webnovel

I Love You — Sky

Pria itu terkekeh seraya menggeleng. "Astaga! Ternyata kau jadi begitu cerewet saat mabuk."

"Aku tidak mabuk!" gerutu gadis itu.

"Ya ya, kau tidak mabuk," kata Sky sambil menahan tawa. "Untuk pertanyaanmu …" Sky merenung sejenak sebelum kemudian menjawab, "tergantung apa alasannya. Kalau alasannya logis dan bisa diterima, aku tidak akan mempermasalahkannya. Aku mencintai Mauve. Aku takkan meminta apa pun darinya, apalagi memaksanya memberikan sesuatu atas nama cinta.

"Mauve akan memberikanku apa pun yang ia ingin berikan dan aku akan menerimanya dengan penuh rasa syukur, tetapi aku takkan memaksanya memberikan atau melakukan apa pun di luar kehendaknya. Dan aku takkan pernah meninggalkannya hanya karena egoku. Yang kuinginkan hanya membahagiakan Mauve."

"Manis sekali," gumam Aeris. Suaranya terdengar mengantuk. "Aku iri. Andai dia berpikiran seperti itu ...." Gadis itu mulai melantur.

Suara racauan serta nyanyian acak Aeris menemani Sky selama sisa perjalanan mereka ke tempat parkir. Dia membantu gadis itu masuk ke mobil, kemudian memasang sabuk pengamannya. Saat selesai, Aeris sudah tertidur.

Setelah memastikan Aeris aman dan nyaman, dia sendiri menyelipkan tubuh atletisnya di antara kursi dan roda kemudi. Sky berpikir untuk mengabari Mauve mengenai Aeris ketika dia mendengar Aeris terisak sembari menyebut nama seseorang. Gee.

*

Sky membaringkan Aeris, kemudian melepaskan mantel serta sepatu gadis itu. Aeris bergumam tak jelas. Pipinya merah. Badannya panas. Sky berharap itu hanya efek dari banyaknya alkohol yang masuk ke tubuh gadis itu, bukan demam karena hal lain.

Pakaiannya harus diganti. Dia takkan nyaman tidur menggunakan baju seperti itu, pikirnya. Namun, di rumah itu hanya ada dirinya. Tidak mungkin aku melakukannya sendiri. Mauve akan membunuhku. Sky mengembuskan napas, kemudian menarik selimut menutupi tubuh Aeris.

Sky mengawasi Aeris yang bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya. Gadis itu tampak begitu belia, dan Sky tersadar kalau Aeris sepuluh tahun lebih muda darinya. Namun, wajah Aeris sekarang tampak begitu polos, terbuka, dan rapuh—nyaris seperti anak-anak. Sky tersenyum ketika melihat kernyitan yang begitu familiar di wajah Aeris. Perasaan hangat menyelubungi hatinya.

Dia teringat saat gadis itu menangis. Kemudian, perasaan itu berganti menjadi kemarahan. Bukan kepada Aeris, melainkan kepada orang yang menyebabkan kondisi Aeris menjadi seperti saat ini. Apa yang bisa membuat gadis seperti Aeris—yang ia kenal begitu dingin dan berwatak keras, berniat mengakhiri hidupnya? Menurutnya, hal itu pasti amat buruk. Dia tidak dekat dengan gadis itu, tetapi menurut apa yang sering diceritakan oleh Mauve, gadis itu bukanlah seseorang yang lemah. Tidak mungkin hal kecil akan mendorong Aeris melakukan hal bodoh seperti tadi.

Tiba-tiba gadis itu mengerang. Kelopak matanya bergetar, kemudian perlahan-lahan terbuka. Tatapannya tampak berkabut dan tidak fokus. Sky bisa melihat tenggorokan Aeris yang bergerak ketika menelan ludah.

"Gee?" bisik gadis itu. "Kaukah itu?"

Punggung Sky menegang, tetapi hanya diam—tidak menjawab pertanyaan Aeris.

"Kau datang untukku?" tanya Aeris. Sky menangkap suara Aeris yang penuh damba—juga luka.

Sky mencegah Aeris ketika gadis itu mencoba untuk bangun. "Berbaringlah. Kau sedang kurang sehat," kata Sky.

"Temani aku," pinta Aeris.

'Tidak bisa! Ingatlah, kau suami kakaknya! Tidak pantas berduaan dengan adik iparmu seperti ini, apa pun alasannya!' Sky mendengar sebuah suara berbicara dalam pikirannya dengan nada begitu tajam.

"Aku tidak bisa," ujar Sky kaku.

"Kumohon, Gee. Untuk terakhir kalinya."

Sky memejamkan mata, kemudian menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Aku akan menemanimu. Tidurlah. Aku akan menjagamu," kata Sky dengan lembut. Dia duduk di sisi Aeris. Satu tangannya menggenggam tangan Aeris dan tangan lainnya membelai rambut gadis itu.

'Kau sudah berbuat dosa! Aku sudah mengingatkanmu!' kecam suara itu.

Dia adik Mauve. Sudah menjadi kewajibanku membantu Aeris. Hanya itu, batinnya.

'Oh, benarkah?' ejek suara itu.

Sky mengabaikan suara itu yang masih tertawa mengejek di dalam benaknya. Pria itu mengembalikan perhatiannya pada Aeris yang menggenggam tangannya dengan begitu erat.

"Gee, aku mencintaimu," bisik gadis itu.

*

"Kalian sudah sampai?" tanya Mauve begitu Sky mengangkat panggilannya. Suara perempuan itu agak lebih melengking dibanding biasanya.

Sky mengempaskan tubuhnya ke tempat tidur, kemudian melipat satu tangannya di belakang kepala. "Seharusnya kau sudah tidur, Mauve sayang. Sekarang sudah hampir jam tiga pagi," sahut pria itu sambil tersenyum malas. Baru sekitar tiga puluh menit yang lalu dia kembali ke kamarnya setelah memastikan Aeris benar-benar tidur. Sky langsung membersihkan tubuh dan baru selesai berpakaian ketika panggilan telepon dari sang istri masuk.

"Mana mungkin aku bisa tidur! Aku mengkhawatirkan kalian," ujar Mauve. Sky bisa membayangkan ekspresi cemas di wajah istrinya.

Pria itu tersenyum. "Maafkan aku, Sayang," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku tidak berniat membuatmu cemas. Kami sudah sampai—belum lama," Satu jam yang lalu, "tapi tadi aku harus mandi dan berganti pakaian dulu. Karena itulah aku tak bisa langsung menghubungimu."

"Bagaimana kondisi Aeris?" tanya Mauve masih terdengar cemas.

Bayangan wajah Aeris yang terlelap dan tampak begitu belia berkelebat di benaknya, yang langsung Sky tepis. Pria itu berdeham. Duduknya kini agak tegak. Lengannya tidak lagi menyangga kepalanya. "Dia baik-baik saja. Hanya terlalu banyak minum dan terlalu lama terkena udara dingin sehingga agak demam. Tapi besok Aeris akan baik-baik saja."

"Terima kasih banyak, Sayang. Kuharap Aeris tidak terlalu menyusahkanmu. Maafkan aku," ucap Mauve dengan nada menyesal.

Perasaan Sky menghangat mendengar ketulusan Mauve. "Tidak apa-apa, Sayang. Kau tak perlu meminta maaf seperti itu. Tidak ada yang salah, jadi tak ada yang harus dimaafkan. Aku sudah menganggap Aeris seperti adikku sendiri. Aku pasti akan menjaganya untukmu," ujar Sky.

"Tahukah kau kalau aku merasa sangat beruntung mendapatkanmu sebagai suami?"

Sky tertawa. "Tentu saja. Aku tidak pernah meragukan pesonaku. Kau pasti sudah sangat tergila-gila padaku," kata pria itu jemawa.

Sky bisa mendengar Mauve mendecakkan lidahnya. "Walaupun perkataamu benar, entah mengapa itu terdengar begitu menyebalkan," gerutu Mauve, tetapi ada tawa di dalam suaranya.

Pria itu tergelak. "Yah … kau tidak perlu khawatir, karena bukan hanya aku yang sudah membuatmu tergila-gila padaku. Kau pun sudah berhasil membuatku tergila-gila padamu."

"Mulutmu sangat manis, Tuan."

"Benarkah? Manis dalam artian apa? Secara harfiah atau sekadar kiasan?"

"Keduanya," sahut Mauve.

Sky sudah kembali berbaring. Pria itu kini menyeringai. "Besok kita buktikan, apa mulutku benar-benar 'manis' seperti perkataanmu," rayunya.

Mauve tertawa. Suara tawanya bak gemerincing lonceng yang tertiup angin. "Yeaah … aku sudah tidak sabar menantikannya, Tuan Penggoda," katanya.

Sky menanyakan pekerjaan Mauve, kemudian perempuan itu mulai asyik menceritakan proses pemotretan hari itu. Sky mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah sang istri berada bersamanya. Sudah satu pekan Mauve berada di Stern untuk menjalani proses pemotretan.

"Aku merindukanmu," Mauve berbisik.

Sky tersenyum. "Aku juga merindukanmu. Sekarang tidurlah. Kau besok harus melakukan perjalanan jauh dan aku tak ingin kau sampai terlambat."

"Kau juga tidur."

"Tentu saja. Kau pikir, kenapa aku menyuruhmu tidur? Supaya aku juga bisa segera tidur," ujar Sky menahan tawa.

"Dasar! Ya, sudah. Selamat tidur. Jangan lupa mimpikan aku. Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu."

Malam itu, Sky bukan memimpikan Mauve, melainkan adik iparnya.

Bab berikutnya