4 Mas

Jadi setiap pagi sekali dia akan pergi kesana bersama suaminya, dan ya tidak lupa pula sebelum pergi ia mengingatkan Bunda untuk memberikan Pihu obat jika makanan nya sudah habis.

Sekarang tinggal mereka berdua di rumah yang cukup luas ini. Dan ya dengan seorang gadis kecil seumuran Pihu di sana.

Kamarnya terletak di lorong dekat musholla, mungkin dia sudah bangun sekarang karena semalam ketika Bunda melihatnya secara tak sengaja, dia sedang terbaring istirahat.

Sejak semalam dia melihat seorang suster yang akan mengunjunginya setiap beberapa jam, mungkin untuk mengecek kondisi pasien itu. Tapi dimana keluarganya? Apakah dia hanya seorang diri?

Ketika fikirannya menerawang, tepat saat itu seorang suster muda baru saja keluar dari kamar anak tadi. Di tangannya terlihat nampan dan beberapa alat makan yang sudah kosong. Sepertinya ia baru saja memberikan sarapan untuk anak manis itu.

"Permisi sust," ucap Bunda, yang sukses membuat langkah kaki nya terhenti.

"Iya Buk, ada yang bisa saya bantu?"

"Tidak sust, saya hanya ingin bertanya tentang anak kecil yang berada di kamar itu, kok ga ada keluarga nya yang nunggu?" Tanya Bunda penasaran.

"Itu Dek Aisyah Bu, sebulan yang lalu Bu Dokter sama suaminya nemuin dia di sebrang hutan sana, dengan keadaan hilang ingatan karena luka di kepalanya," tutur suster itu dengan tatapan yang sedikit mengiba.

"Ya Allah kasian sekali"

"Benar Bu, saya juga merasa demikian. Sebulan yang lalu Bu Dokter mempekerjakan saya disini khusus untuk mengurus Aisyah jika beliau sedang ke kota," jelasnya lagi kemudian.

"Emang sampe sekarang ga ada yang nyariin? Atau sekedar informasi anak hilang?"

"Ngga ada sama sekali Buk, Bu Dokter sudah mencari informasi kemanapun tapi tetep ga ada yang melapor kehilangan," ungkapnya kemudian sebelum berlalu pamit karena ada yang harus di kerjakan.

Bunda Pihu hanya menatap iba pada anak seusia Pihu itu, fikirannya berkelana. Bagaimana jika hal yang sama terjadi pada putri semata wayangnya?

"Astagfirullah hal adzim," ucapnya sambil mengusap muka dengan kedua tangannya, berharap sesuatu yang buruk seperti itu tidak akan pernah terjadi.

Ia kembali menatap Pihu yang sudah kembali tertidur setelah meminum obatnya, mungkin efek dari obatnya yang menimbulkan rasa kantuk. Malah bagus fikirnya, setidaknya Pihu bisa beristirahat dengan nyaman.

"Bunda sayang kamu Nak, melebihi apapun," lirihnya pelan sembari mengecup punggung tangan Pihu yang masih mungil.

____

"Haii," sapa seseorang ketika bunyi derit pintu tertangkap oleh indra pendengaran mereka.

Pihu yang merasa asing dengan orang di hadapannya itu hanya diam sembari menyesap air mineral di tangannya.

Tidak berbeda dengan Pihu, Bunda tampak sedikit terkejut dibuatnya.

"Maaf Buk, tadi pas saya cerita tentang Pihu, Aisyah langsung bersemangat meminta saya mengantarnya kesini. Dia sudah lama tidak bertemu teman seumurannya," tuturnya ramah sambil mendorong kursi roda dan tiang infus di tangannya.

Bunda hanya mengangguk, mengisyaratkan tidak apa-apa.

"Kemari Nak," sapa Bunda dengan lembut.

Suster segera mendorong kursi roda Aisyah, mendekat dengan tempat tidur Pihu. Senyum mengembang di sudut bibir gadis kecil itu, senyum yang akan membuat setiap orang merasa iba jika tau apa yang sedang menimpa dirinya.

"Anak sekecil ini," batin bunda.

"Ayo kesini," ucap bunda kemudian sembari menepuk tempat tidur Pihu yang kosong. Suster membantunya agar bisa duduk bersama Pihu disana. Kemudian tersenyum kecut melihat Aisyah begitu antusias.

"Hai, namaku Pihu. Kalo kamu?" Sembari mengulurkan tangannya lemah.

"Hallo, Aku.." ucapnya menggantung kemudian beralih menatap suster.

"Aisyah," ucap suster pelan.

"Aku Aisyah," ucapnya bersemangat sambil mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman cukup lama, saling tersenyum. Sedangkan Aisyah lebih bersemangat, dia menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

Kaki kecilnya yang tidak menyentuh lantai ia goyangkan pula, tampaknya ia sangat senang bertemu Pihu. Pihu yang pendiam hanya tersenyum melihat tingkah Aisyah.

Sedangkan Bunda dan Suster itu hanya menggelengkan kepalanya, kemudian saling melempar senyuman.

"Nanti kalo Aku udah sembuh, kita main ya Pihu?"

"Tentu, nanti kita main petak umpet gimana?" Ucapnya antusias. Sepertinya Pihu juga mulai merasa nyaman dengan Aisyah.

"Ohh iyaa, aku juga punya banyak bonek di kamar aku, kamu juga boleh main kok sama mereka," ungkapnya tersenyum riang.

"Wah beneran?" Tanya Pihu dengan antusias, matanya berbinar. Bagaimana tidak, selama ini ia hanya punya satu boneka pemberian Bunda dan itu sudah lusuh. Namun meskipun lusuh Pihu sangat menyayangi nya, dia tidak akan tidur jika bonekanya itu tidak ada.

"Iya, nanti kamu ke kamar aku ya"

Pihu baru hendak membalas ucapan Aisyah, namun Bunda mendahului mereka. Bunda tahu, ini adalah waktunya mereka untuk istirahat jadi dia menyela celotehan anak-anak manis ini.

"Iya Aisyah, nanti kami ke kamar kamu. Tapi sekarang kamu harus istirahat dulu, nanti kalo ga istirahat kamu di marahin Bu dokter kamu mau?"

"Ihhh ngga, nanti kalo Bu Dokter marah Aisyah gak di beliin boneka lagi,"

"Yaudah kita istirahat dulu ya Aisyah"

"Permisi Buk, Pihu cepat sembuh ya," lanjutnya.

Bunda hanya mengangguk sambil tersenyum, Sedangkan Pihu dan Aisyah saling melempar lambaian tangan dan senyuman.

Kemudian mereka hilang di balik pintu.

"Bunda, Aisyah baik ya Pihu pengen main sama dia,"

"Iya nanti Pihu bisa main sama Aisyah, tapi sekarang Pihu harus bobo dulu biar cepet sembuh ya," ucap Bunda tersenyum manis dan mengecup pelipis Pihu.

"Baik Bunda"

Tak butuh waktu lama Pihu sudah terlelap dalam tidurnya, tampaknya sudah terbuai dalam mimpi-mimpi nya.

____

Tepat pukul lima sore Dokter Nunik dan suaminya pulang dari kota. Seperti biasa mereka akan langsung mengunjungi Aisyah, kemudian memeriksa keadaan Pihu.

Namun ada yang berbeda kali ini, Dokter Nunik seperti menyimpan sesuatu dalam raut wajahnya.

Ada raut kecemasan di sana . Dan benar, ketika ia hendak meninggalkan kamar itu dia kembali berbalik, Menatap Bunda dengan serius.

"Mbak, ada yang ingin saya bicarakan. Apa Mbak bisa menemui saya di luar sebentar?"

"Baik Buk, sebentar saya kesana"

"Sayang, Bunda keluar dulu ya sebentar. Pihu disini aja istirahat, sebentar lagi Bunda kembali," ungkapnya singkat.

____

"Jadi gimana Mbak? Sebenernya saya gak tega ngomong ini, tapi saya fikir ini demi kebaikan Pihu,"

____

Pihu sudah pulang sore itu, keadaannya membaik hanya harus istirahat saja. Namun keadaan hati Bunda semakin berkecamuk, fikiran tentang Pihu mendominasi kepalanya.

Ucapan Dokter Nunik seperti kabar baik sekaligus kabar buruk baginya. Bagaimana ia harus melepas Pihu kecil kesayangannya? Bagaimana ia akan hidup jika tanpa Pihu di hadapannya.

Ia sesak memikirkan itu semua, tapi bagaimana mimpi-mimpi yang Pihu bangun? Matanya selalu berbinar kala menceritakan tentang segala mimpinya. Bagaimana bisa dia egois?

Malam semakin pekat, suara jangkrik membuat malam tidak sesepi kemarin. Hembusan angin membuat pipi putih nya merona. Dia termenung di bawah langit ini, seolah bertanya pada suaminya, Mas Aku harus bagaimana?

Namun tetap tak ada jawaban dari sana, hanya semilir angin yang mengantarkan daun kering pada tanah. Wajah cantiknya kembali bersemu, bukan lagi karena hawa dingin yang menyusupi leher jenjangnya yang tertutup jilbab itu, namun bayangan indah suaminya.

Flashback on

"Mas pengen anak kita nanti jadi seorang yang berguna Dek, Mas mau dia jadi seorang pengahafal Al-Qur'an agar bisa menyelamatkan Mas dan Kamu nanti," ucap pria tampan di sebelahnya itu sambil mengelus perut istrinya yang sudah mulai membuncit.

Di kecup nya sebentar, kemudian beralih menatap wajah cantik istri tercintanya.

"Kamu mau kan didik anak kita menjadi seperti yang Mas inginkan?" Tanyanya sembari menggenggam erat kedua tangan itu.

"insyaAllah Mas, kan kita bisa didik dia sama-sama nanti biar jadi orang yang baik seperti Mu Mas ku," jawabnya dengan pipi yang memerah.

"Tapi Mas percaya Dek, ada atau tanpa Mas di sisi kamu, Mas yakin kamu pasti selalu bisa jadi yang terbaik. Yang terbaik untuk kehidupan anak kita nanti"

Flashback off

"Ternyata kamu benar Mas, Aku harus mendidik nya seorang diri. Tanpa kamu," lirihnya pelan memandang langit.

avataravatar
Bab berikutnya