webnovel

p r o l o g

Usai persidangan selesai, Aster pamit kepada ayahnya untuk pergi lebih dulu bersama Ian. Mereka berdua pun keluar bersama dari pengadilan tanpa berbicara sepatah katapun, jingga sampailah mereka berdua di parkiran.

Raut wajah Ian tampak lebih dingin dari sebelumnya, meski begitu tersirat sedikit raut gelisah diwajahnya.

"Ke pantai." ujar Aster disaat Ian menyalakan mobilnya. Ian tak menjawab, namun ia melajukan mobilnya ke tempat yang Aster katakan.

Tak ada percakapan selama perjalanan ke pantai. Aster yang hanya menatap luar jendela dan Ian yang fokus berkendara.

setengah jam kemudian mereka pun sampai di pantai. Aster yang berjalan lebih dulu dan diikuti Ian di belakangnya.

Mereka berdua menyusuri pantai tanpa berbicara. Waktu sudah menunjuk pukul 15.45, saat itu pantai sedang sepi pengunjung hanya suara ombak yang terdengar dan hembusan angin yang sedikit kencang.

Tiba tiba Aster berhenti melangkah, lalu ia menoleh ke belakang. Jarak antara ia dengan Ian sekitar satu meter.

"Gak ada yang mau kamu jelasin?" tanya Aster memecah keheningan.

Ian melangkahkan kakinya untuk mempersempit jarak dan menyisakan jarak sekitar 15cm dari hadapan Aster.

Ian menatap lekat lekat Aster, sosok yang menurutnya bisa menghilang kapan saja jika ia tak berada dalam pelukannya.

"Apa ini salam perpisahan?" bukannya menjawab Ian malah melayangkan pertanyaan dengan raut wajah yang bercampur aduk.

"Tergantung penjelasan kamu." jawab Aster.

Ian pun menceritakan semuanya.

Dulu saat ian berumur 12 tahun, ia pernah dijadikan bahan objek penelitian ayahnya. Selama tiga tahun ia menjadi objek penelitian sang ayah.

Ia sampai kehilangan emosi karena terlalu banyak obat obatan yang disuntikan kedalam tubuhnya. Bahkan sang ayah tak nanggung nanggung ingin menjadikan Ian sebagai manusia setengah robot. Membuat Ian kebal terhadap rasa sakit, membuat nya tidak bisa tidur untuk beberapa hari dan meningkatkan kadar kecerdasan otak.

Untungnya sang paman datang menyelamatkan nya sebelum Ian semakin kehilangan jati dirinya. Butuh waktu lima tahun lamanya agar kondisi Ian kembali stabil. Akibat hal tersebut Ian jadi sering bertindak impulsif.

Saat itu Ian hampir menyerah, namun Emma yang selalu berada disampingnya memberikannya sebuah foto masa kecil mereka yang terdapat Aster disana. Seketika ia teringat sebuah janji, ia akan kembali lagi dan kita akan menikah.

"Bukankah itu mengerikan?" tanya Ian dikala ia selesai bercerita.

"Tidak."

"Aku bahkan pernah membunuh seseorang tepat di depan matamu, Aster!" ujar Ian sedikit berteriak.

"Lalu?"

"Bagaimana jika aku lepas kendali dan menggila?! Aku yang seperti itu takkan bisa mengenali siapapun!" teriak Ian kencang.

Ian mengepalkan tangannya, lagi lagi ia tersulut emosi dan hampir menyakiti Aster.

"Jika itu terjadi, aku harap kamu merasakan penyesalan itu sampai ke neraka. Ah tidak, bahkan sampai kamu masuk surga." ujar Aster sambil memeluk Ian dengan erat.

"Aku tidak pantas untukmu." lirih Ian.

"Jika kamu tidak mencintai ku, maka kamu tak pantas untukku."

"Aku mencintaimu, bahkan aku bisa gila jika tanpamu."

"Maka dari itu tetap di sisiku."

"Aku takut akan menyakitimu."

"Kalo begitu, aku akan menyakitimu juga." ujar Aster sambil tersenyum.

Mata Ian mulai memanas, perasaannya bergemuruh, ia yang awalnya menyanggah berangsur angsur runtuh. Ia pun membalas pelukan Aster dengan begitu erat.

Aster terkejut ketika Ian tiba tiba membalas pelukannya dengan begitu erat, "Ian! Ian! Aku gak bisa nafas!"

***

Banyak hal yang telah dilalui Aster dan Ian, apakah takdir akan membawa keduanya kedalam kebahagiaan atau malah sebaliknya?

Bab berikutnya