webnovel

Telur Gulung

Keesokan harinya...

Aku terbangun ketika adzan subuh berkumandang, tanpa bisa memejamkan mata lagi, aku bergegas pergi untuk mandi lalu menunaikan sholat subuh. Dengan memakai sajadah pemberian dari istriku, tentunya.

Semalam kami, maksudku, aku tertidur hampir pukul sebelas malam. Tidurku semalam begitu nyenyak, padahal aku memakai kaos oblong dan celana pendek. Biasanya aku takkan bisa tidur jika memakai pakaian. Ditambah mengingat jam tidurku yang biasanya tak kurang dari dua jam karena sikap work holic yang aku miliki. Namun, semalam aku bisa tidur dengan mudahnya sesaat aku memandang wajah polos istriku.

Istriku? Hm...mengapa aku begitu senang mengucapkan istilah baru itu dalam hidupku berulang kali? Seperti sekarang...

Hari ini seperti biasa aku menjalani aktivitas yang selama ini aku jalani. Kebetulan ini hari Senin. Aku bersiap untuk berangkat ke kantor. Mengingat begitu banyak proyek yang harus aku kerjakan karena acara pesta dadakan Sabtu kemarin membuatku menunda pekerjaan yang harusnya aku selesaikan hingga beres. Bagiku tak ada hari weekend atau libur lainnya. Tujuan yang harus aku capai, harus selesai dalam waktu singkat dan cepat sehingga memuaskan klien yang akan bekerja sama denganku nantinya.

Aktivitasku memang seperti biasa. Namun kali ini ada beberapa hal yang berbeda atau berubah dalam hidupku :

1. Ada seseorang yang bisa aku pandang tiap kali aku bangun tidur - nanti.

2. Ada seseorang yang selalu mengingatkanku untuk tidak meninggalkan sholat dan makan.

3. Ada seseorang yang membuatkanku sarapan dan bekal makan siang walaupun dengan cara memaksa supaya aku memakannya, seperti sekarang. Dan ke depannya mungkin akan terus seperti ini. Tapi sebenarnya aku suka. Hehe...

4. Tak ada lagi yang memintaku mengambil bunga atau cake pesanan mama. Karena kurasa semua jenis bunga yang ada di toko tante Lily pindah ke rumah ini. Bahkan, gadis bunga itu sekarang menjadi istriku. Lambat laun aku mengerti mungkin mama bermaksud menjodohkan aku dengannya. Dasar mama modus!

Dan yang ke-5. Seperti sekarang, ada istri yang mengantarku sampai depan dan mencium punggung tanganku saat akan berangkat kerja.

Selalu ada hal konyol yang entah kenapa sepertinya sudah melekat pada istriku itu. Tahukah kalian? Apa yang ia lakukan ketika aku hendak membalas uluran tangannya untuk salim?

"Eits, aku mau minta duit, Mas. Bukan mu salim!"

Dan apa yang akan kalian lakukan jika berada di posisiku saat ini? Gedeg banget, bukan?

Dengan cukup malu juga kesal, aku segera membuka dompetku lalu mengeluarkan kartu kreditku.

"Aku maunya duit, Mas. Bukan kartu kredit!" Mulai menyebalkan.

Kemudian aku memberikannya lima lembar uang pecahan seratus ribuan.

"Banyak amat, Mas. Aku perlu satu lembar doank yang warna biru plus uang pas 20rebu buat ongkos ojol," protesnya menjengkelkan.

"Gak punya recehan! Ini aja ambil!" Aku menahan kekekasalanku. Lalu memberikan lima lembar uang yang tadi hendak aku berikan padanya.

"Tapi ini, Mas..."

"Terserah! Kamu mau pake tuh duit kek, atau mau kamu buang, pokoknya terserah!" sewotku. Tanpa mau meladeni kekonyolannya aku segera membalikkan badanku.

"Mas," tangannya menahanku. "Jangan ngambek dong..." ucapnya memelas. Seperti anak kecil aku malah merajuk? Sikap apa ini?

"Gak baik pagi-pagi udah cemberut, apalagi mau berangkat kerja. Nanti rezekinya ilang lho..." Dia bergelayut manja pada tanganku.

Sumpah demi apa? Kelakuannya membuat hasratku bergejolak kembali.

"Eh, maaf. Hehe..." Melepas tangannya dari tanganku. "Mas, ih awas nanti matanya loncat!" Membalas tatapan tajamku tanpa takut. "Ya udah deh, sini." Menarik telapak tanganku lalu mencium punggung tanganku. "Ati-ati. Oke, ini aku terima uangnya. Makasi banyak ya, Mas. Sering-sering juga ngasih segininya," tersenyum slenge'an yang menjengkelkan. "Hehe, becanda..."

"Eh, sama mama kok gak pamit?" Tiba-tiba aja mama berseru. Ah, alamat gakkan beres-beres ini mah.

Mama sudah menghampiriku dan Bening. Aku langsung menyalim dan pamit pada mama. "Aku pergi dulu."

"Kok, udah kerja aja sih, Nak? Harusnya kalian pergi bulan madu, lho..." tuhkan, pasti ada aja yang di omongin.

"Aku banyak kerjaan, Ma. Banyak klien yang menunggu project," jawabku asal. Menghindari pertanyaan lebih lanjut. "Aku pergi dulu, udah siang."

"Ya udah, hati-hati. Tapi kalian harus atur project bulan madu, lho. Jangan cuma project kerjaan aja yang diurusin. Pokoknya mama mau cepet-cepet momong cucu," mama terkekeh. "Apalagi kalian semalam...ihiw!" goda mama. Membuat aku dan Bening merasa kikuk.

"Ya, Ma. Nanti aku pikirkan," pungkasku. Untungnya mama gak cerewet lagi. Aku bergegas masuk mobilku.

"Babay, Mas! Dahhh! Jangan lupa dimakan bekalnya ya! Hati-hati! Jangan galak-galak, jangan cemberut juga, nanti gantengnya ilang!" Bening melambaikan tangannya, berteriak-teriak gak jelas.

Aku melirik kotak bekal makan siang yang aku taruh di samping jok mobil. Dari dalam mobil aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang masih terlihat dari kaca spion, ucapannya yang terakhir membuatku tak bisa menahan senyuman yang sepertinya terus melekat pada wajahku sekarang.

Mengingat soal perkataan mama tadi, membuatku geleng-geleng kepala. Aku tersenyum geli saat mengingat apa yang terjadi pagi tadi setelah aku menunaikan sholat subuh. Istriku bangun dengan hebohnya. Darah menstruasinya tembus hingga menodai seprei tempat tidurku. Mungkin itu yang mama kira kami telah melakukan hal yang diinginkan semalam.

Ngomong-ngomong soal hal itu. Apakah bisa mengeluarkan bercak darah? Mengingat tidak adanya tanda-tanda yang disebutkan orang-orang mengenai malam pertama saat aku melakukannya pada Erina. Dulu rasanya lancar dan nikmat-nikmat saja.

Erina...bagaimana kabarmu sekarang?

***

"Hai!" Mario menyapaku saat tiba di kantor. Aku hanya menganggukkan kepala membalas sapaannya. "Kirain, masih hanimunan," ledeknya.

"Sketsa yang di minta Mr. Kwon, lo beresin siang ini juga." Aku memerintah Rio tanpa ingin menanggapi ucapannya.

"Ya'ellah, gak kira-kira lo!" Rio cemberut. Kemudian ia berkutak pada monitor digitalnya.

Untuk ukuran orang yang sedang patah hati, menurutku Rio adalah orang yang paling bisa menyembunyikan perasaannya. Bukankah seharusnya ia marah? Atau kesal padaku?

"Gue gakkan pernah lupa kalo Cibey adik angkat sekaligus cinta pertama gue. Dan gue juga gakkan diam aja kalo lo sampe nyakitin dia. Karena, di detik pertama gue liat Cibey nangis gara-gara lo, gue gakkan liat lo sebagai sohib gue lagi. Bahkan, mungkin aja gue bakalan habisin lo tanpa pandang bulu!" sahut Rio tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari layar digitalnya.

Serius, ucapannya bikikn merinding. Akak sama adek tak sekandung ini punya indera ke-8 apa yak? Mereka selalu bisa menerka apa yang ada dalam benakku.

"Tapi gue gak mau Cibey ampe sedih kalo abangnya melakukan tindakan kriminal. Kalo elo yang kena hajar sih, gue pastiin Cibey gakkan nangisin suami dadakannya. Apalagi suami yang galak, gak berperasaan, dingin dan datar kayak elo!"

Beneran nih anak. Pen gue timpuk mulutnya saat itu juga. Mata dan tangannya bekerja. Tapi mulutnya loncat ke sana ke mari.

"Kerja gak usah pake mulut!" Aku menyanggah ucapannya. Menurutku, aku sudah cukup dewasa untuk mencerna semuanya.

.

.

.

Jam makan siang...

Seperti biasa aku terlalu sibuk mengerjakan semua proyekku. Hingga Rio pun sudah biasa takkan mengajakku untuk makan siang jika bukan karena meeting di luar bersama klien. Aku menselonjorkan kakiku ke atas meja ketika punggunggku terasa sakit. Apa usia mempengaruhi? Tapi menurutku usia 31 tahun belum masuk kategori tua. Usiaku sekarang justru lagi matang. Ibarat buah, mungkin sedang ranum-ranumnya. Wkwk...

Aku menyandarkan punggungku pada kursi kebesaranku. Aku memejamkan mataku sambil memijit pelipis. Tuhan, sesungguhnya badanku terasa lelah.

"Nih!" Rio meletakkan americano favoritku. Tanpa disuruh, dia selalu otomatis akan membawa kopi yang aku suka.

"Belum makan, eih?" tanyanya seraya mendaratkan tubuhnya di kursi kerjanya.

"Apa kotak bekal itu dari Cibey?"

Kotak bekal? Seketika aku mengalihkan pandanganku pada kotak bekal makan siang yang tadi Bening bawakan untukku. Ah, aku lupa!

"Dimakan gak? Kalo gakkan dimakan, mending buat gue aja," sahutnya kemudian sudah beranjak lagi dari tempat duduknya.

Aku ragu, apa sebaiknya kumakan atau kuberikan saja pada Mario?

"Udah... kalo lo gak mau, gue redho yang ngabisin bekal makan siang lo itu. Gue gak mau Cibey sedih gegara pemberiannya gak dihargai," ucapan Rio ada benarnya.

Tapi kenapa tiba-tiba tawarannya sungguh terdengar menjengkelkan? Aku memang terbiasa jarang makan, tapi semenjak Bening memasuki kehidupanku, aku bisa makan 2-3 kali sehari. Walaupun dia baru dua hari menjadi istriku. Dan sekarang, isi perutku sepertinya menagih minta nutrisi. Aku melirik kotak bekal makan siang yang tadi aku taruh di atas meja kecil samping meja kerjaku.

"Gue makan!" Aku merebut kotak bekal maksi saat tangan Rio hendak mengambilnya. Kurang ajar sekali dia! Seperti anak kecil yang tak ingin direbut mainannya, aku bergegas membuka kotak bekal maksi-ku. Padahal sebelumnya, aku biasanya tak peduli jika Rio comot sana sini makanan yang ada. Malah, aku bersyukur karena dia bagaikan vacum cleaner pemakan segala.

"Dasar muna lo!" Rio mencebik. Merasa kecewa karena aku tak memberikan celah sedikitpun untuknya.

"Padahal gue pengen telur gulung buatan Cibey..." lirihnya melengos lalu kembali lagi ke mejanya, kemudian menyeruput minuman yang ia bawa tadi.

Aku memandang isi bekal maksi-ku. Telur gulung, brokoli kukus dan sayur bening yang ia taruh dalam termos panas. Tak lupa ada kerupuk dan juga buah pisang sebagai pelengkap. Menurutku ini simple. Tampilannya biasa aja. Tapi mengapa Rio begitu berharap akan telur gulung yang sepertinya memang rasa telur?

"Cicip aja kalo lo penasaran," sahutnya kemudian. Lagi, Rio bisa membaca pikiranku. Apa karena terlihat dari raut wajahku yang meragu?

Aku memotong telurnya, lalu menuangkan sayur yang ternyata masih hangat ke dalam nasinya. Satu suapan pertama masuk ke dalam mulutku dan...ini enak. Telur gulung yang memang rasa telur itu ternyata lebih nikmat dari dugaanku. Entah ia memasukkan campuran apa, yang jelas ini memang begitu lezat. Pantas saja, Rio begitu menginginkannya. Satu suapan kembali masuk ke dalam mulutku, hingga suapan-suapan berikutnya tanpa terasa semua bekal maksi-ku telah tandas.

"Enak, kan? Udah gue duga, lo pasti suka telur gulung buatan Cibey. Buktinya lo ngabisin makanannya tanpa mau berbagi sama gue." Kulihat Rio cemberut karena memang tak sedikit pun aku rela berbagi makanan buatan istriku. Hah, kenapa aku menjadi suami yang begitu possesif?

Bila diingat-ingat tadi waktu sarapan pagi, masakan ini gak tersaji di meja makan. Apa ini sengaja dibuat dadakan untukku?

TBC

Bab berikutnya