webnovel

Diselamatkan

Ada beberapa hal yang Ndari benci di dunia ini. Salah satunya sikap ayah yang tiba-tiba berubah. Semenjak kepergian ibu, sikap dan sifatnya tak lagi sama. Beliau menjadi pemarah, suka emosi dan mecari-cari kesalahan. Entah apa penyebabnya yang jelas Ndari tidak tahan.

Itu sebabnya ia memilih berdiri di atas jembatan ini. Bersiap melompat, mengakhiri hidup. Semua terasa gelap, baik isi kepala dan kehidupan yang dijalani.

"Ndari, woy Ndari turun! Kamu gila apa naik-naik di atas jembatan!"

Suara serak dengan nada berat itu membuyarkan lamunan, spontan Ndari menoleh. Di bawah sana sudah berdiri cowok bermata cokelat menatap panik. Kedua tangannya mengepal hebat, menahan getar-getar rasa takut. Dadanya terlihat kembang kempis turun naik mengikuti napas yang saling memburu.

Pandangannya kembali dialihkan, bibirnya masih tertutup rapat, tak ingin menjawab. Entah dari mana, anak itu bisa mengetahui dirinya di sini. Perlahan kedua tangan direntangkan, menegakkan kepala, meluruskan pandangan. Semilir angin yang menerpa wajah membuatnya terpejam seketika. Embusan angin itu mampu menyapu tangis. Namun, tidak dengan kesedihan yang dirasakan. Di sisi lain, Miko bersiap naik, tentu saja untuk menghentikan tindakan konyol yang akan dilakukan kekasihnya.

"Ndari turun, cepet sini turun!" serunya dengan ancang-ancang mendekat, bersiap meraih lengan tangan wanita itu.

"Ko, le-pas. Tolong lepas!"

"Enggak, aku enggak mau ngelepasin. Ayo turun, ayo!"

Tangan Miko dengan cekatan mendarat di lengan tanpa Ndari sadari. Dengan sengaja menahannya sekuat tenaga agar cengkraman itu tidak lepas dan usaha bunuh diri yang akan dilakukan gagal. Berulang kali kaki Ndari menendang-nendang meminta dilepaskan tetapi permintaannya tak dituruti.

"Kalo ada masalah ayo diselesaikan bersama. Jangan kayak gini, please .…"

"Tolong lepas dan enggak usah ikut campur urusanku!"

Ndari masih berniat melompat. Sedangkan Miko bersusah payah menahannya.

"Ndari kita bisa bicara baik-baik …." bisik Miko membujuk.

Tanpa aba-aba, langsung menjatuhkan diri membuat Miko kaget luar biasa. Peluh resah, kekhawatiran mulai menitik membasahi seluruh wajah. Berat menahan tubuh kekasihnya dengan satu tangan yang akan terjatuh.

"Lepaskan aku Mik, kumohon...."

"Enggak, aku enggak akan lepas kamu Ndari."

Besarnya rasa cinta membuat Miko tetap bertahan. Entah berapa puluh air mata yang sudah gugur menemani adegan haru kali ini. Mulutnya sampai tak bisa berkata-kata. Begitu juga dengan tangan yang mengelantung, membuat otot-otot seperti ditarik paksa. Sakit yang pasti.

Sesekali Ndari mencoba menatap wajah cowok itu. Jujur kasihan melihat wajah kekasihnya memerah, menahan agar dirinya tak jatuh. Namun, tak mungkin ia mengagalkan usaha yang sudah berada di ujung tanduk. Mengulang hidup yang menyakitkan selalu membuat batin tertekan. Untuk saat ini mati adalah pilihan terbaik. Dalam benaknya kematian adalah kedamaian.

"Ndari tanganku sakit, Ayo naik," ucapnya nyaris menyerah tak kuat menahan.

"Lepasin, aku Mik. Aku capek hidup!"

"Semua orang punya masalah. Bukan hanya kamu yang satu-satunya menderita di dunia ini. Ayo bangkit, ayo naik. Kalo kamu sayang aku, ayo naik."

Sedikit demi sedikit mencoba mencerna yang diucapkan Miko. Cairan bening tak henti menitik. Tak pernah terpikirkan jika ia masih memiliki kekasih yang peduli dan sayang. Bahkan mencegahnya untuk bunuh diri. Apa salahnya jika memilih untuk tetap hidup?

"Ndari aku udah enggak kuat lagi. Kalo kamu mau tetap melompat, biarkan aku ikut bersamamu."

Deg! Mata Ndari langsung terfokus pada bola mata Miko. Seperti tak ada kebohongan di raut wajahnya. Tentu saja ia belum gila! Mana mungkin membiarkan kekasihnya turut mati bersama? Tentu memilih tetap hidup akan lebih baik.

"Kamu beneran sayang sama aku?" Ndari memastikan dengan mata berkaca-kaca.

"Iya, percayalah. Ayo naik, aku akan selalu ada buat kamu kapanmu. Aku janji!"

Mungkin saat ini, Ndari tak bisa mempercayai siapapun, tetapi berbeda dengan Miko. Dari matanya terpancar keseriusan, sepertinya dia memang serius, tak main-main dengan apa yang dikatakan.

"Jangan bohong …."

Miko mengangguk, bersusah payah menarik badan kekasihnya yang berat dan susah. Hingga bunuh diri itu dinyatakan gagal. Langsung dipeluk gadis malang itu dengan penuh kasih sayang. Degup jantung mereka sama-sama berdetak kencang.

Tangannya yang bergetar hanya bisa mengelus lembut kepala Ndari sembari terpejam. Sumpah, jauh dalam hatinya masih tak percaya kekasihnya mau menurut. Rasanya lega, bercampur aduk dengan air mata. Ini adalah tangisan pertama setelah sekian lama semenjak Miko tak menangis. Sedangkan Ndari masih sesenggukan dalam pelukan.

Miko mencoba melonggarkan dekapan. Tangan yang masih bergetar itu perlahan membelai rambut, membingkai wajah Ndari. Mencoba tersenyum meskipun sulit. Wajahnya yang penuh dengan peluh keringat itu menatap mata hitam milik wanita cantik di hadapannya. Bibirnya bergetar, "Gadis yang baik, terima kasih sudah menurut."

Tangisan Ndari kembali pecah, hatinya terasa sakit. Nyaris saja ia melakukan hal konyol hanya karena merasa tertekan batin. Bergegas Miko menyeka air mata itu, "Kamu itu pacarku, apapun yang jadi masalahmu ceritakanlah. Ingat, jangan dipendam sendiri."

Ndari hanya menganggukan kepala, tak ingin berkata apa-apa. Sebenarnya, Miko sendiri belum tahu apa yang membuat kekasihnya sampai mencoba untuk bunuh diri. Jauh dalam batin tentu penasaran, akan tetapi tak mungkin menanyakan hal itu sekarang.

"Kamu janjikan selalu ada untukku, apapun yang terjadi?" Ndari memastikan dengan mata yang masih berkaca-kaca.

"Iya." Singkat jawabnya dibungkus tatapan keseriusan.

Singkat cerita, Miko mengantar kekasihnya pulang ke rumah. Mereka masih menggunakan seragam sekolah. Tibalah di depan rumah Ndari.

"Ayo masuk," ajaknya yang keluar lebih dulu dari dalam mobil.

Walapun hubungan mereka sudah berjalan hampir satu bulan. Akan tetapi Miko belum pernah menginjakkan kaki di sini. Bahkan mengenal Ndari pun belum lama meskipun keduanya satu sekolahan. Ia juga penasaran dengan orang tua kekasihnya seperti apa. Berniat sekaligus berkenalan dengan keluarga wanita itu.

Rumah Ndari besar dan megah, baik di lihat dari depan dan juga isi di dalamnya. Miko duduk pada sofa ruang tamu.

"Mau minum apa?" tawar Ndari.

"Ah, enggak usah. O ya, di mana Ayahmu?" Mata Miko masih menyelidiki seisi ruanganan.

"Ayahku belum pulang. Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu. Akhir-akhir ini jarang pulang tepat waktu dan anehnya sering kali memarahiku. Padahal hanya sebuah kesalahan remeh yang kulakukan."

Miko mengangguk-anggukan kepala, ia pun mengajak untuk duduk di sampingnya, mengingat anak itu yang masih trauma. Tentu perasaannya masih tidak stabil. Mata cowok itu masih saja melihat ke segala sisi sudut ruangan dan tertuju pada foto keluarga.

"Mama kamu mana?"

Keduanya saling menatap satu sama lain. Bibir Ndari bergetar, sulit sekali untuk membuka suara. Wajahnya sempat tertunduk sebentar dan kembali ditegakkan, "Mamaku sudah meninggal."

"Meninggal? " Miko memajukan kepala tak percaya. Matanya menyipit, bingung. Selama pacaran, Ndari memang tak pernah membahas tentang mamanya. Mungkin alasan ia bunuh diri karena kurang kasih sayang. Atau memang ingin menyusul mamanya?

"Kok kamu enggak pernah bilang …."

"Sudahlah, lupakan. Semakin diingat semakin sakit. Aku sendiri tidak tahu, mengapa Mama meninggalkanku secepat ini."

Terlihat jelas raut wajah tidak ikhlas karena kehilangan orang yang disayang.

Semakin ke sini, Miko tak mengerti dengan bagimana cara berpikir wanita itu. Mengapa dia sangat tertutup bahkan tentang kematian mamanya? Dalam suasana yang cukup tengang tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti.

"Ayahku pulang," kata Ndari bangkit untuk menyambut, Miko turut mengikutinya.

Pransuko Atmaji adalah pria yang menggunakan stelan jas rapi menenteng tas, tengah berdiri diambang pintu. Beliau adalah calon mertua jika Ndari nanti adalah jodohnya. Pria berkaca mata itu, terlihat seperti detektif menatap Miko sadis, sedikit menyipit, dan raut wajah seolah-olah mengusir.

"Siapa dia?" tanya Atmaji lebih dulu padahal Miko hendak memperkenalkan diri.

"Saya M-"

"Suruh dia pulang," potongnya langsung mengusir.

Sial! Miko meremas tangan geram, kedatangannya tak disambut dengan baik. Malah diusir.

Bab berikutnya