webnovel

Sekarang dan Selamanya

Choco_0992 · perkotaan
Peringkat tidak cukup
2 Chs

SATU

Bel masuk belum berbunyi, anak-anak 2 IPS 4 sedang sibuk berkutat dengan obrolan dan candaan ringan dipagi hari. Disudut ruangan yang ramai, duduk seorang gadis yang tampak sibuk bersolek, gadis itu memulas bedak tipis-tipis kewajahnya yang cantik. Peralatan make-upnya berserakan diatas meja dan tidak ada satupun dari teman-temannya yang mengusiknya. Mereka sudah tampak biasa dengan pemandangan itu.

"Hir, gue pinjam lipbalm lo dong," teman dari gadis itu duduk disebelahnya.

Hira menurunkan cermin sakunya dan memandang Farah yang kini sedang asik memilih-milih lipbalm dari kotak makeup miliknya. Tak mempedulikan Farah yang kemudian memakai salah satu lipbalm berwarna peach miliknya, Hira memilih memfokuskan dirinya membuat alis yang sempurna di Rabu pagi yang cerah ini. Sampai kemudian, sebuah teriakan yang memanggil namanya membuatnya terkejut.

"Hiraaaa!!!"

Dengan raut kesal, Hira menatap kepintu depan tempat dimana empunya suara berada. Kesha.

"Ya ampun, bisa ga sih ga usah teriak-teriak. Lo liat alis gue jadi berantakan gini!" gerutu Hira.

Kesha setengah berlari menghampiri Hira yang kembali membetulkan garis alisnya dan setengah terengah berkata,"Aduh, gawat ini."

"Apa sih yang lebih gawat dari alis gue yang berantakan begini?" tanya Hira acuh tak acuh.

"Lo dicariin Pak Bambang, disuruh ke ruang guru sekarang," kata Kesha setelah mengatur napasnya. Kali ini kedua mata Hira melotot. Dia menatap Kesha dengan pandangan menyelidik tapi tampaknya Kesha berkata jujur.

"Sial." Setengah terburu-buru dia memasukkan semua peralatan makeupnya dan keluar dari kelas.

***

Sementara itu diruang guru, Pak Bambang menyandarkan kepalanya yang pening ke sandaran kursi. Guru galak itu sedang menunggu salah satu siswinya yang sejak kelas satu selalu membuatnya sakit kepala. Dan kini siswi tersebut muncul dengan setengah terengah-engah dihadapannya. Hira segera duduk dihadapan Pak Bambang tanpa disuruh, melihat raut wajahnya yang garang sepertinya guru itu sedang kesal sekali.

"Siapa yang suruh kamu duduk?" tanyanya menggelegar.

Deg. Hira buru-buru berdiri.

"Kenapa kamu berdiri?" Pak Bambang kembali bertanya dengan suara yang ketus.

"Ya ampun, bapak ini maunya apa, sih?" gerutu Hira kesal. Pak Bambang mendelik. "Duduk kamu."

Hira kembali duduk dengan wajah cemberut.

"Kamu tau kenapa kamu saya panggil kesini?"

"Loh, mana saya tau pak kalo bapak ga ngomong."

Pak Bambang menghela napas. Diantara sekian banyak muridnya disekolah ini, Hira adalah satu-satunya murid yang berani membalas perkataannya. Mungkin karena gadis itu sudah terbiasa berhadapan dengannya sejak kelas satu, jadi gadis itu lebih berani padanya.

Pak Bambang menghela napas. "Begini, Hira. Coba kamu lihat ini." beliau lalu mengeluarkan tumpukan kertas dari laci mejanya dan menyodorkannya kehadapan Hira.

"Kamu tau ini apa?"

Hira memandang nama yang tertulis dikertas ulangan harian ini, Hira Halim. Setelah itu dia memandang nilai yang terpampang dipojok kanan atas kertas tersebut, tertulis angka 2 disana. Hira meringis.

"Kamu itu sebodoh apa sampai-sampai ulangan harian kewarganegaraan dapat nilai seperti ini?" Pak Bambang menunjuk kertas tersebut, "Lalu ini juga, ini dan ini. Ya ampun Hira. Kamu belajar atau tidak sebenarnya?"

Tanpa sadar Hira menggeleng tapi sedetik kemudian dia mengangguk melihat Pak Bambang yang merengut dihadapannya.

"Saya belajar kok, Pak. Sumpah deh."

"Lalu ini apa?"

"Ya mana saya tau pak kalo jawaban saya salah. Padahal saya yakin jawaban saya itu udah betul, kok."

Pak Bambang kembali memegangi kepalanya yang kembali pusing.

"Kamu ini sebenarnya sekolah untuk apa, sih. Heran saya, dari kelas satu nilai kamu yang paling amburadul satu sekolah."

"Buat cari teman, terus biar dapat uang jajan dari papa saya."

Mendengar jawaban Hira yang diluar dugaan, Pak Bambang kembali mengeluarkan omelannya.

"Dengar Hira, kamu itu sudah kelas dua. Sebentar lagi kuliah, dan bekerja. Kalau nilaimu seperti ini bagaimana kamu akan bisa kuliah?"

"Pak, saya kelas tiga saja belum."

"Justru itu. Kamu masih kelas dua aja nilainya hancur begini. Gimana nanti di kelas tiga?"

Hira menunduk.

"Pokoknya kalau nilai kamu masih tidak membaik juga, bapak tidak akan membiarkan kamu naik ke kelas tiga."

"Hah? Kok gitu sih pak?"

"Bapak tidak peduli. Mau kamu anak penyumbang dana terbesar disini atau anak menteri sekalipun. Kalau nilai kamu tidak mencapai standar yang ditetapkan, kamu ga boleh naik kelas."

Hira meringis.

"Lalu saya harus bagaimana dong pak? Bapak kan tahu kalau aku kesulitan belajar."

Pak Bambang menghela napas lagi.

"Untuk masalah itu bapak sudah memikirkan solusi untuk kamu. Kamu tahu Aldo anak kelas 2 IPA 1 yang jadi juara umum waktu kelas 1, dia sudah bapak mintai tolong untuk menjadi partner belajar kamu. Jadi selama 2 bulan sebelum ujian akhir semester 1 ini, kamu harus belajar sama dia."

"Ha? Aldo siapa?"

Tok...tok...

Sebuah kepala menyembul dari balik pintu ruang guru. Wajah pak Bambang terlihat sumringah sekali menyambut orang itu.

"Permisi, selamat siang, Pak," sapanya sopan.

"Oh, Aldo. Kamu sudah disini. Kemari dan duduklah."

Cowok bernama Aldo itu masuk dan mendekati meja pak Bambang dengan langkah ragu-ragu.

Hira memperhatikan Aldo masih berdiri disebelah bangku yang diduduki Hira, saat itulah Hira dapat melihatnya dengan jelas sekarang, meski tubuhnya menjulang tinggi, tapi dia terlalu kurus untuk ukuran seorang cowok. Selain itu rambutnya terlihat menutupi dahinya dan sebuah kacamata berbingkai besar bertengger dihidungnya yang mancung. Tidak ada yang istimewa dalam penampilannya.

Aldo duduk disebelah Hira dan kelihatan terus menunduk.

Dari gerak-geriknya dan satu hal yang dapat dia simpulkan. Cowok ini aneh.

"Do, kamu ingat permintaan saya tempo hari?"

Aldo mengangguk.

"Nah, ini siswa yang saya ceritakan waktu itu. Namanya Hira, kelas 2 IPS 4. Ayo kalian kenalan dulu."

Aldo menoleh menatap Hira. Meskipun rambutnya menutupi sebagian besar dahinya, tapi Hira bisa tahu kalau cowok itu sekarang sedang menatapnya dengan tajam.

Hira lalu menyunggingkan senyum sambil mengulurkan tangannya. "Aku Hira."

Cowok itu sempat menatap tangan yang di ulurkan Hira, baru kemudian dia balas menjabat tangannya. "Aldo."

"Jadi apa yang harus saya lakukan, Pak?" tanya Aldo kembali berfokus pada Pak Bambang.

"Kamu cukup ajari Hira pelajaran-pelajaran yang nilainya jelek sampai masa ujian akhir semester satu ini, Do. Untuk cara belajarnya terserah kamu yang efektif seperti apa, yang penting nilai anak ini bisa cukup memenuhi standar kkm." terang Pak Bambang.

Aldo cuma mengangguk. "Kalau boleh tahu, pelajaran apa saja yang harus saya ajarkan, Pak?"

Pak Bambang tersenyum tipis. Beliau lalu meletakkan selembar kertas berisi rekapan nilai-nilai ujian tengah semester milik Hira di hadapan Aldo. Aldo meringis.

"Wah, parah sekali ya nilainya," kata Aldo sambil melirik Hira.

Hira yang malu tampak menundukkan kepalanya. "Sial Pak Bambang. Ga usah dikasih liat ke dia juga kali nilai gue," batinnya.

"Memang sedikit menyedihkan melihat nilainya. Tapi bapak yakin kamu pasti bisa mengajari Hira dengan baik. Bapak berharap sekali padamu, ya Do. Disini tidak ada orang lain yang bisa di mintai tolong selain kamu."

"Selama saya bisa, akan bantu semampu saya, pak. Tapi, untuk nilai ujian akhirnya nanti seperti apa saya tidak menjamin. Semua tergantung usaha dari Hira sendiri," jawab Aldo bijak.

Hira menoleh pada Aldo, padahal cowok itu tadi sempat mengolok-olok nilainya. Tapi, sekarang dia berkata dengan bijak begitu. Mungkin dia cowok yang baik, pikir Hira.

"Tapi, kalau di lihat lagi, sepertinya akan sulit," Aldo menghela napas.

"Memang sulit ya sepertinya," Pak Bambang juga ikut menghela napas.

"Hei... hei, kalian jangan pesimis gitu dong. Kita harus selalu optimis," kata Hira dengan berapi-api.

Mereka berdua menatap Hira lalu kembali menghela napas.