webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · perkotaan
Peringkat tidak cukup
371 Chs

Takdir

Raga sedang berada di klinik malam itu karena Savira merasakan sakit pada perutnya. Padahal tadi sore dia sudah mengingatkan pada perempuan itu untuk tidak menaruh sambal teralu berlebihan dan akibatnya saat ini dia harus diperiksa oleh dokter.

Setelah beberapa menit, Savira keluar masih dengan wajah pucatnya. Dengan gontai dia kemudian duduk di samping Raga.

"Udah?" tanya Raga.

Savira mengangguk lesu.

Raga melirik resep yang ditulis oleh dokter tadi kemudian membacanya. Ia merebut resep tersebut dan berniat untuk menebusnya.

"Kamu tunggu di sini dulu, biar aku yang ngambil," kata Raga.

Savira menyenderkan kepala dan punggungnya di kursi ruang tunggu pasien.

Dia memang sangat ceroboh. Bahkan di hadapan anak lelaki yang lebih muda sepuluh tahun darinya.

Rasanya sangat memalukan. Dan dia baru menyadari jika sudah mengalami hal memalukan sebanyak dua kali hari ini.

"Udah yuk pulang," ucap Raga ia berdiri di depan Savira setelah dua puluh menit berlalu.

"Kuat kan jalannya? Kalau gak kuat aku ambil kursi roda."

Savira langsung mendelik ke arah Raga kemudian berdiri dengan perut yang rasanya seperti dikuras habis-habisan.

"Rasanya kayak mau ngelahirin," gumam Savira.

"Emang udah pernah ngelahirin?"

"Belum sih," jawabnya.

Raga tersenyum tipis, dia berjalan di samping Savira dengan langkah yang melambat agar Savira tidak tertinggal langkahnya.

"Aku udah mutusin," kata Raga tiba-tiba.

"Apa?"

"Aku mau cuti kuliah," jawab Raga.

"Nah gitu dong, kan lumayan." Savira mengusak rambut Raga secara refleks, tapi tangan itu ditahan oleh Raga cepat-cepat.

"Kenapa? Kamu gak suka? Tanganku bersih kok."

"Bukan gitu."

"Terus?"

"Kamu lupa, kalau aku juga cowok?" gumamnya kemudian berjalan mendahului Savira.

Savira hanya menatap lelaki itu dari belakang kemudian tersenyum. "Memangnya kenapa kalau kamu cowok? Aku tau kalik, kalau kamu cowok?!" ledek Savira.

**

Seorang wanita tengah menatap kaku setelah dia melihat siapa yang membukakan pintu kamar hotel di mana suaminya malam itu menginap.

Dia adalah Ibu Raga, Rosma. Setelah diberi tahu oleh temannya jika dia tengah melihat suaminya masuk ke dalam kamar hotel. Ia pun langsung pergi ke sana.

Awalnya dia memilih untuk tidak percaya. Tetapi setelah melihat apa yang ada di depannya saat ini. Sepertinya dia harus percaya kalau suaminya memang sedang menjalin cinta dengan sekretarisnya sendiri.

Dengan gaun seksi berwarna merah menyala, lalu lisptik yang berantakan di sekitar bibirnya. Rosma langsung tahu jika mereka memang baru saja melakukan sesuatu.

"Kenapa kamu lama?!" tanya seorang lelaki dia langsung berjalan dan begitu melihat istrinya, dia seperti tak ada rasa bersalah sedikit pun.

Dia malah menantang istrinya untuk menceraikannya.

"Oh kamu—kenapa bisa sampai di sini?" tanyanya.

Rosma diam.

"Kenapa? Kamu mau menceraikan aku? Oke, ceraikan saja aku. Tapi Raga ikut denganku, karena kamu tahu sendiri kan kalau selama ini aku menikahimu karena keluargaku menyukai Raga."

Rosma masih tak bisa mengatakan apa-apa. Mendadak bibirnya kelu. Padahal dia bisa saja menampar lelaki yang sudah berkhianat di belakangnya itu. Atau mungkin menampar mulutnya agar tidak mengatakan hal menyakitkan itu lagi.

"Raga sudah dewasa, dia bisa memutuskan dengan siapa dia tinggal," sahut Rosma dengan mata berkaca-kaca.

Ia kemudian berlalu dari suaminya tanpa mengatakan apa-apa. Hatinya sudah terlanjur remuk saat ini.

Dia berjalan dengan langkah gontai. Sampai tanpa sadar dia mengenakan sandal yang berbeda. Ia mengusap air matanya, dan menyalahkan dirinya sendiri.

Kalau saja dulu dia tidak termakan dengan bujuk rayu suaminya mungkin dia tidak akan hamil Raga. Seharusnya dia tidak percaya kalau dia akan bertanggungjawab padanya.

"Udah untung kamu aku mau nikahi kamu!" serunya setiap kali mereka bertengkar. "Kalau aku mau, aku bisa meninggalkanmu waktu masih hamil muda, atau mungkin membunuh bayi yang membuatku harus terikat denganmu!"

Hati Rosma selalu tercabik tiap kali teringat dengan perkataan suaminya seperti itu. Rasanya sangat menyesakkan sampai dia ingin berteriak tetapi tidak mampu.

Kini Rosma sedang duduk di sebuah bangku. Dengan wajah tertunduk dia menutupi wajahnya yang sudah berurai dengan air mata.

Rasanya memalukan ketika suaminya sendiri mengatakan hal itu di depan wanita lain.

"Maaf—sandal Anda terlepas di sana," ucap seorang lelaki. Dia membawa sandal Rosma yang tidak ia sadari terlepas beberapa meter di belakangnya.

Rosma mendongak kemudian mengambil sandal yang ia ulurkan.

"Terima kasih," ucap Rosma. Ia kemudian mengenakan sandal itu lagi. Karena dia baru sadar jika sandalnya berbeda, ia menyembunyikan satu kakinya agar tidak terlihat oleh lelaki itu.

"Apa Anda baik-baik saja?" tanya lelaki itu lagi. "Sepertinya kaki Anda terluka."

"Saya tidak apa-apa."

Batin Rosma yang terluka.

Lelaki itu kemudian pergi entah ke mana. Rosma yang bingung hanya memandanginya dari kejauhan kemudian menundukkan wajahnya lagi.

Namun setelah beberapa saat, suara langkah terdengar mendekat lagi dan tiba-tiba lelaki tadi memberikan sebuah obat untuk kakinya yang terluka karena lecet dengan aspal yang tadi diinjaknya.

"Kaki seorang wanita tidak boleh terluka," kata Rico. Ya, dia adalah Rico. Dia membersihkan kaki Rosma meskipun dia baru bertemu dengan perempuan itu satu kali.

Rosma yang selama ini tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari seorang lelaki merasa ada yang aneh dengan hatinya.

Tapi begitu tersadar dia langsung menarik kakinya lagi.

"Maaf kalau saya lancang," ucap Rico terkejut. Dia juga tidak tahu mengapa harus melakukannya untuk wanita yang tampak menyedihkan itu.

Rosma berdiri kemudian berjalan menjauhi Rico yang masih tertegun

Rico lantas memandangi bayangan Rosma yang mencegat taksi yang baru saja melintas.

"Lagi di mana sekarang? Aku di depan hotel tempat kamu nginap!" seru Rico ketika mengangkat telepon dari Ardi.

"Lagi di kamar sama pacarku, kenapa?"

"Masih tanya kenapa?! Kamu kemarin yang bilang kalau kamu jomblo, dan sekarang lagi di kamar hotel sama pacar kamu! Brengsek bener kamu, Di!"

"Awas ya sampai kelihatan batang hidung kamu, aku bakalan—"

TUTT TUTT TUTTT

"Lelaki brengsek," rutuk Rico.

**

Dina sedang menunggu Savira dan Raga di depan pintu rumah. Dia khawatir karena kedua orang itu belum kembali dari klinik.

Namun matanya langsung menangkap bayangan kedua orang itu setelah beberapa menit.

Savira turun dari motor Raga kemudian membukakan pintu pagar untuk lelaki itu.

"Gimana, Mbak? Mbak baik-baik aja kan?" tanya Dina cemas.

"Gak apa-apa, cuma sakit perut," jawabnya lemas. Baru tiga jam tapi dia sudah bolak-balik ke kamar mandi sebanyak dua belas kali.

"Mau makan gak?" tanya Dina.

"Gak Din, makasih."

Dina menatap Savira yang masuk ke dalam rumah dengan lemas. Beberapa waktu yang lalu dia sudah sempat membuat rumahnya heboh karena Raga tiba-tiba menggendong Savira ke punggungnya.

Raga yang hendak masuk ke dalam rumah melihat Dina menatapnya dengan tatapan aneh langsung balas menatapnya.

"Kamu liatin aku kayak liatin lumpur tau gak?" tanya Raga pelan.

"Lumpur?" Dina masih mencerna apa maksud Raga barusan.

"Heh, kalau kamu lumpur aku babi dong?!" seru Dina tak terima. Raga yang sudah ada di dalam rumah tertawa karena Dina baru saja mengerti apa maksud ucapannya.