webnovel

Tulisan di Balik Foto

Hani menghela napas berat saat membuka kotak penyimpanan beras. Masih tanggal dua puluhan, tetapi beras tinggal dua gelas takar. Setelah memasaknya, Ia menghampiri Rahman-suaminya-- yang sedang menikmati secangkir kopi di teras belakang.

"Bang, beras kita habis," adu Hani dengan lemas. Ia tahu suaminya pun sudah tak memiliki pegangan uang yang cukup.

Bang Rahman meletakkan cangkirnya yang tinggal berisi ampas kopi. Kemudian menatap istrinya.

"Waduh, gimana, ya, Dek? Mana uang Abang tinggal dua ratus ribu, cuma cukup buat bensin sampai gajian nanti," sahutnya.

Dugaan Hani tak melenceng. Karena ia tahu betul berapa gaji suaminya itu. Satu bulan gajinya sebagai sekuriti di sebuah pabrik hanya sekitar tiga juga. Satu juta lima ratus ribu untuk Hani. sisanya untuk angsuran motor, uang bensin, dan keperluan burung-burungnya.

"Terus, gimana, dong, Bang? Uangku juga tinggal seratus ribu. Buat beli sayur sama jajan Dinda juga mungkin kurang," keluh Hani dengan mata berkaca-kaca. Rasanya sesak kalau harus menghadapi masa-masa sulit seperti ini.

"Apa ... nanti kamu kasbon dulu ke warung, Dek?" usul Rahman.

"Tapi, gas kemarin juga belum aku bayar, Bang. Aku malu sama Bu Sari," tolak Hani.

Apalagi pemilik warung tersebut selalu memasang wajah judes jika ada pembeli yang berani berutang. Kalau bukan karena kondisi keuangan rumah tangganya yang benar-benar mepet, tak mau Hani sampai berutang di warung.

"Ya, sudah. Nanti Abang cari pinjaman ke teman, lah, doain dapat, ya, Dek!"

"Iya, Bang." Hani sedikit bisa bernapas lega. Disekanya matanya yang basah kemudian kembali ke dapur.

Pagi ini di meja makan terhidang nasi putih berserta sup dan tahu goreng plus sambal. Dinda dan Rahman tampak lahap menikmati sarapannya. Setelahnya, Hani mengantar mereka sampai teras. Dinda sekolah kelas dua SD, sedang ayahnya bekerja sebagai sekuriti di pabrik busa.

Setelah motor Rahman tak kelihatan lagi, Hani segera memasuki rumah. Membereskan bekas sarapan kami kemudian mencucinya.

"Kak!"

Hani menoleh saat mendengar suara yang tidak asing memanggilnya.

"Eh, Ris! Sudah bangun kamu!" sahut Hani saat mendapati Haris, adik Rahman muncul di dapur.

Kebiasaan pemuda 25 tahun ini memang bangun siang. Apalagi pekerjaannya sebagai fotografer tak terikat waktu.

Pemuda berkaos tipis berwarna putih itu mendekat ke meja makan. "Masak apa, Kak?" tanyanya sambil membuka tutup saji.

"Sup, Ris. Uang belanja udah tipis. Jadi Kakak harus hemat," jelas Hani.

Tanpa protes, Haris langsung mengambil piring dan menikmati sarapannya dengan cepat. Belum juga Hani selesai mencuci peralatan masak, pemuda itu sudah berjalan ke arahnya.

"Biar aku saja, Kak!" pintanya mengambil alih piring yang sudah berlumur sabun di tangan Hani. "Kak Hani jemur baju aja sana!"

Hani menurut saja, karena sudah jadi kebiasaan adik Bang Rahman untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah.

"Makasih, ya, Ris!" ucapnya setelah mencuci tangan. Kemudian berlalu dari dapur menuju halaman belakang untuk menjemur baju.

Jemuran selesai, Hani berpindah ke kamar untuk merapikannya. Dilanjut menyapu seluruh ruangan di rumah tiga kamar ini.

Saat menyapu ruang tengah, Haris keluar dari kamarnya. Pemuda itu sudah rapi dengan kemeja serta celana jeansnya.

"Tumben berangkat pagi, Ris?" tanya Hani untuk berbasa-basi. Ia berdiri menunggu pemuda itu pergi.

"Iya, Kak. Ada pemotretan sama teman," sahutnya.

Kemudian Haris menurunkan tas punggung dan membukanya. Hani melihat Haris mengambil beberapa lembar uang berwarna merah. Lalu diulurkan kepada Hani.

"Kak, ini buat tambahan uang belanja, ya!" ucapnya.

"Ah, Ris, enggak usah repot-repot gini! Ditabung aja buat kamu nikah nanti!" tolak Hani sungkan. Karena adik Rahman ini sudah sering sekali memberi Hani atau Dinda uang, ataupun membelikan makanan atau bahan makanan.

"Enggak apa-apa, Kak. Kan, aku juga di sini numpang sama Kakak dan Abang," ucap Haris sembari meraih tangan Hani untuk menerima uang tersebut.

"Makasih, ya, Ris. Sering-sering aja!" canda Hani.

Haris terkekeh. "Siap, Kakakku!"sahutnya sambil tersenyum lebar. "Ya, sudah. Aku berangkat dulu, ya, Kak!"

"Ya, hati-hati!"

Setelah terdengar suara pintu depan ditutup, Hani segera menghitung uang pemberian Haris. Bibirnya tersenyum lebar.

"Alhamdulillah! Lima ratus ribu! Cukup, nih, sampai akhir bulan. Bang Rahman enggak perlu sampai utang sekarang." Hani bermonolog sembari memandangi lembaran merah di tangannya.

Sebelum nanti suaminya terlanjur meminjam uang, Hani segera menghubunginya. Dia menceritakan tentang uang pemberian adiknya itu.

Tak salah memang Rahman mengajak adiknya tinggal bersama. Perekonomian mereka jadi terbantu oleh Haris. Apalagi adik Rahman pengertian dan tak pelit. Lama-lama di sini juga Hani tak masalah.

"Daripada Haris harus ngekos atau ngontrak rumah, kan, sama saja keluar uang. Mending jatah untuk bayar kos, dia kasihkan ke Hani saja," batin Hani senang.

Hani jadi ketawa-ketawa sendiri akibat pagi-pagi dapat uang kaget. Banyak lagi. Sepertiga dari jatah bulanannya dari Rahman. Kan, lumayan.

Hani menaruh kembali ponselnya di kasur. Kemudian menyimpan uang dari Haris di lemari. Setelahnya, ia kembali melanjutkan menyapu.

Saat di ruang tengah, terlihat pintu kamar Haris tak menutup sempurna. Hani jadi berniat untuk menyapunya. Selama ini Haris yang seringnya menyapu rumah, atau kalau tidak Hani sungkan untuk menyapu kamarnya.

Karena buat Hani itu ruang pribadi Haris. Namun, kali ini karena ingin membalas kebaikannya pagi-pagi begini, Hani memutuskan untuk menyapu kamar adik iparnya itu.

"Wah, rapi sekali!" gumam Hani saat memasuki kamar pemuda yang usianya lima tahun di bawahnya itu.

Semua barang tertata dengan rapi. Dari meja kerja, serta beberapa foto-foto pemandangan alam tergantung dengan rapi. Pemuda itu memang sangat berbeda dengan abangnya. Boro-boro Bang Rahman merapikan kamar, merapikan diri sendiri saja kalau Hani tak mengomel dia enggan.

Hani mulai menyapu lantai yang sama sekali tak berdebu ini. Meskipun kamar ini ada di dalam rumahnya, tetapi suasananya seperti bukan di rumah Hani yang sederhana itu. Banyak koleksi barang-barang yang ditata rapi oleh Haris. Maklum, dia sering menjelajah kemana-mana, jadi tak sulit untuk mendapatkannya.

Hani menyapu masih sambil mengamati kamar haris. Haris benar-benar tipikal cowok perfeksionis. Pas dengan penampilannya yang selalu rapi. Tak pernah dia biarkan rambutnya panjang sedikit saja, apalagi jambang atau kumis. Bersih dari wajahnya. Beruntung sekali gadis yang nanti menjadi istrinya.

"Aduh!"

Hani terkejut saat menyenggol sebuah kotak di meja kerja Haris. Kotak itu sampai terjatuh. Isinya pun berhamburan.

"Wah, bisa dimarahi Haris ini!" gumamnya.

Hani kemudian berjongkok untuk mengambil kembali kotak tersebut beserta isinya yang berhamburan. Lalu Hani terpaku saat mengamati foto-foto yang tercecer di sebelah kotak itu.

"Ini, kan, aku?" gumamnya sembari mengambil dua lembar kertas foto itu. Tergambar di kertas itu, Hani sedang menjemur baju dengan rambut tergerai basah.

Perasaan Hani jadi tak karuan melihat itu. Tangannya sampai gemetaran, dan foto itu terjatuh kembali ke lantai. Matanya membelalak saat melihat tulisan di balik foto itu.

"Kak Hani, aku cinta sama kamu."

Bab berikutnya