5 Bab. 5. Gelegak Tawa Jijik

Pagi kemudian menjelang. Matahari dengan kemilaunya yang terang benderang, mulai menunjukkan dirinya. Masuk melewati ventilasi-ventilasi udara dan juga celah-celah gorden jendela.

Namun, orang-orang yang semalam meributkan sebuah kisah perselingkuhan itu masih asyik dalam mimpinya. Hani dan Mayang tidur telentang dengan kaki saling menindih di ranjang kamar tamu, milik dari wanita yang sudah selingkuh dengan Jimi. Rambut keduanya acak-acakan, sama acak-acakannya dengan wajah bekas menangis semalam. Mereka juga mengorok sesekali, saking lelap dan lelahnya.

Sementara itu, Jimi yang tidur di lantai tanpa bantal ataupun selimut, meringkuk menekuk lutut karena dinginnya suasana malam menjelang pagi. Rambut sedikit ikalnya tak kalah berantakan, begitu juga dengan wajah dan pakaiannya yang semerawut. Dia bahkan mendengkur keras sepanjang malam, meski tak mengganggu tidur istri dan temannya sama sekali.

Lalu Ana, janda tak beranak itu pun masih terlelap di kamarnya sendiri, setelah bergadang hampir semalam penuh. Dia menangis sepulang mengantar Mayang dari bidan. Menyesal, sekaligus tak menyangka kalau lelaki yang dikencaninya itu sudah beristri. Bahkan, sudah masuk ke dalam tahap menjadi seorang ayah. Jimi sukses membohonginya selama ini.

Pasalnya, enam bulan Ana mengenal Jimi sebagai seorang lelaki baik dan perhatian, kekasihnya itu tetap mengaku sebagai duda tiap kali ditanya. Bahkan mengaku tak punya anak juga. Karena dari penampilan, lokasi pekerjaan dan usia Jimi pun mendukung kalau dia itu benar-benar seorang single. Membuat Ana percaya begitu saja, tanpa bertanya lebih lanjut atau menyelidiki Jimi terlebih dulu. Terlebih, ia memang sudah dibutakan cinta yang ternyata sebuah dusta.

Sayangnya, nasi telah menjadi bubur. Tak lagi ada yang bisa diubah kecuali mengakhiri hubungan gelapnya itu sekarang juga. Ana tak mau disebut sebagai wanita penggoda suami orang. Terlebih, statusnya adalah seorang janda kaya. Orang-orang sudah pasti akan menuduhnya sampai membeli-beli seorang pria.

Larut dalam kesedihannya, Ana pun akhirnya dapat tertidur. Ia begitu lelap, sebab lelah karena isi pikirannya yang terus menyalahkan diri sendiri. Namun, saat hari sudah menjelma pagi, wanita berambut sedikit panjang itu pun bangun.

Ana mengerjap, tiba-tiba bangun dengan napas tersengal karena kejadian semalam pun menjadi mimpi buruknya selama tidur. Pandangannya mengedar, memastikan dirinya sendiri sedang ada di mana. Barulah setelah itu Ana sadar, apa yang dirasakannya barusan adalah efek dari mimpi tentang semalam. Ana menguap sembari mengucek mata. Ia pikir, dirinya harus segera bangun.

Namun, begitu Ana bangun, dirinya justru mendesis kesakitan. Pegal yang ia rasa akibat serangan ganas dari Hani dan Mayang membuat sekujur tubuhnya terasa ngilu. "Sakit sekali," desisnya sambil memijat-mijat pundak sendiri. Pergelutan semalam benar-benar membuat tubuhnya terasa remuk juga.

Sembari mengedip-ngedipkan mata sipitnya yang masih terasa ngantuk, Ana berusaha berdiri meski akhirnya gontai. Selain karena pegal dan lemas, Ana juga merasa lapar. Ia ingin memakan sesuatu sebelum membereskan kamar bekas berantem semalam. Namun, saat Ana baru saja keluar dari kamar, tiba-tiba saja ia merasa begitu penasaran, ingin melihat apakah Jimi dan istrinya masih ada di kamar depan, atau justru sudah pulang tanpa berpamitan.

Dilangkahkannya kaki tanpa alas itu menuju kamar yang ditempati Jimi, Hami dan Mayang di sepanjang malam. Ana sampai di depan pintu, tapi ia akhirnya kembali berdiam diri di sana. Hatinya sempat merasa begitu ragu, takut kalau saat dirinya membuka pintu kamar tersebut, Mayang ada di hadapannya. Tapi, perlahan-lahan, pintu jati bercat cokelat itu pun Ana buka. Rasa takutnya kalah oleh rasa penasaran. Dan ...

"Mereka masih pada tidur? Astaga! Dan Jimi tidur di lantai?"

Ana pun menangkup mulut sembari menahan tawa karena merasa lucu sendiri. Ia mungkin memang sangat mencintai Jimi. Tapi, apa yang Jimi lakukan itu ternyata hanya sebuah dusta. Dan, itu membuatnya setuju jika semalam Mayang menyuruh Jimi tidur di lantai.

 Tak ingin ketahuan, buru-buru Ana menutup pintu kamar tamunya lagi. Membuat dia akhirnya kembali ingat, pada rasa lapar yang tadi terasa mencengkeram perut. Segera Ana pun pergi ke dapur, meski dengan langkah yang masih saja gontai. Ana ingat, ada sebungkus roti tawar dan selai kacang di kulkas. Membuat Ana kembali buru-buru untuk mengambilnya di sana.

Setelah merasa tegang hampir di sepanjang malam, akhirnya Ana dapat sedikit mengulas senyum saat mengambil roti di dalam kulkas. "Akhirnya perutku ini akan terisi. Syukurlah masih ada sisa roti," katanya, sembari membawa roti dan selai tersebut ke meja makan.

Di sana Ana duduk seorang diri, makan seorang diri, dan juga bicara seorang diri. Setiap ucapannya berisi umpatan terhadap diri sendiri, juga terhadap Jimi yang sudah membodohinya. Namun, Ana sama sekali tak bisa berbuat kasar sehingga tega mengusir semuanya dari sana. Ana justru membujuk mereka untuk bermalam.

"Sumpah, ya. Aku benar-benar tak mengira kalau hal semacam ini bisa terjadi dalam hidupku." Ana bergumam, dalam keadaan mulut penuh. "Padahal, mimpi pun aku tak pernah untuk merebut suami orang. Amit-amit! Ish. Bodoh! Bodoh! Bodoh!" umpatnya lagi.

Terbawa suasana hati yang kesalnya minta ampun, Ana pun mengunyah rotinya itu cepat-cepat sampai penuh. Lalu, kembali Ana melapisi sepasang roti yang baru dengan selai. Dia benar-benar lapar, sampai beberapa pasang roti yang sudah dihabiskannya itu tak berasa sama sekali diperut.

"Bodoh! Kenapa juga aku mesti tertipu oleh kata-kata manisnya?" Ana yang mulai semakin geram pun menggebrak meja. Ia benar-benar kesal. "Kalau sudah begini, aku juga kan kena salah. Padahal, yang harusnya disalahin itu kan dia sendiri. Kenapa mengaku single?"

Tanpa Ana ketahui, Hani dan Mayang sudah satu menit lamanya mendengarkan dari belakang. Keduanya mengepalkan tangan, menahan geram dan kesal. Lalu menggeleng-geleng, seolah tak peduli dengan apa yang dikatakan Ana dalam geming.

Salah tetap salah. Tidak ada tawar-menawar, apalagi dalam hal perselingkuhan. Mereka harus dihukum, pikir Mayang. Jimi ataupun Ana, Mayang tetap memandang salah keduanya. Membuat dia akhirnya kembali lepas kontrol, lalu menjambak rambut Ana dari belakang.

"Dasar wanita nggak tahu diri! Sudah bikin rumah tangga orang berantakan, malah enak-enak sarapan?"

Mayang merutuk, berteriak tanpa melepaskan jambakannya. Membuat Ana mendongak, bahkan tersedak saking terkejut dengan apa yang dilakukan istri dari kekasihnya itu. Roti dalam genggamannya pun terlepas, jatuh sampai selainya mengotori lantai. Mayang tak peduli. Yang ingin ia lakukan sekarang adalah melanjutkan serangan semalam.

"Astaga sakit! Sakit, Mbak. Aduh ... Tolong lepas rambutku. Sakit, Mbak!" teriak Ana, sambil memegangi kedua tangan Mayang di kepalanya. Tapi, cengkeram Mayang jauh lebih kuat darinya. "Kita bisa bicara baik-baik. Karena aku yakin, kalau semua ini cuman salah paham!" sambungnya.

"Salah paham kamu bilang?" Hani yang berdiri di samping Ana sambil memvideo kejadiannya pun berdecak, bahkan tertawa karena merasa lucu sendiri. Apa yang terjadi di hadapannya itu adalah kejadian langka. "Apanya yang salah paham, hah? Memang, seandainya Jimi beneran single, kamu pikir hubungan kotor macam ini pantas dibiarkan? Astaga!" sambungnya, masih dengan gelegak tawa jijik.

avataravatar
Bab berikutnya