Tak terasa seminggu telah berlalu tanpa mendengar kabar dari Radit. Membuat wanita itu menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya. Sampai berulang kali.
Dia sedang berdiri menatap lurus ke depan sinar mentari yang semakin tenggelam di ufuk barat. Angin sepoi-sepoi datang menerpa rambut gelombangnya, membuatnya terasa sedikit sejuk.
"Tidak baik terlalu lama berada di balkon Sayang. Angin sore tidak baik untukmu," tegur seseorang saat telah usai menyingkap gorden berwarna putih itu dan membuka pintu balkon.
Wanita itu tidak bergeming dari tempatnya, membuat pria itu menatapnya tidak suka. Meski membelakangi pria itu, tapi wanita itu bisa membaca rautnya yang sudah tak enak di pandang.
"Sayang kau mendengarku tidak," ujar pria itu menyelipkan paksa ke dua tangannya, masuk ke dalam pinggang wanitanya dan mengeratkan pelukannya dari belakang.
"Hm," dehem wanita itu malas. Dia terlalu malas berada didekat pria itu, hari-harinya sangat membosankan dengan kehadiran pria yang mendekapnya ini.
"Kenapa perutmu sedikit menggembung, kamu habis makan apa Sayang?" tanyanya tapi tak urung tetap mengelus perut wanitanya sambil tersenyum.
"Rasanya aku sangat bahagia saat kembali menikahimu untuk ke dua kalinya, bahkan pernikahan kita akan semakin erat Sayang," celotehnya panjang lebar tanpa ada respon dari wanita itu.
Tanpa sadar pegangan wanita itu mengerat pada pembatas balkon. Dia benci hari itu, dimana ia harus menikah untuk ke dua kalinya dengan pria didekapannya ini. Dia sangat benci, awalnya dia berharap hanya menuruti kemauan pria itu, dia akan bisa mendapatkan kepercayaannya bahwa ia tidak akan kabur lagi. Tapi ternyata dia salah besar, nyatanya pria yang ini sangat manipulatif. Membuat ia harus terjebak ke dalam pernikahan lagi bersamanya.
"Pernikahan ke dua kita lebih sederhana yah Sayang. Tapi aku sangat menikmatinya," ucapnya semakin merapatkan tubuh mereka tanpa celah.
"Seharusnya kita tidak kembali menikah," balas wanita itu terdengar sarkas.
"Aku sengaja, meskipun kita masih dalam status suami- istri sampai seka– ehh tidak sekarang, tapi selamanya aku akan tetap menikahimu lagi setelah menemukanmu Sayang. Aku telah berjanji, dan sekarang aku menepatinya," ungkapnya dengan binar bahagia yang dapat ditemukan dalam netranya.
"Kamu licik," batin wanita itu menipiskan bibirnya. Mendengar segala ucapan pria yang mendekapnya.
"Sebaiknya kita ke dalam Sayang, kamu harus mandi setelah itu kita makan bersama," ujarnya membalikkan paksa tubuh wanitanya, yang tak bergeming dari tempatnya.
Dia memberikan kecupan ringan di bibir wanitanya, saat wajah mereka saling berhadapan.
"Kamu selalu cantik Sayang," pujinya yang tak ditanggapi oleh wanitanya.
"Aku mau ke dalam," potong wanita itu sengaja mengalihkan pembicaraan. Agar ucapan pria di depannya ini tidak bercabang ke mana-mana lagi.
"Ayo," ajak pria itu akhirnya, menuntun wanitanya untuk masuk. Terlihat berlebihan memang.
Tapi mau bagaimana lagi ia sangat takut jika wanita itu kembali meninggalkannya, seperti dua tahun yang lalu.
Pria itu segera menutup balkon kamar mereka. Membiarkan wanitanya berjalan sendiri menuju kursi, yang tak jauh dari sana.
"Jangan tutup jendelanya," teriak wanitanya tiba-tiba. Membuat ia mengurungkan niatnya untuk menutup jendela.
Dia tersenyum tipis akan hal itu. "Iya Sayang."
Setelah itu ia langsung bergabung duduk bersama wanitanya, yang sedang membuka beberapa paper bag berisi makanan.
"Wow makanannya banyak sekali," gumam wanita itu pelan menatap takjub semua makanan di atas meja.
"Aku sengaja menyuruh chef memasak semua makanan ini, hanya untukmu." Dia tersenyum bangga setelah itu.
Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, ia segera menikmati makanan itu satu persatu. Tak lupa ia menambahkan banyak sambal ke dalam piringnya. Selama tinggal di Indonesia, dia sudah terbiasa dengan semua kuliner di Indonesia. Apalagi, ia pernah bekerja di salah-satu restoran sebagai pelayan. Jadi tak urung ia sudah hafal nama-nama makanan khas Indonesia. Meski sebagai pelayan tetapi ia mempunyai banyak teman di sana, ditambah ia banyak belajar tentang resep makanan.
"Ekhm," dehem pria itu di sampingnya membuat wanita itu menoleh.
"Kamu mau?" tanyanya dibalas wajah cemberut dari pria itu.
"Iya Sayang aku mau, apa pun yang kamu makan aku juga akan memakannya. Asal kamu menyuapiku," ucapnya seraya membuka mulutnya.
"Baiklah," ujar wanitanya mengarahkan satu suapan nasi dan lauknya ke dalam mulutnya.
"Heum ewnak," ujarnya tidak jelas karena sedang mengunyah.
"Telan dulu," protes wanita itu kembali menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.
"Kamu kembali ke kantor?" tanyanya saat ia melihat suaminya mengecek jam di pergelangan tangannya.
Semuanya sudah normal kembali, saat ia telah mengucapkan janji suci pernikahan untuk ke dua kalinya. Pria itu terlihat jauh lebih normal dari biasanya. Ia sudah kembali bekerja lagi, mengurusi berbagai perusahaan.
"Iya. Kenapa Sayang, kamu mau ikut?" tanyanya menatap wanitanya penuh harap. Semoga ia mencegahnya untuk kembali ke kantor, sehingga ia bisa menghabiskan banyak waktu dengannya.
Wanitanya nampak berpikir membuat ia mengusap pelan pelipis wanitanya. "Kalau kamu tidak mengizinkan ku untuk kembali ke kantor. Maka aku akan menurutinya, aku akan di sini bersamamu. Biarkan saja Rudolp yang menghandiri rapat dengan klien nanti."
"Aku tidak melarangmu untuk ke kantor. Tapi aku bosan berada di dalam kamar terus, biarkan aku keluar," ucap sambil menatap mata suaminya.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu keluar tanpa aku, memangnya kamu mau ke mana?" lanjutnya bertanya menatap cemas wanitanya. Setiap kali wanita itu ingin keluar tanpa dirinya, ia selalu saja merasa takut dan khawatir di saat yang bersamaan jika wanita itu meninggalkannya.
"Aku tidak ingin dia tahu, jika aku ingin pergi memeriksa kandunganku." Wanita itu mulai melamun kembali sedang berkutat dengan pikirannya.
"Sayang," panggil suaminya menggoyangkan lengan sang Istri dengan lembut. Membuat wanita itu tersentak, saat kesadarannya kembali.
"Ehh iya?" tanyanya agak linglung. Akhir-akhir ini dia merasa sedikit kecapean meski ia tidak pernah bekerja.
"Dari kemarin-kemarin kamu terus melamun Lora, kamu sedang memikirkan apa? Apakah kamu berniat meninggalkannku lagi? Kamu tahukan, aku tidak bisa mengendalikan emosiku jika itu sampai terjadi. Aku sangat buruk jika sedang marah," jelasnya panjang lebar sembari memijit pelipisnya.
Wanita itu diam membisu di tempatnya. Gelora tahu kalau saat ini ia sedang bersama dengan Pragma, tapi pikirannya terus mengarah pada Radit. Sudah seminggu lamanya dia tidak lagi mengetahui kabar Radit, yang sekarang telah resmi menjadi mantan suaminya detik itu juga. Saat Zaelan memberikan ancaman padanya tempo lalu, dan sejak saat itu juga dia mengugat cerai Radit di pengadilan agama tanpa sepengetahuan Pragma. Dan ia tidak berani untuk bertemu dengan ibu dan ayahnya Radit.
Tanpa sadar Gelora kembali mengeluarkan air matanya. Hatinya sangat sakit, saat mengingat dia telah berpisah dengan malaikatnya, Raditnya, belahan jiwanya selama dua tahun ini ia menghabiskan waktu bersama. Dan sekarang semuanya sudah tinggal kenangan.
Pragma panik saat menyadari istrinya sudah terisak, sembari menutup matanya dengan ke dua tangannya.
Hiks-hikss
Suara isakannya terdengar pilu. Pragma panik saat istrinya tiba-tiba menangis. Apakah ia membuat kesalahan?
Dengan hati-hati ia mengangkat wanitanya untuk duduk di atas pahanya. Dia berusaha menenangkannya dengan mengusap punggungnya dengan pelan.
Bukannya berhenti Gelora malah mengencangkan tangisannya. Membuat Pragma semakin merasa bersalah dan menyalakan dirinya.
"Maaf Sayang, tolong maafkan aku, jika aku membuat kesalahan padamu. Kamu ingin keluar kan? Ayo, aku akan menemanimu ke manapun," bujuknya sambil mengusap lembut ke dua mata wanitanya.
To Be Continue.