Alghifari Fauzi harus menyusun sebuah rencana. Karena tidak mungkin mendekati Zahra McKenzie dengan terang-terangan. Anak perempuan itu selalu dibuntuti pengawalnya, ke mana pun ia pergi. Pun untuk urusan ke kamar kecil. Pengawalnya akan memastikan terlebih dahulu toilet yang akan digunakannya aman untuk sang nonanya. Kemudian, setelah selesai menyisir seluruh penjuru toilet, pengawal itu akan menunggunya di luar toilet. Berjaga-jaga. Sungguh berlebihan, bukan?
Zahra McKenzie, anak siapa sebenarnya perempuan itu? Hingga membutuhkan pengawalan seperti itu. Untung saja hanya satu, bagaimana kalau dua atau bahkan lebih, pengawal yang menjaganya. Betapa terbatas sekali ruang geraknya. Entah, Zahra McKenzie memiliki pemikiran yang sama atau tidak dengan Alghifari Fauzi.
Usai kegiatan MOS, para siswa baru diminta berkumpul di kelasnya masing-masing. Hal ini dimanfaatkan Alghifari Fauzi untuk mendekati Zahra McKenzie. Alghifari Fauzi sengaja membuat pembagian kelas dengan para panitia MOS, agar ia yang mendapat kelas di mana Zahra McKenzie berada, yaitu kelas 1B.
Memang terlihat memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi Alghifari Fauzi. Tapi, mau bagaimana lagi? Jika tidak begini, ia tidak akan bisa mendekati Zahra McKenzie. Perempuan kurang ajar, yang telah memanfaatkan dirinya, dengan berbohong dan perlu menurunkan sedikit egonya, untuk mengakui, bahwa Zahra McKenzie berhasil memperdaya Alghifari Fauzi. Dan, itu fakta!
Memastikan terlebih dahulu, pengawal Zahra McKenzie tidak ikut masuk ke dalam kelas, Alghifari Fauzi lantas masuk ke dalam kelas 1B, bersama satu rekan panitia yang lain. Menjelaskan tugas-tugas yang harus dikerjakan atau dibawa pada hari ke dua MOS.
Alghifari Fauzi membagikan kertas berisi tugas ke masing-masing meja para siswa baru. Dan lagi-lagi, Alghifari Fauzi yang memutuskan, dia membagikan tugas di deretan meja yang terdapat meja Zahra McKenzie, Alghifari Fauzi sengaja menyelipkan pesan yang terlipat dengan rapi di bawah kertas tugasnya. Serta memastikan, Zahra McKenzie menerimanya.
Memandang iris mata Zahra McKenzie dengan tatapan sinis mengintimidasi. Alghifari Fauzi merasa puas, karena Zahra McKenzie terlihat gugup, saat menerima kertas tugas darinya. Dengan berbicara tanpa suara, Alghifari Fauzi menyuruh Zahra McKenzie membaca pesannya. Setelah itu, Alghifari Fauzi melanjutkan ke meja berikutnya, hingga semua kertas tugas di tangannya habis dibagikan kepada para siswa baru.
Sambil membasahi bibirnya, Zahra McKenzie membuka kertas pesan yang diselipkan Alghifari Fauzi. Membaca dengan cepat pesan itu. Seketika darahnya berdesir, ototnya menegang, peluh mulai membasahi pelipisnya. Terburu-buru, Zahra McKenzie meremas kertas pesan itu hingga menjadi gumpalan kecil, menaruhnya di balik saku baju seragamnya.
Zahra McKenzie mendongak, dan melihat lurus ke depan, tempat di mana Alghifari Fauzi berdiri dengan angkuh, senyum menyeringai, seolah mencemoohnya. Lekas, Zahra McKenzie menundukkan kembali pandangannya.
Mati aku!! Rutuknya dalam hati.
Setelah pembagian tugas selesai. Para siswa baru dibubarkan. Seluruh siswa meninggalkan kelas mereka, kecuali dua orang. Rekan sesama panitia, Mario Simora telah keluar lebih dahulu, sementara Alghifari Fauzi beralasan masih ada urusan di dalam kelas.
Mario Simora, saat akan keluar tentu saja tidak banyak bertanya, langsung meninggalkan kelas begitu saja, namun sorot matanya memahami sesuatu, yang tentu saja salah duga.
Zahra McKenzie masih duduk di tempatnya semula. Wajahnya ditekuk dalam-dalam, memandangi lantai tempatnya berpijak. Menanti dengan hati berdebar. Hukuman apa yang sekiranya ia terima?
Alghifari Fauzi, dalam suratnya menuliskan, bahwa ia akan menagih hutangnya dan akan membuat perhitungan dengannya. Karena telah membohonginya dan kabur meninggalkannya begitu saja di depan sebuah rumah kumuh. Dan memerintahkannya untuk diam di tempat dan tidak mencoba kabur dari tanggung jawab. Alghifari Fauzi mengancamnya akan membuat hidupnya menderita. Entah dengan cara apa, Alghifari Fauzi sendiri belum tahu. Ia hanya menggeretak gadis yang terlihat lugu dan polos.
Suara berat langkah kaki seorang Alghifari Fauzi ketika mendekati Zahra McKenzie terasa mengintimidasi gadis itu. Dan itu telah membuat Alghifari Fauzi cukup puas.
Tiba di depan mejanya, Alghifari Fauzi menduduki sebuah kursi tepat di hadapan Zahra McKenzie, jarak di antara mereka hanya dipisahkan oleh meja. Dan, Alghifari Fauzi mengetuk meja itu beberapa kali dengan jari-jarinya.
"Menurutmu, hukuman apa yang sebaiknya aku berikan padamu, atas perbuatanmu sebulan yang lalu?" Alghifari Fauzi bertanya dengan nada dingin dan tegas.
Zahra McKenzie masih bergeming. Namun, anehnya gadis itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menangis, atau ketakutan, hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dan itu membuat Alghifari Fauzi naik pitam, dan menggebrak meja sambil berdiri.
"Kamu dengar aku tidak?!" Zahra McKenzie terlihat bergidik. Entah karena terkejut, ataukah ketakutan, atau mungkin keduanya.
"Kakak, aku mohon, jangan marah. Bisa aku jelaskan," Zahra McKenzie berkata lirih, dengan pandangan matanya masih mengarah ke lantai.
"Tatap mata lawan bicaramu!" bentak Alghifari Fauzi.
"Kakak .... Kakak ini laki-laki. Seharusnya memperlakukan seorang gadis dengan lemah lembut." Entah mendapat kekuatan dari mana, perempuan di hadapannya ini menjadi berani. Mengingatkannya bagaimana memperlakukan seorang wanita.
Hah? Perempuan mana dulu? Batin Alghifari Fauzi mempertanyakan ucapan gadis itu. Zahra McKenzie jelas perempuan yang tidak cocok diperlakukan dengan lemah lembut.
Lihat saja, sebulan yang lalu, Alghifari Fauzi begitu terpengaruh oleh penampilannya yang urakan, ditambah cerita menyedihkan yang diusung perempuan itu, ia dengan suka rela membantunya. Bahkan percaya begitu saja, bahwa perempuan itu akan memberinya bayaran sesuai janjinya. Berapa pun!
Dan hasilnya? Dia berhasil dibohongi, ditipu, diperdaya, bahkan dilecehkan secara tidak langsung! Yeah, itu pun jika ada seorang gadis yang mencium laki-laki tanpa ijin, bisa dikategorikan melecehkan, sih. Benar tidak? Alghifari Fauzi bahkan tidak membalas ciuman itu. Meski tidak menolaknya juga. Bagaimana tidak? Saat itu, ia sendiri merasa syok. Dengan gerakan impulsif gadis itu, dan dengan cepat meninggalkannya.
"Kakak?" Zahra McKenzie melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Alghifari Fauzi. Karena sedari tadi, ia sibuk dengan pikirannya sendiri, dan tanpa sadar telah mengabaikan Zahra McKenzie.
"Jadi, Kakak ingin dibayar berapa?" tanya Zahra McKenzie polos. Membuat Alghifari Fauzi mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
Gadis ini! Sungguh! Benar-benar sungguh berani!
Zahra McKenzie membuka tasnya, dan mengeluarkan sebuah buku mirip cek. Membuka tutup pulpennya dan hendak menuliskan sebuah cek.
Ya, Tuhan! Alghifari Fuazi telah dibuatnya terasa tidak memiliki harga diri lagi!
Gadis ini! Benar-benar memiliki nyali yang tinggi! Atau terlalu bodoh? Atau kelewat (merasa) pintar dan (merasa) kaya?!
Alghifari Fauzi menahan tangan Zahra McKenzie menorehkan tintanya di atas cek itu. Tidak. Bukan perhitungan seperti ini yang diharapkan oleh Alghifari Fauzi.
Lagi pula, bisa jadi, cek itu palsu, bukan? Mengingat betapa mudah dan lihainya ia mengarang cerita tentang pernikahan paksanya dan juga keluarga angkatnya yang miskin. Namun, kenyataan yang dilihatnya saat ini, perempuan polos yang dahulu terlihat lemah, ternyata baik-baik saja, bahkan mungkin berasal dari keluarga kaya raya.
Mana ada, keluarga miskin yang mempekerjakan seorang pengawal untuk anaknya. Omong kosong! Terlalu mengada-ada. Halusinasi.