webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · Sejarah
Peringkat tidak cukup
240 Chs

44. Operasi Pencarian Buronan.

Pasukan Patroli siap diberangkatkan serentak. Mereka semua dibekali seekor kuda per satu orang. Mereka menyebar dibagi menjadi sembilan kompi. Masing-masing kompi terdiri dari seratus tujuh puluh orang. Dipimpin oleh seorang Rakryan Rangga. Berangkatlah kesemuanya itu keluar dari Kotaraja. Ketika di persimpangan jalan, barisan ribuan pasukan yang semula menyatu pun bercabang. Diantara kesembilan kompi yang dibagi, kompi satu adalah kompi utama yang dipimpin oleh Senopati langsung. Bagiannya adalah daerah Pakembangan yang mengarah ke timur.

Sedangkan Pangeran Ragasuci memilih untuk berdiam di Barak Militer Kedaton. Sebagai pemimpin operasi, dia mengambil bagian sebagai pusat koordinasi menunggu laporan para bawahannya yang bertugas di lapangan.

Saat itu Jayendra sedang bersama Seruni, Utkarsa, dan Utpala sedang berada di sebuah rumah makan di pasar Kotaraja. Mereka menyaksikan iring-iringan barisan pasukan dari dalam kedai.

"Negeri Galuh ini sebenarnya terlalu berlebihan atau bagaimana?" gumam Seruni sambil jemarinya mengupas kulit jeruk.

"Berlebihan bagaimana?" tanya Jayendra heran.

"Hanya untuk menangkap seorang perampok mereka mengerahkan ribuan prajurit patroli," pungkasnya datar.

"Jika mereka hanya menangkap, mungkin lain caranya. Tetapi statusnya masih mencari. Sedangkan kita tidak tahu Saga Winata berada di mana saat ini. Untuk itu memang membutuhkan pasukan yang banyak supaya perlu disebar ke beberapa daerah yang sudah diperhitungkan."

Seruni menyeringai sambil lalu memakan Jeruk yang telah dikupasnya tadi.

Kemudian Utkarsa yang masih sibuk menyantap makanannya menyeletuk, "aku dengar, Pangeran Ragasuci yang memimpin operasi pencarian."

"Lho? Apakah Tumenggung Aria Laksam sudah tidak dipercaya lagi?" tanya Jayendra.

"Kemarin ada sedikit keributan antara Tumenggung dan Juru Pangalasan. Sejak itu Tumenggung pergi meninggalkan istana."

"Tunggu! Tumenggung ini yang ayah si buronan itu kan?" tanya Seruni.

"Iya. Benar juga. Kenapa aku baru sadar sekarang," ujar Utkarsa.

"Oh, aku tahu. Tumenggung sepertinya baru menyadari kenyataan bahwa buronan yang selama ini dia kejar adalah putranya sendiri setelah melihat lukisan yang kita pajang di perempatan jalan." Jayendra berseri membanggakan diri menyampaikan tebakannya.

Usai makan, mereka pun bergegas untuk turut serta mengekor para pasukan patroli dengan menunggangi kudanya masing-masing. Mereka mengikuti pasukan kompi yang dipimpin Senopati Citra Wayang.

Keberadaan mereka diketahui oleh salah satu prajurit yang berbaris paling belakang. Si prajurit tersebut kemudian berhenti dan memutar balik menghampiri Jayendra dan kawan-kawan.

"Siapa kalian!? Kenapa kalian mengikuti kami!?" bentak si prajurit.

"Biasa saja, Tuan! Bukannya berterima kasih kami turut membantu pencarian malah marah-marah," ketus Seruni. Dia paling tidak suka dengan manusia yang tidak menghargai orang lain. Apalagi seorang yang menggunakan status keprajuritannya untuk menyombongkan diri.

Jayendra merentangkan tangan kirinya sebagai isyarat menenangkan Seruni. Kemudian bersiap bicara kepada si prajurit. "Kau... Masih kenal aku, Weruku? " tanya Jayendra kepada si prajurit. "Aku saudara seperguranmu di Galunggung."

"Kau....?" digaruknya kepalanya sendiri yang tidak gatal itu. "Jayendra ya...?" si prajurit meyakinkan. Mengangguk Jayendra maka sumringahlah wajah si prajurit, seketika sikapnya berubah menjadi hangat. "Maafkan atas ketidaktahuanku, Jayendra." katanya sambil merapatkan kedua telapak tangannya meminta maaf. "Kau sudah banyak berubah sejak tiga tahun lalu," lanjutnya lagi.

Seruni membuang muka pada si prajurit meski dia telah memohon maaf.

"Apa kami boleh ikut mencari buronan itu bersama-sama?" tanya Jayendra.

"Maaf, Jayendra. Terus terang aku harus meminta izin dulu kepada Tuan Senopati. Sudikah kamu menunggu di sini. Aku akan menyusul dia untuk meminta izin." Si prajurit yang bernama Weruku itu melajukan kudanya hendak menyusul Senopati yang ada di barisan terdepan. Pasukannya sudah berjalan cukup jauh sementara dirinya semula berhenti menghadang Jayendra.

"Tuan Senopati. Ada orang yang mau meminta meminta izin untuk turut serta dalam melakukan pencarian."

"Siapa...?"

"Ada di belakang, Tuan."

Senopati Citra Wayang memerintahkan pasukannya untuk berhenti. Kemudian dirinya membelokkan arah kudanya ke belakang untuk menghampiri Jayendra beserta rekannya.

"Oh, ternyata kamu, murid Mahaguru Sutaredja."

"Benar, Gusti..." Jayendra memberi hormat. Seketika Seruni, Utkarsa, dan Utpala pun turut mengikuti sikap hormatnya.

"Baik, lebih banyak tenaga lebih bagus. Tetapi ingat,Jayendra. Kalian membaur bersama kami. Artinya di sini kalian menjadi pasukanku. Jadi harus menuruti setiap perintah yang aku berikan...!" katanya Tegas. Jayendra pun mengangguk ragu setengah setuju. Pasalnya dia paling tidak suka di atur-atur orang asing selain gurunya sendiri. Tetapi tak apa. Ini demi melancarkan tujuannya dalam mencari buronan itu.

"...sebab segala perintahku akan berhubungan dengan strategi yang telah Pangeran Ragasuci titipkan. Jadi, aku tidak ingin ada pembelotan di sini...!" lanjut Senopati.

"Bagaimana, Paman?" Jayendra menatap Utkarsa dan Utpala untuk meminta pendapatnya barangkali mempunyai pandangan berbeda.

"Eh... Begini Gusti Senopati...," kata Utkarsa. "Terus terang, tujuan kami mencari buronan itu karena kami mengharapkan hadiah sayembaranya. Jika kami membaur bersama kalian, artinya... Kalaupun kalian berhasil menangkapnya. Maka kami tidak akan mendapatkan apa-apa. Bukankah malah menjadi sia-sia?"

"Jadi kalian...?" kata Senopati.

"...iya, Gusti." pungkas Utkarsa. "Kami berdua Utkarsa dan Utpala mempunyai dorongan niat yang tidak sama seperti Jayendra. Jika Jayendra mencari buronan karena bentuk pengabdian diri kepada perguruannya. Maka kami berdua tentu saja hanya untuk memenangkan sayembara dan berharap mendapat hadiah."

"Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku pribadi yang akan memberikan kalian hadiah dua kali lipat jika kita semua berhasil menangkap buronan itu. Tetapi secara kompetisi sayembara, kalian tidak dianggap sah untuk memenangkannya."

"Bagaimana, Pala?" tanya Utkarsa kepada saudara kembarnya itu.

"Bagiku yang penting uangnya. Gelar juara tidak penting," jawab Utpala menggebu.

"Kalau begitu, aku setuju. Terima kasih, Gusti Senopati," ucap Utkarsa memberi hormat.

Senopati tersenyum mengangguk. Dia kemudian menatap ke arah Seruni yang sedari tadi memandang terkesima melihat wajah tampan Senopati Citra Wayang.

"Nyi Sanak ini, Siapa...?" Seruni pun tersentak gelagapan tatkala Senopati menanyainya.

"Eh... Hamba Se.. Seruni, Gusti," jawabnya gugup.

Jayendra yang melihat tatapan Senopati terhadap Seruni seolah lain. Seolah bukan tatapan biasa. Tatapan itu adalah bahasa kekaguman antara seorang pria dan wanita yang baru saja bertemu. Apalagi keduanya memiliki paras yang molek dan cakap. Maka menyalalah percikan api cemburu dalam dadanya. Jelas saja menyala, yang dicemburuinya adalah seorang perwira berpangkat, juga seorang pria dengan rupa yang bagus bukan main. Bisa saja Seruni berpindah hati. Apalagi dirinya kalah tampan dengan Sang Senopati.

Tetapi bagaimana juga, otak Jayendra masih waras. Dirinya tidak mungkin mengambil sikap yang tidak-tidak hanya untuk menanggapi rasa cemburunya itu. Mungkin mengalihkan pembicaraan adalah ide terbaik disaat situasi begini.

"Kita mau kemana, Gusti?" tanya Jayendra.

Sementara Senopati masih saja menatap mata binar Seruni yang bening cemerlang dipagari bulu mata lentik. Jayendra pun semakin tak kalap hati. Dia pun menggandeng tangan Seruni secara tiba-tiba sebagai isyarat kepada Senopati bahwa wanita ini adalah miliknya.

"Gusti...?" panggilnya lagi. melihat tangan Jayendra yang menggandeng Seruni, Senopati pun tertunduk risih.

"Oh... Maaf. Tadi bagaimana, Jayendra?"

"Kita mau kemana, Gusti?" ulangnya lagi.

"Kita akan menuju ke Pakembangan." kembali Senopati menstabilkan sikapnya. "Diyakini menurut perkiraan, buronan itu ada di sana."

"Baik kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan," pinta Utkarsa.

"Bagaimana kalau kalian berempat berbagi posisi barisan...!" ucap Senopati. "Siapa yang mau di barisan depan bersamaku?"

"Kau dengan Seruni di depan saja Jayendra. Biar aku dan Utpala yang di barisan belakang," ucap Utkarsa mempersilakan.

"Baiklah. Mari, Gusti." Jayendra, Seruni, dan Senopati Citra Wayang pun menuju barisan terdepan. Sementara Utkarsa dan Utpala membentengi barisan belakang.

Kini mereka kembali melanjutkan perjalanan.

***