"Jadi akhirnya kau bisa membuktikan pada mereka bahwa mereka keliru?" tanya Iam sambil tersenyum dan langsung membuyarkan lamunan Anna.
Anna tersenyun malu-malu, "Ah, ya. Aku langsung diterima begitu aku mencobanya dua kali lagi setelah tiga bulan. Itu semua berkatmu. Jika bukan karena kata-katamu saat itu, mungkin aku sudah menyerah. Terimakasih. Kata-kata itulah yang selalu ingin kuucapkan padamu."
Iam tersenyum bangga.
"Dan, ah.. tunggu sebentar," Anna mengambil sesuatu dari dalam tasnya, "Ini, saputanganmu. Terimakasih karena kau sudah meminjamkannya padaku saat itu. Maaf. Karena aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa mengembalikan ini padamu. Waktu itu benar-benar sangat memalukan."
Anna merasa wajahnya memanas.
Iam tertawa membayangkan Anna yang berjongkok saat itu karena saking malunya, "Tidak apa. Yang penting saputangan ini bisa membuatmu berhasil. Jadi itu sudah tidak menjadi memalukan lagi bukan?"
Anna menggangguk. Begitupula dengan Iam. Mereka kemudian saling diam di tempat dengan pikiran mereka masing-masing. Entah karena masih tak percaya bahwa Iam akhirnya mengenalinya, atau karena merasa adanya kemungkinan bahwa takdir mereka mungkin saja akan berlanjut?
Keduanya mulai kikuk dan saling melirik satu sama lain dengan malu-malu, terutama Anna. Ia benar-benar tak menyangka akan membahas masalah ini di kemudian hari.
Dari saat dimana ia mulai diam-diam memperhatikan Iam, laki-laki pujaan hatinya itu hanya dari jauh, sampai akhirnya ia bisa menatap puas laki-laki itu dari jarak sedekat ini. Bukankah ini sangat menyenangkan?
Tapi kesenangannya itu langsung sirna saat pacar Iam datang. Jessi datang dan menghampiri Iam. Ia merangkul pundak Iam dengan akrab. Anna yang melihat itu sebagai bentuk kemesraan keduanya, merasa tidak senang.
"Apa yang kau lakukan di sini? Dan, apa yang sedang kalian bicarakan? Hem?" Jessi melirik keduanya bersamaan.
Iam mendadak kesal. Ia merasa Jessi tiba-tiba saja muncul disaat yang tidak tepat. Iam menjawab dengan malas, "Aku hanya sedang berbicara saja. Apa kau mengikutiku? Darimana kau tahu aku ada di sini?" tanyanya.
Jessi menjawab dengan cuek, "Ah, tentu saja aku tahu. Kita 'kan sudah bersama sejak lama. Apa yang tidak kuketahui tentangmu. Semuanya sudah aku ketahui."
Situasi ini membuat Anna semakin tidak nyaman. Jessi memang gadis yang periang dan ceplas-ceplos. Hal itu tentu saja sangat berbeda jauh dengannya. Tidak heran jika mereka akhirnya berpacaran. Mereka berdua terlihat serasi.
Anna berusaha tetap ceria, "Mungkin sebaiknya aku pergi karena sepertinya pembicaraan kita sudah selesai. Aku tidak akan mengganggu pacaran kalian. Kalian pasti ingin berduaan 'kan? Ehm.. kalau begitu, aku permisi dulu ya!"
Memutuskan untuk pergi adalah pilihan yang tepat. Ia tidak ingin membuat hatinya semakin terluka karena melihat kemesraan orang yang dicintainya bersama dengan oranglain lebih lama lagi.
Melihat Anna pergi, Iam hanya bisa menatap kepergian Anna dengan wajah kecewa. Ia menghelah napas. Sementara Jessi yang tidak mengerti situasi apa yang terjadi, hanya bisa kebingungan.
"Ada yang bisa menjelaskan wanita itu kenapa? Sepertinya dia tidak menyukaiku? Apa itu cuma perasaan aku saja?? Tapi, sebentar. Barusan apa yang dikatakannya?" Pekik Jessi menyadari sesuatu, "Pacaran??! Dia bilang pacaran?? Oh, tidak! Kenapa dia juga berasumsi kalau kita berpacaran???"
"Itu karena kau tiba-tiba saja datang dan merangkulku dengan mesra. Jadi kau bisa liat 'kan siapa sebenarnya yang menyebabkan semua orang berpikiran bahwa kita berpacaran!? Huh?!" terang Iam dengan nada ketus. Tidak masalah jika oranglain salah paham tentang hubungannya dengan Jessi, tapi jika Anna... kenapa ia jadi kesal sendiri?
"Hei! Kenapa kau jadi yang marah? Kau tidak pernah marah sebelum ini jika ada yang mengatakan kita pacaran. Kenapa sekarang kau jadi kesal begitu? Merangkulmu seperti itu 'kan sudah jadi kebiasaan kita sejak kecil. Apa kau perlu sekesal itu dan jadi menuduhku yang menyebabkan gosip itu muncul?" Protes Jessi tidak terima. Ia ikutan kesal.
Iam langsung meminta maaf.
"Maaf, aku rasa ini karena ada yang hal sedang aku pikirkan. Aku sungguh tidak bermaksud marah begitu," seru Iam. Mencoba menenangkan diri. Tidak seharusnya ia melampiaskan kekesalannya ke sembarang tempat.
Jessi menatap Iam dengan bingung.
"Ada apa denganmu sebenarnya? Kenapa sekarang kau jadi aneh begini?" tanya Jessi tak mengerti.
Iam terdiam dan berusaha berpikir. Jessi benar. Ada apa sebenarnya dengan dirinya? Kenapa ia begitu kesal saat mendengar Anna mengira dirinya dan Jessi berpacaran? Padahal selama ini ia selalu tak perduli.
Apa jangan-jangan... dia mulai menyukai Anna?
Jessi menyadarkan lamunan Iam.
"Hoi!! Kau sekarang juga jadi suka melamun 'ya. Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Lalu siapa wanita itu tadi? Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Apa dia teman kampusmu yang baru?" tanya Jessi ingin tahu.
Iam menghelah napas, "Sudahlah. Kau tidak perlu tahu. Sebaiknya kita pergi. Aku sedang lapar sekarang, jadi kau harus mentraktirku," ajak Iam.
Ia berusaha tak memikirkan hasil pikirannya tadi sambil merangkul Jessi.
"Mentraktirmu? Kenapa aku yang harus mentraktirmu? Aku tidak mau!" tolak Jessi mentah-mentah.
Iam tertawa, "Ayolah, masa kau tidak mau?" bujuk Iam.
"Tidak! Bukannya aku sudah sering mentraktirmu? Laki-laki macam apa yang terus meminta seorang wanita mentraktirnya?" Protes Jessi tidak setuju.
Iam tertawa lagi, "Baiklah. Baiklah. Kali ini aku yang traktir. Kau puas?"
"Beneran?"
"Hem,"
"Oke kalau begitu. Itu baru Iam-ku tersayang," seru Jessi sambil belagak akan mencium pipi Iam. Iam langsung menolak.
"Minggir! Jangan membuatku geli," teriak Iam.
Jessi cemberut. Keduanya pun kemudian tertawa bersama.
***
"Apa kita perlu mengklarifikasi soal gosip itu?" tanya Iam tiba-tiba saat dirinya dan Jessi tengah makan bersama di sebuah kafe.
Jessi menoleh dan terkejut.
"Wah, ada apa denganmu? Sejak kapan kata-kata itu bisa keluar dari mulut indahmu? Kau tidak salah makan sesuatu 'kan?" tanya Jessi penuh penyangsian karena merasa ucapan Iam barusan itu begitu tidak logis dan nyata baginya.
"Bukankah itu yang selama ini kau inginkan?" tanya Iam.
"Ya, tentu saja. Tapi itu tetap saja terdengar aneh jika kau sendiri yang mengucapkannya. Bukankah baru beberapa hari yang lalu kita membahas masalah ini dan kau menolaknya mentah-mentah? Apa kau sedang mencoba mempermainkanku?" Jessi suka kesal jika Iam suka bersikap tidak jelas.
"Aku hanya baru saja menyadari dan berpikir bahwa tidak akan baik jika kesalahpahaman ini terus berlanjut. Apalagi sampai menyebabkan semakin banyak orang yang akan percaya dengan gosip murahan itu, bertambah. Tidakkah kau memikirkan hal yang sama denganku juga?" terang Iam.
Jessi berpikir sejenak. Itu benar. Gosip itu tidak akan baik bagi mereka berdua terutama bagi dirinya sendiri. Ia jelas sudah menolak mentah-mentah semua gosip itu sejak awal, Iam-nya saja yang masih bersikukuh tidak mau ikut campur.
Sekarang tanpa angin tanpa hujan, manusia satu ini malah baru berkata seperti itu. Apa dia memang manusia yang suka seenaknya?!
"Ya. Tapi kau seharusnya mengatakan ini sejak awal. Kenapa kau baru mengatakannya sekarang, setelah selama ini mulutku sudah sangat berbusa memintamu untuk mengklarifikasikannya? Kau ini benar-benar suka seenaknya saja ya!" maki Jessi.
Iam yang sudah biasa dengan sikap Jessi yang menggebu-gebu, hanya bisa memakluminya dan tertawa geli.
"Iya, aku tahu aku salah karena sudah mengacuhkan mulut berbusamu itu. Tapi setidaknya kau senang 'kan sekarang?" Melihat sikap santai Iam, Jessi langsung memukul pelan bahunya.
"Kau ini!!" Jessi bersikap sok kesal lalu tertawa senang.
"Ayo, katakan padaku. Apa ini ada hubungannya dengan wanita yang aku temui tadi siang? Siapa namanya? Kau belum memperkenalkannya padaku tadi. Apa mungkin karena dia? Hem?" selidik Jessi penuh selidik dan senyum penuh arti.
Iam tak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil meminum gelasnya.
***