webnovel

Naara: Blind Sword

Cinta, kedamaian, kebahagiaan, kehangatan. Apa semua itu? Dia sudah melupakan semua perasaan itu atau mungkin, sebenarnya dia tidak pernah merasakan hal itu. Entahlah ... dia merasa ragu tapi yang jelas, baginya hidup telah berhenti saat dia berusia delapan tahun. *** "Anak tidak berguna, seharusnya kau mati saja." "Aku sangat sial karena memiliki anak sepertimu. Akan lebih baik kalau kau tidak pernah lahir." Yah. Itu hanya sedikit dari makian yang selalu dilontarkan ayahnya. Andai saja sebelum dilahirkan, ia ditanya oleh pencipta apakah dia ingin lahir atau tidak maka dia tidak akan pernah ingin. Andai dia bisa memilih dari mana ia ingin lahir, ia tidak akan memilih orang tuanya. Tidak akan pernah. Bugh ... bugh ... bugh Pria itu terus memukul dan menendangnya bahkan saat tubuhnya telah berdarah-darah, pria itu tidak peduli. Sekalipun ia pingsan, sekarat atau mati, pria itu juga tidak akan peduli. Bahkan pria itu akan sangat bahagia karena anak yang selalu ia anggap sampah sudah tidak ada. Apa salahku? Setelah disiksa habis-habisan ia akan meringkuk sambil menangis di bawah tempat tidur. Tubuhnya sakit tapi hatinya lebih sakit. Kenapa? Kenapa? Kenapa?!!! Ia ingin menjerit dan berteriak sekerasnya. Jika saja ibunya datang dan memberinya pelukan mungkin rasa sakitnya akan berkurang tapi lupakan saja. Wanita itu bahkan tidak mau menyentuhnya. Meskipun tidak ikut menyiksa tapi wanita itu selalu dingin dan bersikap tak acuh. "Naara ...." Sebuah tangan terulur untuknya. "Kakak ...." Ia mengangkat kepalanya dan melihat seseorang tersenyum hangat dan menatapnya penuh kasih. Satu-satunya orang yang ia miliki adalah Isura, kakaknya. Isura menariknya keluar dari kegelapan dan memberikan sebuah pelukan. Baginya, pelukan Isura adalah surga. Dimana dia bisa merasa tenang, damai dan melupakan rasa sakitnya. Walaupun cara kedua orang tua mereka memperlakukan mereka berbanding terbalik, mereka tetap saling menyayangi. Baginya Isura adalah segalanya namun lagi-lagi takdir bersikap tidak adil. Suatu malam insiden itu terjadi, insiden di mana ia kehilangan segalanya. "Na-Naara ... berjanjilah untuk tetap hidup ...." Isura meregang nyawa sesaat setelah menerima serangan mematikan ayah mereka yang ditujukan kepadanya. "Ka-kak ... hiks ... hiks ...." Sejak malam itu, ia menjadi orang yang kosong dan sangat hampa. Tidak ada yang tersisa dalam hatinya selain ambisi kuat untuk balas dendam kepada ayahnya. Lalu ... apakah dia akan berhasil? Apakah dia akan tetap pada jalan balas dendamnya meskipun penulis sudah mengirim seorang gadis yang akan mengeluarkannya dari kegelapan juga membuat hatinya terisi oleh perasaan-perasaan yang pernah ia lupakan? Apakah dia tetap ingin membenamkan dirinya dalam kegelapan yang hampa meskipun sang penulis sudah mengirim orang-orang yang menganggapnya teman dan menghargai keberadaannya? Entahlah. Tidak ada yang tahu bahkan penulisnya sendiri juga tidak tahu. Karena itu mari kita serahkan semua pada semesta.

Ogi_457 · Fantasi
Peringkat tidak cukup
184 Chs

Ch.7: Aceblue

Malam semakin larut, bunyi serangga malam menjadi pengisi sepi yang paling setia dalam perjalanan Naara dan Niin. Mereka telah meninggalkan Alnafera sesaat setelah Naara menyerahkan jasad Dzi. Meski Alma dan yang lain menawarkan agar mereka menginap tapi Naara tidak berminat.

Di sepanjang perjalanan melewati perbatasan desa dan memasuki hutan, tak ada satu pun dari mereka yang membuka suara. Mereka tenggelam dalam pemikirannya masing-masing.

Naara mengingat tentang Dzi yang lebih memilih mati dari pada harus memberi informasi tentang Jenderal Thougha. Selain itu ia juga memikirkan soal ACE bentukan Jenderal Thougha.

Sebenarnya apa yang sedang dia rencanakan?

Dahinya berkerut, menandakan kalau dia benar-benar sedang berpikir.

***

Jauh di sebuah pulau yang tidak banyak diketahui manusia. Sepertiga bagian daratan tersebut merupakan hutan belantara. Hanya dengan melihatnya dari kejauhan kau akan terkejut dengan wajahnya yang tidak seperti hutan yang biasa kaulihat.

Mungkin lebih mirip hutan purbakala. Dimana semua pohon dan tanaman yang tumbuh di sana berukuran sangat besar. Sinar matahari yang menyebar tidak mampu sama sekali menembus  rindang dan lebatnya dedaunan membuat suasana di dalam sangat  gelap, lembab dan berkabut. Sesekali bunyi aneh seperti tawa kunti lanak menggema di antara batang-batang pohon. Suara yang sangat di dukung oleh kegelapan hutan itu selalu sukses membuat bulu-bulu merunduk.

Sementara sisa bagiannya adalah daratan yang di atasnya berdiri puluhan menara yang membentuk pusaran.  Beberapa menara terlihat diselubungi cahaya dengan warna yang berbeda-beda. Dari puluhan menara itu terdapat satu menara yang paling tinggi, puncaknya bahkan nyaris tidak terjangkau oleh mata, itu adalah menara pusat.

Berlatar belakang langit malam, terlihat rambut merah berkibar tertiup angin. Itu adalah rambut seorang pria paruh baya yang tengah berdiri di puncak menara pusat. Sepasang mata rubinya menatap jauh ke depan seakan-akan seluruh pulau tercermin di sana.

Tak lama suara langkah kaki yang diiringi kemunculan sosok seorang pemuda berjubah biru dari kegelapan mengalihkan perhatiannya. Ia melirik pemuda tersebut mengambil posisi duduk dengan satu lutut ditekuk dan kepala tertunduk, pertanda hormat kepada pimpinannya. "Anda memanggil saya?" ucap si pemuda yang memiliki warna rambut seperti lavender.

"Sudah kau temukan gadis itu?"

"Siap. Kabar terakhir yang kuterima, dia ada di desa kecil bernama Alnafera. Letaknya di sebelah barat Negeri Aladian. Tambahan, dia saat ini bersama Naara Si Pedang Buta."

"Naara." lirihi rambut merah, kembali memandang lurus ke depan. Ekspresinya datar sehingga sulit menebak apa yang ia pikirkan.

"Apakah Anda ingin saya menangkapnya juga?" tanya si lavender.

"Belum saatnya."

"Apa?" Si lavender mengangkat kepalanya. Mata yang senada dengan warna rambutnya memandang bingung.

"Aku hanya perlu  gadis itu."

"Ba-baik." Si lavender berdiri dan meninggalkan tempat tersebut.

Beberapa saat setelah kepergian bawahannya, sosok rambut merah perlahan memudar dan menghilang seperti uap dan sedetik kemudian  ia muncul dalam sebuah ruang hitam yang hampa, dimana terdapat sebuah pilar cahaya putih yang berpendaar.  Di tengah pilar itu nampak seorang pemuda berambut putih lebat berseri dan berpakaian serba putih sedang tertidur lelap.  Beberapa helai rambutnya menari mengikuti riak gelombang tipis cahaya biru yang bergerak di sekitarnya dan wajahnya, saat kau melihatnya kau akan merasa sedang melihat malaikat yang tertidur, begitu damai, tentram dan membuat hati sangat teduh.

Si rambut merah melangkah lebih dekat pada pilar dan menengadah melihat sosok yang tertidur di dalamnya. "Bersabarlah sedikit lagi, kalian berdua akan segera bertemu," ucapnya menyeringai.

***

Suara kepakkan sayap burung yang keluar berburu serangga sesekali terdengar di langit malam. Langkah kaki Naara yang diikuti langkah kaki Niin terus bergerak maju menerobos semak belukar dan melewati akar-akar pohon yang menonjol keluar di permukaan tanah.

Rasa khawatir menghantui perasaan Niin. Sejak tadi ia tidak tenang saat berpikir tentang ACE. Sedetik kilas balik dirinya yang masih kecil berada di dalam tabung terlihat di benaknya yang membuat kedua matanya terasa panas. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak akan terjadi apa-apa akan tetapi mungkin takdir berkata lain.

Angin di sekitar tiba-tiba berhembus kencang hingga membuat daun-daun hijau beterbangan.

Jelas itu adalah sebuah pertanda dari alam yang membuat mereka berhenti berjalan.

"Perasaan ini ...." Mata Niin melebar dan napasnya seolah berhenti.

"Kau merasakannya juga?" tanya Naara yang tidak mendapat jawaban.

Gadis itu terlalu takut sampai tak sanggup berkata-kata.

Naara memejamkan mata dan berkonsentrasi. "Mha. Bahaya!" Dengan cepat ia refleks berbalik dan mendorong Niin hingga jatuh tersungkur bersamanya sesaat sebelum serangan musuh mengenai mereka.

Setelah efek serangan musuh berhenti, Naara segera bangkit, disusul dengan gadis di sampingnya.

"M-mereka...." Wajah Niin semakin bertambah pucat melihat tiga orang lelaki yang berdiri di depannya. Dua orang berambut hitam jabrik, mereka si kembar bersaudara dan satunya lagi yang berdiri di tengah adalah si lavender.

"Kau kenal mereka?" tanya Naara tanpa jawab. Niin bergeming seolah dia adalah patung.

"Awas." Naara menarik Niin ke belakangnya dan menepis rantai berujung runcing layaknya anak panah yang dilemparkan si lavender

"Siapa kalian?!" Naara berucap dingin.

"Kami adalah Aceblue."

Mendengar kata Aceblue Naara tersenyum senang. "Huh. Akhirnya kalian datang juga," ucapnya.

Lavender terlihat menautkan alisnya, heran dengan sikap Naara yang seolah sudah menunggu kedatangan mereka tapi beberapa saat kemudian ia beralih melihat Niin yang segera bersembunyi di balik punggung Naara saat melihat tatapannya. "Naara Si Pedang Buta, senang bisa bertemu denganmu," ucapnya melihat Naara lagi.

"Hm. Aku juga."

Sambil mendengarkan, Niin semakin merapatkan dirinya di punggung Naara, tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin. Naara yang merasakan hal itu bertanya ada apa denganmu tapi Niin tidak menjawab.

"Kami diperintahkan oleh Jenderal Thogha untuk membawa gadis itu. Jadi serahkan dia baik-baik pada kami," ungkap si lavender yang membuat Naara bingung.

Membawa Niin? Bukannya untuk menuntut balas kematian Animan?

"Jadi kalian kemari bukan karena aku sudah membunuh Animan?"

Lavender membuang napas lelah. "Kami terlalu sibuk untuk mengurusi penjahat ikan teri seperti mereka. Sudah cukup kami mengizinkan mereka menggunakan nama Aceblue sebagai pelindung.

Hm. Jadi hanya gertakan sambal.

Naara mengerutkan keningnya, berpikir kenapa Jenderal Thougha menginginkan Niin.  Sesaat ia menoleh sedikit pada gadis di belakangnya, ia bisa merasakan kalau gadis itu masih sangat ketakutan. Apa yang sudah dilakukan Jenderal Thougha kepadanya?

Kita urus itu nanti.

Ia kembali menoleh pada Aceblue yang berdiri kurang  lebih 4 meter di depannya. "Kalau aku tidak mau?"

Lavender kembali membuang napas lelah, mengeluh dalam hati karena pekerjaannya tidak bisa selesai dengan cepat. "Berarti tidak ada pilihan lain," ucapnya sambil memutar senjatanya.

Naara tersenyum sinis lalu berkata pada Niin untuk menjauh dan mencari tempat sembunyi namun saat berlari mencari persembunyian salah satu si kembar menghadang jalannya yang membuatnya membeku. "Ja-jangan mendekat." Ia mundur perlahan dengan gemetar dan di saat ia merasa akan tertangkap, luapan sinar biru mendadak muncul melingkari kakinya yang secara cepat naik dan membentuk kurungan.

Mha. Ini ... guru ....

Meskipun bingung, ia tahu kalau sinar yang mengurungnya adalah qiwer milik Naara. Dengan mata nanar ia melihat punggung Naara yang berdiri menghadap dua orang Aceblue yang lain.

Si jabrik yang tadi refleks melompat mundur menatap dengan seksama sinar penghalang  yang melindungi Niin.

Dari jauh, hal serupapun nampak dilakukan kembarannya dan si lavender.

"Son, kau bantu San. Serahkan dia  padaku," perintah si lavender.

"Baik. Berhati-hatilah, Levi."

Setelah Son pergi, Levi segera melempar senjatanya namun Naara menghindarinya dengan mudah. Setelah serangan yang gagal tersebut, keduanya saling melesat dan bertukar serangan.

Levi memainkan senjatanya dan mengarahkan itu pada Naara.

Naara berlari untuk menghindar tapi Levi mengubah arah serangan, dia melempar senjatanya ke udara, mengendalikannya hingga senjata itu jatuh menukik.

Slesh

Senjata menancap di tanah yang berjarak hanya beberapa langkah di depan Naara.

Untungnya Naara masih sempat merasakannya hingga ia berhenti sebelum senjata itu menancap ke tanah. Namun ada yang aneh, dari dalam tanah terdengar suara gemuruh yang perlahan naik ke permukaan. Dan benar saja, tanah di bawah kaki Naara mendadak naik secara bertahap.

Naara melompat mundur, tapi dia kalah cepat oleh tanah hingga ia terjebak di antara gelombang tanah, dia nampak tertatih-tatih berusaha agar bisa bebas dari gelombang.

"KAU TERLALU FOKUS DENGAN ITU!" Dari arah depan, suara Levi menggema, dia melesat dan melayangkan sebuah high kick.

Naara terpental ke udara. Levi melompat dan saat dirinya telah lebih tinggi dari Naara, sebuah pukulan keras ia berikan yang membuat Naara terhempas ke tanah.

Rasa nyeri menjalar di seluruh tulang Naara saat tubuhnya berbenturan dengan tanah, belum sempat ia bangun, dari atas Levi sudah melemparkan senjatanya tapi ia berguling, bangun dan segera melompat mundur. Ledakan langsung terjadi saat senjata itu menancap di tanah. Serpihan tanah dan beberapa material lain terpental ke segala arah dan menghasilkan kabut debu yang mengganggu pandangan.

Levi kembali memutar cambuknya di udara dan mengarahkannya lagi pada Naara sebelum efek ledakan berakhir

Ia mengendalikan rantai dan berusaha mengimbangi kecepatan Naara yang berlari menghindari serangannya.

"Apa?"

Ia terkejut saat Naara berlari ke arahnnya dengan rantai yang mengejarnya.

"Dasar licik!" umpatnya

"Bukan aku, tapi kau yang bodoh!" Naara melompat dan melempar pedangya ke arah lawan.

Levi melompat untuk menghindar namun, seperdetik kemudian tinju Naara telah mendarat di wajahnya.

Kini mereka kembali terlibat perkelahian fisik.

***

Niin memekik setiap kali si kembar mencoba menerobos pelindung yang dibuat Naara. Keduanya melakukan beragam cara namun kekuatan mereka tak mampu menembus pelindung itu, sebaliknya mereka malah merasa semakin lemah setiap kali mereka mendekat.

"Sebenarnya penghalang macam apa ini?" pikir mereka dengan napas terengah.

Ketegangan yang kuat tentu meliputi Niin saat melihat usaha dua orang itu untuk menghancurkan pelindung.

Di tempat sebelumnya, Naara dan Levi terpental setelah terkena jurus. Keduanya sama-sama babak belur dan sama-sama kelelahan.

Dengan napas terngah-engah Levi menatap lekat Naara juga melirik dua rekannya yang masih berusaha menghancurkan penghalang yang mengelilingi Niin. Dalam hatinya ia berpikir bagaimana Naara bisa membuat pelindung sekuat itu. Ia tahu persis kalau itu butuh qiwer yang banyak harusnya tidak sulit mengalahkan Naara karena sebagian besar qiwer yang dimilikinya ia gunakan untuk membuat pelindung itu tapi kenyataannya, Naara masih kuat dan mampu mengimbanginya.

Sambil tersenyum ia berkata, "Kau memang hebat, aku sangat menikmati pertarungan ini tapi aku tidak punya banyak waktu."

Tubuhnya seketika diselimuti sinar nila dan awan di atas menghitam secara mendadak.

Awan mulai bergemuruh dan menciptakan cabang-cabang petir yang menggelegar.

Keributan besar tercipta saat ribuan petir menyambar dan menghancurkan segala sesuatu yang ada.

"Sekarang. Mari kita akhiri ini." Levi cukup percaya diri dengan petirnya.

Niin beserta kedua rekan Levi beberapa detik terdiam memerhatikan awan petir yang dibuat Levi di atas mereka.

"Sepertinya Levi sudah ingin mengakhirinya."

"Kalau begitu kita juga."

Qiwer abu-abu muncul di tubuh keduanya, Niin bisa merasakan tekanan yang sangat kuat dari mereka. Keduanya kini kembali berusaha untuk menghancurkan pelindung. Berbeda dari sebelumnya, serangan mereka terasa lebih kuat dan mulai melemahkan pelindung secara bertahap. Hal itu tentu membuat Niin takut.

Beberapa saat berselang si kembar berhenti untuk mengatur napas. Mereka dibanjiri keringat tapi pelindung belum juga hancur. Sambil mengatur napasnya, San mengamati lagi pelindung di depannya lalu terfokus pada tanah di bawah kaki Niin. Yang terpenting adalah gadis itu.

"Kak, aku punya rencana," ucapnya. Dia mengumpulkan qiwer di telapak tangan dan kakinya lalu mulai menggali seperti tikus tanah.

Di sisi lain, Naara berlari menghindari cabang-cabang petir yang menyambar secara acak. Pohon-pohon bertumbangan dan kawah-kawah yang disebabkan senjata Levi sudah tidak terhitung jumlahnya. Pemandangan lokasi itu benar-benar kacau balau.

"GURU!!!"

Teriakan Niin membuat fokusnya sedikit teralihkan. Ia tidak melihat tapi ia tahu kalau gadis payah itu dalam bahaya. "Tiga puluh, gerbang kedua." ia membatin sambil terus bergerak menghindari petir Levi. Dug. Dug. Sesaat ia merasakan serangan kejutan di jantungnya. Ia merasa nyeri dan panas di dadanya.

Dari jauh Levi memerhatikan pergerakan Naara yang melambat dan beberapa kali terlihat hampir jatuh.

Di sisi lain, pelindung yang mengamankan Niin bertambah tebal dan warnanya pun semakin cerah.  San yang telah masuk ke dalam penjara dan ingin membawa Niin tiba-tiba terduduk sambil memegangi kepalanya.

Agh!!

Kini ia berguling-guling di tanah seperti menahan kesakitan yang sangat gila. Melihat adiknya kesakitan, Son segera memasuki lubang dan berniat mengeluarkan San tapi nyatanya penghalang  telah menembus ke dalam tanah yang membuatnya tidak bisa lewat.

Dengan panik, ia kembali dan berusaha menghancurkan pelindung dari luar tapi semakin ia berusaha, pelindung itu semakin kokoh. Sementara San terlihat sudah tidak bergerak.

Dengan frustrasi ia memanggil adiknya sambil terus berusaha menghancurkan pelindung. Melihat itu, Niin merasa iba tapi ketakutannya lebih besar sampai ia hanya bisa terpaku dengan tubuh gemetar.

Seiring berjalannya waktu, Son mulai lemah dan telah sampai pada batasannya. Ia merasa tubuhnya dikuliti secara perlahan.

Agh!

Ia ambruk, sejumlah besar darah keluar dari mulut, hidung dan telinganya. "San ...." lirihnya sesaat sebelum tubuhnya tersungkur.

Sadar bahwa mereka sudah berakhir, Niin langsung terduduk karena kebas. Ia masih merasa kosong tapi kesadarannya tertarik  oleh suara sengatan listrik yang mengerikan beriringan dengan  angin yang berhembus sangat kencang dan betapa terkejutnya dia saat melihat sebuah bola   awan raksasa bermuatan listrik besar mulai turun ke daratan.

  Sementara di arah berlawanan, sebuah bola angin biru raksasa siap mengadunya.

Teriakan dari kedua pemilik jurus tersebut melantang di udara sesaat sebelum kedua bola raksasa tersebut saling bertabrakan.

WUSSSTPLTAKKKKKBOMMM

Ledakan dahsyat yang memekakkan telinga terjadi, membuat tanah bergetar. Beberapa saat hanya ada sinar menyilaukan yang menyelimuti tempat itu.

Setelah ledakan berakhir dan seluruh efeknya telah reda, sebuah lubang yang sangat besar terlihat di tanah.

hi dear, terima kasih sudah membaca :")

jika berkenan silahkan review, comment atau vote cerita ini berguna untuk kelangsungan NBS sekaligus untuk menyemangati author^^

Ogi_457creators' thoughts