Ima terbangun dengan cepat dari tidurnya, ia langsung bangun duduk dengan rambut yang berantakan.
"(Astaga, ini benar-benar membuat kepala ku sakit,)" ia menjadi memegang kepala nya sambil mengingat kemarin ketika Regis bilang padanya bahwa dia suka pada Ima.
Mendadak perasaan nya bercampur aduk. "(Huhuhuhu, aku benar-benar tidak tahu lagi harus apa... Apa yang akan kujelas kan pada ibu nanti, kemarin itu memalukan aku mengatakan aku suka pada Lio Zheng dan sekarang yang menerimaku adalah Regis karena dia memang suka pada ku.)"
Setelah banyak merenung itu, dia berjalan ke kamar mandi dan mandi pagi untuk segera ke kampus.
Tapi saat memakai bajunya di kamar, ia tiba tiba saja menghayal bahwa Regis ada di sampingnya dan membelai kepala Ima, hal itu membuat Ima tidak tenang dan berwajah merah hanyut dalam khayalan nya itu.
"Akh.... Ini memalukan!!!" teriak Ima saat di kamarnya sendiri.
Ibu nya yang mendengar itu dari bawah sedang menyiapkan makanan mendengar teriakan Ima itu dan kemudian berjalan datang membuka pintu kamar lebih Ima.
"Ima... Ada apa?!" tanya nya tapi Ima terlihat gemetar di bawah dengan putus asa. Ia menoleh ke ibunya dengan wajah menangis.
"Ibu... Apa yang harus kulakukan?"
"Apa maksudmu?"
"Aku.... Di tembak seseorang!!"
Mendengar itu, ibunya ngelag sebentar, tapi kemudian dia mengerti apa yang terja". . . Ho~ Jadi sudah dewasa beneran nih, siapa lelaki yang menembakmu?" lirik ibunya.
"Dia.... Akhhh tidak!! Aku tidak mau ibu!! Ini benar-benar terlalu mendadak dan aku tidak siap untuk ituuuu," Ima merengek sangat keras.
"Ayolah, sayang, siapa lelaki itu... Ibu ingin tahu, ayo, ayo..." Ibunya menatap bercanda.
"Dia.... Regis... Pria yang ber masker itu..."
". . . Pria itu? bukankah dia bisu kau bilang?"
"Ya, dia bisu, tapi dia benar-benar berbicara, selama ini aku di bohongi oleh dia.... Dia benar-benar orang yang misterius, aku bahkan tak tahu kepribadian nya yang sebenarnya."
"Tak apa Ima," kata ibunya yang mendekat sambil membelai kepala Ima.
"Hah... Kenapa malah tidak apa-apa?! Ini hal yang pertama untuk ku dan..." Ima menjadi terkejut sekaligus takut.
"Ini pertama kalinya untukmu, kau juga harus sebaik mungkin untuk melakukan ini... Apa dia masih kuliah atau bekerja?"
"Dia... Seorang polisi," kata Ima seketika ibu Ima terkejut dan langsung memegang pundaknya.
"Ima... Cepat lah bertunangan!!"
"Apah!!" Ima menjadi terkejut. "Kenapa begitu?!"
"Pekerjaan polisi sangat lah sulit, lelaki sepertinya juga bakal sulit di dapatkan dan lagi sepertinya jika dia sudah bekerja dia lebih dewasa dan berpikir tenang. Dia akan mengajarimu cara berumah tangga yang baik dan pastinya.... Ibu juga akan punya cucu~"
"Tu-tunggu ibu... Apa kau tidak berpikir aku masih gadis kuliahan... Mana mungkin bisa aku menjalani keduanya?"
"Haiz... Baiklah ini pilihan mu sendiri Ima, ibu juga tidak akan memaksa."
"Serius.... Kenapa ibu malah terserah sama aku? Aku harus apa? Ini aku belum punya pengalaman lo?" Ima menatap panik.
"Soal pengalaman itu kamu yang jalani, jangan heran dengan pengalaman mu nanti seperti apa. pengalaman pastinya akan mengajar kan mu sesuatu, karena itulah jika kau di tembak seseorang, cepat ajak dia nikah ok?" tatap ibunya. Lalu Ima terdiam sebentar.
"Sudahlah, cepat ke kampus, kau akan terlambat nanti," kata ibunya. Tapi Ima masih terdiam dan menghela napas panjang hingga ia benar-benar ke kampus.
Sesampainya di kampus, Ima seperti biasanya berjalan melewati lapangan basket dan Mose yang ada di sana bersama teman teman nya menjadi berhenti dari bermain basket dan berjalan mendekat ke Ima. "Ima~" panggilnya dengan ramah.
Ima menoleh dan terkejut melihatnya. "Um.... Pagi, Senior," tatap nya.
"Pagi juga, kau tampak seperti biasanya yah..."
"Eh, apa maksud Senior?" Ima menatap bingung.
"Hari ini sangat—
"Mose!!" belum selesai bicara, Mose sudah di panggil oleh seseorang membuat dia dan Ima menoleh.
Seorang wanita yang sepertinya sama sekelas dengan nya datang padanya. "Mose, ini ada air untuk mu," dia memberikan botol minum mineral untuk Mose.
"Ah, terima kasih," Mose menerimanya dan itu membuat Ima terdiam menurunkan bibirnya.
"(. . . Dia menerima itu dengan mudah pada wanita, seharusnya lelaki yang baik tidak akan menerima itu, dia pastinya akan menolak dengan lembut, tapi apa yang aku lihat, sudah jelas di sini Senior Mose di sukai banyak orang,)" pikir Ima.
"Bagaimana? Apakah segar?" tatap wanita itu dengan nada centilnya.
"Ya, ini segar, terima kasih, ngomong-ngomong bisa tinggalkan aku dan Ima, kami harus berbicara dan mengobrol," kata Mose sambil memberikan botol minum bekas itu pada wanita itu.
"Oh, apa yang akan kalian bahas? Mose dengan gadis ini? bukankah dia adik kelas?" tatap wanita itu, nada nya seperti merendahkan Ima yang hanya bisa terdiam.
"Tidak, kami tidak akan membahas hal yang penting, hanya sekedar mengobrol," balas Mose.
". . . Baiklah," wanita itu melirik Ima dan berjalan pergi.
"Jadi ima—
"Senior, seperti nya kita akhiri saja... Aku tidak ingin membuat konflik di sini..." sela Ima.
"Apa maksud mu? Mari kita lanjutkan bicara kita, sebenarnya aku hanya ingin tanya apakah kau punya pacar? Atau seseorang yang di sukai?" tatap Mose. Seketika Ima benar-benar terkejut tak karuan.
Ia menjadi terdiam sebentar dan membuang wajahnya. "Jika aku mengatakan tidak, apa yang akan Senior lakukan?"
"Yah, aku hanya ingin tahu saja kok, siapa tahu kau mau jalan bersama ku," kata Mose. Seketika Ima terkejut dua kali, dia tak menyangka senior populer seperti Mose bisa tertarik pada dirinya yang merupakan gadis biasa di kampus.
"Aku.... Aku tidak salah dengar ini?!"
"Ya, aku mengatakan nya, apa kau mau jalan bersama ku Ima?" tatap Mose.
Tapi Jam kampus sudah masuk membuat Ima kebetulan melihat hal itu dan terkejut. "Ah, aku harus pergi," tatap nya dengan panik. Lalu ia berlari pergi dari Mose yang terdiam menurunkan bibirnya.
"(Aku harus cepat cepat mendapatkan gadis itu, jika tidak... Dia hanya akan dekat dengan lelaki buta itu,)" pikir Mose. Ia sudah tahu bahwa Ima selalu membantu Lio Zheng yang buta dan itu membuat nya cemburu melihatnya. Tapi satu hal yang tidak ia tahu, Regis sudah duluan melakukan nya.
Sepulang kampus, Ima berjalan sambil melihat sekitar dengan waspada. "(Aku harap tak ada Mas Mose,)" ia berjalan dan kebetulan melihat Lio Zheng yang ada di gerbang kampus berjalan sendirian dengan tongkat alat bantunya. Ima berhenti berjalan dan menjadi berpikir kecewa.
"(Jika kamu tidak menolak ku saat itu, aku juga bakal membantumu sekarang, sebenarnya apa masalahmu, padahal kau bilang aku cantik.)"
Setelah itu, Ima ke kafe untuk memulai bekerja sambilan. Ketika sudah sampai di sana, ia melihat sekitar. "(Aku benar-benar sangat khawatir, aku masih merasa bersalah jika di depan manajer,)" ia masih memikirkan kata-kata Manajer Hinko dan saat ini dia tidak berani masuk.
Tapi tiba-tiba secara kebetulan, Manajer Hinko membuka pintu kafe dan itu membuat mereka sama sama menatap.
"Ima?"
"M... Manajer?!" Ima menjadi terkejut menoleh.
"Ima, kenapa kau ada di sini? Kenapa tidak masuk? Kamu tidak ingin bekerja?" Manajer menatap.
"Um... Sebenarnya, aku masih merasa bersalah pada Manajer."
"Hm? Kenapa?"
"Soal kemarin itu, aku tahu manajer ingin menembak ku dan ingin kita jalan bersama tapi aku membalas dengan sangat kasar."
"Pft... Tidak apa-apa... Kau tidak membalas dengan kasar, kau bertindak benar dan aku mengakui aku salah, jangan khawatir, anggap saja itu tidak pernah terjadi... Anggap saja aku seperti manajer mu pada umum nya, jangan di bawa canggung begitu."
". . . Um tapi... Aku tidak bisa, itu terus saja terulang."
"Kalau begitu, aku akan keluar saja jika waktu mu bekerja."
"Ah jangan, nanti yang bantu tanggung jawab siapa jika aku melakukan kesalahan, manajer membantu ku memecahkan masalah milik Mas Fang Xei," kata Ima.
"Nah, kalau begitu cepat bekerja saja, jika butuh aku, aku ada di ruangan ku, mengerti, tapi jika kau ingin keluar, ini baik-baik saja."
"Ah tidak, aku tidak akan keluar, baiklah, aku akan bekerja seperti biasa, mohon bantuan nya manajer," Ima menundukan badan lalu Manajer Hinko mengangguk dengan senyum tipisnya yang selalu dia pakai.
Sementara itu Regis melepas masker hitam nya sambil bernapas cepat dan lelah. "Ha... Ini melelahkan," ia mengusap dagunya dari keringat.
Lalu menatap ke belakang dan tampak keributan di sana, dia ada di bagian lain kota yang sedang terjadi kericuhan. Beberapa menit yang lalu, di kabarkan bahwa ada pencurian di bank dan dia sebagai polisi inti akan melakukan tugas itu, sekarang dia berhasil melumpuhkan beberapa orang pelaku dengan sedikit luka di tangan dan wajahnya.
"(Mereka menggunakan pukulan dan pisau, aku agak kena pisau nya,)" ia menatap lengan nya yang tergores berdarah.
Lalu menyentuh alat penghubung jarak jauh di telinga nya. "3 pelaku sudah aku pegang, satu lari."
"Apa?!!" seketika ada yang berteriak membuat telinga Regis terkejut. "Bagaimana bisa, kenapa kau selalu saja menyisakan satu orang yang belum kau tangkap? Apa kau sengaja?! Aku tak mau tahu, polisi seperti mu mau apa jika melepas satu begitu huh!!?"
"Sialan! aku juga bekerja! Ini semua melelahkan jika aku harus bekerja sendirian!"
"Memang nya rekan mu siapa? Lio Zheng sengaja tidak menyembuhkan matanya sendiri hanya karena dia malas bukan, dan menyerahkan semuanya padamu, lebih baik kau kembali padanya menjadi rekan nya lagi," kata orang itu.
Regis memasang wajah kesal, ia lalu melampiaskan nya dengan menarik dua orang di bawah yang sedang tepar itu dan langsung melempar mereka ke tempat sampah umum di sana. Tak lupa satu nya lagi, sehingga 3 orang pelaku itu ada di tempat sampah.
"Sialan!!" ia berteriak, tapi semuanya menatap ke arah nya membuat Regis terkejut.
"(Apa bagian pengamanan belum mengamankan mereka?)" ia terdiam. Lalu menghela napas panjang.
"(Aku benci pekerjaan ku.)"