's okay ...." bisik Kim dengan tawa kecilnya. Dia pun mengecup di sana, lalu menaruh punggung tangan Tawan tepat di keningnya. "Lagipula semua persiapan hampir sempurna. Memang sudah waktunya kita pergi bersama-sama, Phi."
Kita akan mendekati garis finish-nya ... segera.
Bersambung ....