webnovel

Melawan Ibu Tiri : Dibeli Suami Tampan Tak Tertandingi

Siapa yang mau tidur dengan om-om umur 50tahun yang bahkan kepalanya hampir botak? Dengan dalih membantu ayah tercintanya, ibu tiri Kiki terus memaksa Kiki untuk menjual tubuhnya ke pria tua kaya raya. Apakah hanya sebatas itu harga dirinya, sampai dia hanya dianggap seperti barang dagangan biasa? Tapi pada malam yang sudah ditentukan itu, keperawanan Kiki justru diambil oleh seorang pria tampan saat dirinya sedang melarikan diri. Siapa sangka bahwa pria itu adalah Ezra? Pria muda nan tampan yang merupakan presiden direktur perusahaan terkenal ini “membeli” Kiki sebagai kekasihnya!

Peilia_Astharea · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
420 Chs

Pria Cabul

Rani selalu berpikir bahwa semua wanita yang memiliki hubungan dengan Ezra semuanya adalah wanita kaya, selebriti, dan perempuan terkenal ... Tapi sekarang, jelas tidak!

Pintu ditutup, Kiki keluar dan memoles lipstik menornya lagi. Dia tidak berani melihat ke arah Ezra dan terus bekerja.

Seluruh ruangan sangat sunyi. Kecuali deru suara AC yang samar, hanya terdengar adalah gemerisik kertas saat dia membalik dokumen, serta suara Kiki berjalan di atas karpet.

Pada jam lima, Kiki berjalan ke arah Ezra, suaranya agak menggumam, "Aku akan pulang."

Ezra menatapnya dan mengangguk.

Ketika Kiki pergi, Gilang masuk. Sore ini dia tidak terlalu sibuk dan bosan jika harus menghabiskan waktu seorang diri.

Gilang menutup pintu dan bertanya, "Apa kau akan merekrut gadis itu sebagai pelayan pribadimu?"

"Kau bicara apa!" Ezra masih terkubur di tumpukan dokumennya, "Gilang, kalau kau benar-benar menganggur, ada proyek di Afrika yang cocok untukmu!"

Gilang mengangkat tangannya, lalu dia duduk di meja di samping Ezra dan menunduk, "Kau benar-benar kecanduan bermain dengannya? Aku bisa membuat dia memakai baju yang terkesan lebih profesional. Kali ini akan lebih bersih, bukankah kau suka dengan yang seperti itu?"

Ezra meliriknya dengan waspada. Gilang berdeham kecil, "Aku serius, lho."

"Nanti, dia akan dipindahkan ke ruang sekretaris di lantai atas. Jam kerjanya masih jam tiga sampai lima. Tapi dia tidak perlu melakukan pekerjaan bersih-bersih." sahut Ezra tak acuh.

Ketika Gilang mendengarnya, ekspresi pria itu menjadi tidak terlalu serius, "Kubilang dia terlihat lebih baik kalau memakai seragam."

Ezra hanya menoleh menatapnya, lalu mengemasi barang-barang dan mengambil mantelnya.

Gilang menindaklanjuti, "Aku mendengar dari Rani, orang tuamu menelepon untuk mengajakmu makan bersama di rumah?"

Faktanya, acara makan bersama itu palsu, dan sebenarnya mereka merencanakan untuk menyiapkan kencan buta untuk Ezra. Tiap kali dia pulang, akan ada selebriti wanita yang diajak makan bersama, dan suasana hatinya tidak terlalu baik.

Ezra beranjak pergi, "Aku akan kembali pada hari Jumat. "

Gilang tahu kalau alasan mengapa Ezra bersabar dan ingin kembali juga karena untuk menemui Agnes.

Meskipun Ayah dan Ibu tirinya sama-sama baik, Ezra merasa sangat tidak nyaman dengan istri baru Ayahnya, Randi, yaitu Karina. Tapi rasa cintanya pada Agnes memang benar-benar nyata.

Sangat disayangkan, Agnes mengidap penyakit darah sejak kecil. Kondisinya kronis, dan dia harus menunggu sumsum tulang yang tepat.

"Atau, aku akan kembali denganmu. Aku sudah lama tidak menemui Agnes!" Gilang mengesampingkan leluconnya. Kali ini ekspresinya terlihat serius.

Ezra meliriknya, berjalan ke lift, dan meluruskan dasinya di cermin dengan sembarangan, "Gilang, Agnes baru berusia 16 tahun, dan dia bukan pasangan untukmu!"

Singkatnya, respon itu menyakitkan Gilang, dan ada juga semacam perasaan tidak nyaman yang terungkap.

Gilang mengekor di belakang Ezra, dan menjelaskan, "Aku akan memperlakukannya seperti adik perempuan. Dia adalah adik perempuanmu-sama saja dia seperti adikku."

Ezra bergeming, "Gilang, kau kan sudah punya saudara perempuan."

Gilang berhenti berbicara.

Setelah beberapa saat kemudian, Gilang akhirnya tak mampu menahan diri untuk bertanya, "Kau akan pulang kemana malam ini?"

"Apartemen X!" Ezra melontarkan dua kata.

Gilang berhenti membungkam mulutnya.

… Kiki meninggalkan Perusahaan S dan duduk di dalam bus. Dia menerima telepon dari Linda.

Linda terus berbicara dan tidak memberi Kiki waktu untuk menyangga ucapannya, "Aku dan Prambudi akan bertunangan. Sabtu depan. Kiki, apa kau mau datang?"

Kiki memegang telepon dan merasa terpojok.

Bagaimana mungkin dia tidak tahu. Semua ini adalah bukti provokasi Linda padanya.

Untuk waktu yang lama, Kiki hanya bisa tersenyum. Dia tersenyum tipis, tidak memperlihatkan tanda-tanda terluka di ekspresinya. Kiki selalu tersenyum.

"Linda, aku akan datang." Kiki bertanya lagi, "Ayah ... kapan Ayah akan meninggalkan rumah sakit?"

Linda berkata dengan nada sinis, "Ayah akan pulang besok. Prambudi akan menjemputnya bersamaku. Kiki, jika kamu ingin ikut, aku tidak akan menghentikanmu."

Kiki tidak mendengarkan lagi, dia memilih untuk menutup telepon.

Bus ini tidak ada AC-nya, dan mobilnya panas serta lembab. Bahkan jika duduk di dekat jendela dengan jendela terbuka, rasanya bakal terkena gelombang panas ketika tertiup angin … Hawanya benar-benar tidak nyaman.

Kiki merasa hidungnya gatal dan kepalanya agak lemas.

Bus berhenti di sebuah stasiun dekat rumahnya. Dia seharusnya pergi ke KFC di seberang jalan untuk mengganti pakaian. Tapi kepalanya pusing dan kakinya sakit. Dia berganti pakaian di toilet umum terdekat.

Saat keluar, hari sudah senja dan lampunya redup.

Dia kelelahan.

Pada saat ini, dia bahkan memiliki pemikiran yang bejat.

Mungkin, jika Kiki mengandalkan Ezra dan tunduk padanya, dia bisa mendapatkan banyak uang, dan uang itu bisa menyelamatkannya dari perselisihan keluarga selama beberapa dekade.

Tapi pikiran itu hanya sesaat. Dia berkata pada dirinya sendiri kalau dia bukanlah orang yang seperti itu. Kecuali Ayahnya, Gandhi, dan dia terancam, dia tak akan mengkhianati dirinya sendiri lagi.

Ketika Kiki dalam keadaan linglung, seseorang yang berperilaku aneh tiba-tiba muncul di sampingnya. Sosok itu memiliki gigi kuning besar, dan berbicara dalam dialek yang tidak dikenal Kiki, "Kakak cantik, apa mau bersenang-senang dengan Paman?"

Kiki kaget.

Kemudian wajah yang mengerikan itu mendekat. Kiki bahkan merasakan bau menyengat-benar-benar tidak menyenangkan.

Tangan Kiki menepis pria itu. Dia berlari ke depan dengan putus asa setelah menarik tasnya menjauh.

Setelah berlari sekitar 100 meter, gigi kuning besar di belakang tidak mengikuti, dia tidak bisa menahan kepalanya dan melihat...

Pria tunawisma kotor itu melakukan gerakan tidak senonoh padanya dan Kiki bisa melihatnya jelas.

Dia muntah, dan muntah lagi. Kiki segera berlari menuju gerbang Apartemen X.

Kiki, masih dalam kondisi syok dan berkeringat dingin, lantas menutup pintu perlahan-lahan. Dia melihat

Ezra duduk di sofa.

Kiki terengah-engah dan bersandar di pintu. Saat ini, dia tampak sedikit putus asa...

Ezra mendongak. Keningnya berkerut. Pria itu lantas lalu berjalan dan menempelkan tangannya di dahi Kiki.

Kiki terhentak seolah tersiram air panas. Dia hampir melompat, dan teriakannya terdengar agak kasar, "Jangan sentuh aku!"

Ezra semakin mengerutkan alisnya. Dia mengambil satu langkah ke depan, dan setengah memeluk gadis itu.

Dagu kecil Kiki bertumpu di bahunya, dan dia akhirnya sedikit tenang...

Telapak tangan Ezra yang besar menepuk punggungnya, "Ada apa?"

Tubuhnya mereka saling menempel, dan Ezra bisa merasa tubuhnya agak panas. Dia lantas mendongakkan wajah mungil Kiki dan melihatnya. Rona merah yang tidak normal.

Kiki menatapnya untuk waktu yang lama, dan kemudian perlahan berkata, "Aku bertemu pria cabul."

Ezra tidak bertanya. Dia hanya memeluk Kiki. Tak lama kemudian, dia mengajak Kiki ke kamar mandi, dalam posisi masih memeluknya. Ezra mengisi air panas di bak mandi dengan tangan yang masih bebas. Ketika jari Ezra menyentuh kancing bajunya, tangan kecil Kiki menangkap telapak tangannya yang besar sekaligus, memprotes tanpa suara.

"Apa aku pria cabul?" Ezra tidak menggerakkan alisnya dan bertanya padanya.

Tangan kecil Kiki menutupi garis lehernya, dan ada matanya berkaca-kaca. Kiki menatapnya dengan raut bingung.

Ezra menyentuh tangan mungil Kiki dengan jari-jarinya, dan berkonsentrasi untuk membuka kancingnya.

"Aku akan melakukannya sendiri!" Kiki menyahut dengan setengah hati. Dia menunduk dan berkata dengan lembut, "Aku ... dan itu!"

Ezra baru ingat. Dia tersenyum, dan beranjak dari sana, "Hubungi aku kalau ada apa-apa."

Kiki mengangguk datar, dan Ezra berjalan keluar.