Sheila berjalan gontai menyusuri trotoar samping jalan raya. Pandangannya lurus dan fokus ke depan.
Entah mengapa perkataan Adi selalu terngiang di dalam otaknya.
"Kenapa Adi bisa berpikir kalau Brama nggak cinta sama gue, ya? Padahal dia tau kalau gue sama Brama sering berduaan di tempat latihan. Apa Adi tau sesuatu?."
Tak hentinya Sheila bertanya dalam hati. Baru kali ini ia merasa galau dan mulai sedikit meragukan cinta Brama.
"Tapi kalo diliat-liat, sikap Brama nggak ada yang beda atau berubah. Dia masih sama kayak Brama yang gue kenal dari satu tahun yang lalu," lanjutnya.
Tapi tiba-tiba saja ponselnya berdering. Terpampang nama 'Mama' di layar ponsel milik Sheila.
"Halo, Ma."
"...."
"Ya. Sheila pulang sekarang."
Gadis itu memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Wajahnya langsung berubah menjadi tidak enak dipandang setelah menerima telpon dari orang tuanya sendiri.
"Gue yakin, pasti mama mau ngomongin masalah nikah lagi."
Kehidupan Sheila yang berlimpah dengan kekayaan, nyatanya tidak cukup membuat hidupnya bahagia.
Ia harus dipaksa untuk menikah oleh kedua orangtua nya. Sheila sendiri merasa tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang tuanya, bisa-bisanya mereka memaksa Sheila untuk menikah di usia 22 tahun.
***
Setibanya di pekarangan rumah, Sheila menarik napas dalam-dalam. Ia juga harus menyiapkan telinga setebal mungkin agar tidak terlalu memikirkan apa yang nanti dikatakan oleh orangtuanya.
"Sheila pulang!," teriak Sheila dari depan pintu yang baru saja ia buka.
"Halo, anak Mama akhirnya pulang juga."
Sheila sedikit menarik tubuh, karena sang mama yang tiba-tiba saja ingin memeluk dirinya.
"Mama kenapa? Sheila kan cuma baru pulang main, kok malah mau peluk?," tanya Sheila.
"Lho, emangnya kenapa? Gak boleh Mama peluk anak Mama sendiri?"
"Ya boleh, sih. Cuma aneh aja," ujar Sheila sebari melewati sang mama.
"Mama mau ngomong sama kamu." Ratna membuka suara dengan nada bicara yang pelan.
"Apa?," tanya Sheila singkat tanpa menoleh.
"Soal masa depan kamu."
"Ma, kenapa sih Mama sama papa ngebet banget pengen nikahin Sheila? Sheila masih muda, Ma. Belum siap buat nikah!"
"She, umur kamu itu udah kepala dua. Kamu mau nunggu apa lagi? Umur segitu udah pantas buat menikah," ucap Ratna sebari berjalan mendekati puterinya.
"Tapi, Ma. Sheila masih pengen main, masih pengen bebas untuk mencari jati diri Sheila sendiri. Sheila pengen kayak orang-orang, yang bebas bisa main kapan pun tanpa nanggung beban kayak gini."
"Nanggung beban? Kamu bilang ini beban? Sayang, Mama sama papa cuma minta kamu buat nikah. Soal jodoh, nanti kita yang cari."
Ratna tak hentinya meminta dan memaksa sang puteri untuk segera menikah. Wanita paruh baya itu tidak bermaksud untuk mengambil hak puterinya di usia remaja menuju dewasa itu.
Ia hanya takut, jika Sheila terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak semestinya. Saat ini gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di luar, bersama dengan teman-teman skateboard yang Ratna sendiri tak tahu asal usulnya.
"Gimana? Kamu setuju?," tanya Ratna lagi.
"Gak! Sheila gak mau. Pernikaha itu bukan untuk main-main, Ma. Kalo misalkan Sheila nggak cocok sama suami Sheila, terus cerai, Sheila bakal jadi janda dong? Ogah! Masa ada janda yang umur 22 tahun," kata Sheila dengan ekspresi wajah takut. "Pokoknya Sheila gak mau nikah dulu, titik. Udah, Sheila mau ke kamar," lanjutnya.
"She! Sheila!." Ratna berteriak dengan memanggil nama puterinya yang sudah berjalan menaiki tangga dengan cepat.
"Astaga, anak itu," gumamnya.
"Lho, Ma. Sheila mana? Tadi Papa denger suara kalian dari arah sini."
Farel datang menghampiri sang istri. Dengan kondisi rambut yang basah dan wangi parfum yang menyeruak memenuhi ruangan.
"Sheila udah ke kamar. Dia tetep nggak mau di jodohin," sahut Ratna dan mendudukan tubuhnya di atas sofa.
"Huh.. Kata Papa juga apa, gak mungkin dia mau. Udah lah, Ma nggak usah pake jodoh-jodohan segala. Biarin aja Sheila hidup seiring berjalannya waktu. Dia itu anak baik-baik, Papa percaya itu."
"Mama tau, Pa. Sheila emang anak baik, tapi temen-temennya? Kita nggak tahu. Apalagi Sheila ini lebih sering ngumpul sama mereka, dibanding orangtua nya sendiri."
"Jadi, Mama iri sama temen-temen Sheila? Karena mereka lebih sering sama mereka?," tanya Farel jahil sambil mencolek dagu sang istri.
"Ish, Papa! Pokoknya Mama mau tetep jodohin Sheila!."
Farel menghela napas berat. Istrinya memang susah untuk ditolak kemauannya.
"Kasian Sheila, pasti dia ngerasa terkekang."
***
Sheila memasuki kamar dengan keadaan dongkol dan kesal. Ia menghempaskan tubuh ke atas kasur yang sudah rapi, dan tentu saja Ratna yang merapikan semuanya.
"Gue harus gimana, ya? Supaya mama nggak jadi jodohin gue?," gumam Sheila sebari mengguling-gulingkan tubuh di atas kasur.
"Apa gue telpon Brama aja, ya? Tapi, kalo Brama tersinggung gimana, ya? Dia pasti sakit hati karena tau gue mau di jodohin."
"Ah, gue telpon kakak sepupu gue aja!."
Sheila mengambil ponsel di dalam tasnya. Ponsel dengan logo jeruk yang digigit separuh itu menjadi benda yang paling ia sayang dan selalu dibawa kemana pun ia pergi.
"Halo," sapa Sheila setelah sambungan telponnya terhubung.
"Sa, gue butuh nasehat lo, nih."
"Sa, Sa. Kakak! Lo harus panggil gue kakak. Karena kalo dalam catatan silsilah keluarga besar Aksadana, gue ini adalah kakak lo," ujar seseorang di balik telpon sana.
Sheila berdecak, "Oke. Kak Aksa, gue mau minta nasehat lo, boleh?." Sheila berusaha berbicara dengan nada semanis mungkin.
"Boleh, dong. Lo mau minta nasehat apa? Lo dateng ke orang yang tepat. Karena nasehat dari gue emang bermanfaat, dan gue kasih gratis buat lo."
"Gak usah becanda deh! Gue lagi gak mau becanda," ucap Sheila.
"Lo mau di seriusin? Ya jangan sama gue, lah! Gue ini kan Kakak lo. Lo minta aja sama cowok lo."
"Aksa! Gue serius ya. Ini soal mama dan papa." Sheila merendahkan suara di akhir kalinatnya.
"Om Farel sama tante Ratna? Mereka kenapa?"
"Mereka mau jodohin gue. Gue gak mau, Sa. Gue masih pengen bebas."
"Jodohin? Emangnya ini jaman Siti Nurbaya, apa?." Aksa tertawa kecil di seberang sana.
"Jangan ketawa! Gue juga nggak tahu. Orangtua gue kuno banget kayaknya. Apa mereka tega, ngebiarin anaknya yang cantik dan imut ini jatoh ke orang yang sama sekali gak dicintai? Kan sedih,"
"Udah, She. Mending lo turutin aja apa kata orangtua lo. Mereka lakuin itu mungkin karna mereka sayang sama lo."
"Gak! Kalo mereka sayang, mereka nggak mungkin jodohin gue, Sa. Mereka itu gak sayang sama gue. Padahal kurang baik apa gue?," ucap Sheila.
"Itu karena lo bandel. Lo sering gak ada di rumah. Lo lebih sering nongkrong sama temen-temen skate lo yang gak jelas itu," balas Aksa.
"Tau ah. Minta nasehat sama lo malah lo jelek-jelekin temen gue. Males banget."
"Oke, gini aja. Gimana kalo lo berubah jadi anak nakal?."
"Maksud lo?"
"Iya. Lo lebih nakal dari sekarang. Lo jangan pulang larut malem, tapi subuh sekalian. Itu sebagai tanda kalo lo marah sama mereka. Nah, pasti mereka bakal ngegagalin tuh rencana ngejodohin lo. Gimana? Bagus kan ide gue?"
Sheila memegang ponsel yang masih menempel di telinga kanannya. Ia menyimak perkataan Aksa dengan seksama.
"Ide bagus. Tapi, kalo mereka makin ngotot buat jodohin gue, gimana?."