webnovel

Dua Bersaudari

Pelatih itu kagum dengan ketenangannya, namun dia juga sedih mendapati kondisinya. Menggelengkan kepalanya, dia kemudian menatap remaja-remaja di depannya dengan harapan besar.

"Baiklah, kalian bisa kembali lebih awal. Ingatlah jangan terlambat, besok adalah hari besar kalian."

Menyaksikan mereka pergi dari pandangannya, palatih itu mendekati ramaja itu yang masih menyapu lapangan dengan tenang.

"Kamu juga harus kembali." Melihatnya dengan hangat, pelatih itu tidak bisa tidak mengingat kali pertama dia bertemu dengannya. Sudah beberapa tahun berlalu, namun remaja ini tidak pernah berubah sedikitpun.

"Oh! Bukankah masih ada beberapa waktu lagi?" Remaja itu mengangkat kepalanya, menunjukkan wajah mudanya yang tampak matang seolah dia telah mengalami pergolakan kehidupan.

"Besok adalah hari besar, jadi hari ini kamu bisa beristirahat lebih lama." Pelatih itu menatap matanya ingin melihat bagaimana reaksinya.

"Oh, begitu ya."

Mengecewakannya, reaksi ramaja di depannya tidak banyak berubah, dia hanya menanggapinya dengan tenang tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Pelatih itu hanya bisa menghela napas dengan sedih, dia kemudian merogoh sakunya dan melemparkan kantung kain kepadanya, "ini bayaranmu, dan pastikan besok kamu harus datang."

Remaja itu tersenyum lemah menghadapi perkataannya. "Tak apa Paman. Tidak usah membuang kesempatan itu untukku, aku lebih dari sadar mengenai keadaanku sendiri."

"Baik, baiklah. Tidak apa jika memang kamu tidak bisa, apa salahnya menjadi orang biasa." Pelatih itu hanya bisa menyemangatinya, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan mengingat mereka semua pernah mencoba semuanya namun remaja ini dengan sopan menolak bantuan mereka, mengatakan bahwa itu hanya membuang-buang sumber daya.

"Mmm, kantong ini lebih berat dari sebelumnya." Memegang kantung kain di tangannya, remaja itu menatapnya dengan heran.

Pelatih itu tersenyum dan tertawa kecil. "Itu bonus dariku, setidaknya.."

Menatap tubuh kurusnya, pelatih itu melanjutkan, "..kamu bisa makan dengan kenyang kali ini."

Remaja itu melirik tubuh kurusnya dan tertawa canggung. "Terimakasih, aku akan membalasnya di masa depan."

Melambaikan tangannya, pelatih itu pergi meninggalkan dirinya sendiri yang terdiam di tempatnya, termenung dalam pikirannya. Remaja itu melihat kejauhan, mendapati dirinya dengan segudang emosi, kilatan dingin tiba-tiba melintas di matanya sebelum itu kembali tenang.

"Hampir waktunya." Bergumam pelan pada dirinya sendiri, remaja itu meletakkan sapu di tempatnya sebelum kembali ke rumahnya.

Dalam perjalanannya tidak sedikit orang yang menyapanya dengan hangat, mereka memberikan makanan kepadanya dengan dalih tubuh kurusnya sebelum pergi dengan senyum di wajah mereka. Kembali ke rumahnya remaja itu dengan tenang meletakkan makanan di meja.

Rumah itu hanya memiliki satu ruang, daripada memanggil itu rumah, itu lebih seperti gudang yang ditinggalkan. Dinding rumahnya terbuat dari kayu yang hampir lapuk karena usia, atapnya hanya terdiri dari jerami yang membuat air dengan mudah memasukinya. Ranjangnya terbuat dari bahan keras yang sulit untuk tidur di atasnya, selain dari bantal yang terbuat dari bahan seadainya tidak ada lagi yang lainnya.

Duduk di tempat tidur, remaja itu dengan tenang mengepalkan tangannya. Gerakan santai itu membuat udara bergetar ringan seolah sepuluh ribu gajah sedang berlarian. Mengangguk dengan puas, remaja itu berniat istirahat ketika pintu rumahnya tiba-tiba terbuka.

"Tina, berapa kali aku harus bilang kepadamu, kamu harus mengetuk pintu terlebih dahulu." Ekspresi tak berdaya secara tak terduga muncul di wajah tenangnya, seolah orang yang di depannya tidak sanggup untuk dia hadapi.

"Ayolah Kakak, pintu rumahmu sudah hampir hancur, jadi bagaimana jika aku mengetuknya dan itu tiba-tiba hancur. Bukankah aku yang akan disalahkan." Gadis kecil dengan dua kuncir kuda yang terlihat berusia sepuluh tahunan tiba-tiba memasuki rumahnya.

Dia meletakkan tangannya di pinggangnya dan menggembungkan pipi, bertindak seolah sudah dewasa. Melirik makanan di atas meja, gadis kecil itu mengeluarkan permen dari sakunya, "Kakak ini untukmu."

"Permen? Terimakasih." Mengulurkan tangannya, remaja itu mendapati dirinya meraih udara kosong.

"Huh? Bukankah ini untukku."

"Tapi aku tidak memberikannya dengan gratis." Gadis kecil itu melirik makanan di atas meja lagi dan lagi. "Kamu harus menukarnya."

"Oh. Apa yang harus aku tukar ya.." Remaja itu dengan riang berpura-pura melihat-lihat ruangannya pada akhirnya dia melirik makanan di atas meja.

"Bagaimana dengan makanan itu, kamu bisa menukarnya dengan itu."

Gadis kecil itu melirik ke bawah seolah sedang bergulat dengan dirinya sendiri apakah menerimanya atau tidak. "Baiklah, ini permenmu."

Berlari dengan gembira, gadis kecil itu dengan senangnya duduk di kursi dan memakan makanan di meja. Dia tidak peduli dengan jenis makanan yang ada di depannya, hanya memakannya dengan gembira.

Remaja itu hanya tersenyum melihat tingkahnya, dia tidak mempermasalahkannya sedikitpun. Remaja itu tersenyum menatap wajah kekanakannya dan memulai pembicaraan, "besok kamu juga mengikuti upacaranya, bukan?"

Mengangguk-angguk, gadis kecil itu menelan makanannya, dan dengan senang hati menjawabnya. "Iya, Kakak pikir siapa aku. Aku adalah jenius nomor satu di kota ini, jadi mengapa aku harus melewatkan kesempatan besar ini."

Remaja itu tiba-tiba menatap matanya dengan serius. "Apakah Tina mempercayai Kakak?"

Tina, gadis kecil itu meletakkan makanannya dan menatap balik padanya sebelum mengangguk dengan serius. "Tentu saja Tina mempercayai Kakak."

"Hebat." Remaja itu kemudian mengeluarkan sapu tangan dan membersikan wajahnya yang belepotan, kemudian dia mendekatkan mulutnya dan mulai membisikkan sesuatu padanya. "Apakah Tina bisa melakukannya?"

"Tentu saja Tina bisa melakukannya. Tapi.." Tina menatap ke bawah sedikit khawatir, "apakah mereka akan marah pada Tina."

"Mengapa, Tina adalah anak yang manis jadi mengapa mereka memarahi Tina." Remaja itu tersenyum dan mengusap-usap kepalanya.

"Hehehe, Tina adalah anak yang manis." Tina dengan gembira tersenyum manis menikmati usapan tangannya.

"Tina! Sudah berapa kali aku bilang jangan datang ke tempat ini lagi." Suara merdu seorang gadis tiba-tiba terdengar dari luar pintu.

"Ah! Itu Kakak." Tina menjadi gugup setelah mendengar suara itu, dia dengan cepat keluar dari rumah tidak peduli dengan makanan di depannya lagi seolah takut dengan pemilik suara itu.

Remaja itu tersenyum melihat kepergiannya, dia dengan tenang kembali duduk seolah sedang menunggu kedatangan seseorang.

*Bang*

Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras, seorang gadis berparas cantik dengan marah menatap padanya, dia kemudian duduk di kursi dan memakan makanan di atas meja tanpa sedikitpun sopan santun.

Remaja itu menatapnya dengan tenang tidak peduli dengan sikapnya, namun gadis itu tiba-tiba berhenti makan dan melototinya. "Apa! Tidak pernah melihat wanita cantik ini makan."

Mengahadapi amarahnya, remaja itu tersenyum tipis dan terus menatapnya dengan tenang. Gadis itu kemudian memalingkan wajahnya saat mengetahui reaksinya, dia mendengus dan bergumam pelan. "Hmph, membosankan. Itulah mengapa tidak ada gadis lain yang dekat denganmu."

"Dengan sikapmu aku ragu ada laki-laki lain yang akan menyukaimu." Remaja itu dengan bercanda menjawabnya.

Mengabaikan ejekannya, gadis itu dengan tenang menyelesaikan makanannya sebelum merapikan dirinya sendiri. Dia kemudian berbalik menghadapnya dan menatapnya sebelum menyilangkan tangannya seolah sedang menunggu.

Ruang menjadi hening ketika keduanya tetap diam dan menatap satu sama lain tanpa kata sedikitpun. Detik demi detik, menit demi menit akhirnya berlalu, remaja itu pada akhirnya menghela napas pasrah melihat gadis di depannya tetap menatapnya.

Dia dengan tenang meraih wajahnya sendiri dan tiba-tiba kulit tipis ditarik keluar dari belakang telinganya, memperlihatkan wajah baru yang sepenuhnya berbeda dengan wajah yang sebelumnya dia miliki.

Gadis itu tiba-tiba menatapnya dengan terpesona, wajah di depannya tidak bisa digambar tampan lagi mungkin kata sempurna hampir cocok dengan wajahnya. Tanpa berdiri dari kursinya, gadis itu mendekatkan wajahnya ke depan dan tiba-tiba berbicara, "hallo tampan, kita bertemu lagi."

Kedutaan tanpa sadar muncul di wajah remaja itu, dia mendapati dirinya tidak bisa berkata-kata menghadapi duo adik dan kakak ini. Membiarkan gadis itu menikmati wajahnya, remaja itu akhirnya memakai topeng kulitnya setelah beberapa menit.

Gadis itu menyaksikannya memakai topeng kulit, melihat wajah biasa itu lagi, dia kemudian menghela napas dengan menyesal. "Haaah, aku lebih suka wajahmu yang satunya."

"Lalu kenapa aku tidak melepaskannya saja." Remaja itu dengan santai bertanya setelah memakai topeng kulitnya.

"Jangan, wajah itu eklusif hanya untukku."