webnovel

Love Rain

Ara. Seorang gadis yang memiliki sebuah penyakit turunan dari sang ibu, ia harus melakukan hal lain, untuk dapat mengingat sesuatu. Lalu, sebuah mimpi buruk tiba-tiba hadir di malam-malam tidurnya. Mimpi buruk yang selalu membuatnya merasa ketakutan saat terbangun. Juna. Teman masa SMA Ara. Ia menyukai Ara sejak kelas 1 SMA, tapi sampai ia dewasa, ia tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya ke Ara. Apalagi, Ara telah memiliki kekasih. Lalu, sebuah kenangan masa lalu, membuat diri Juna selalu diliputi perasaan bersalah dan marah. Dewa. Teman kuliah Ara. Dia anak lelaki yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Lalu disaat dirinya memiliki kekasih, cinta lamanya kembali hadir. Kembali mengusik percintaan Dewa. Lalu, dapatkah Ara mengetahui tentang penyebab mimpi buruk yang selalu mendatanginya? Dan dapatkah Juna akhirna bisa menyatakan rasa sukanya ke Ara? lalu bagaimana ia menghadapi rasa bersalah dan rasa marahnya akan kenangan masa lalunya? Dan untuk Dewa, bisakah ia menghadapi godaan cinta masa lalu yang tiba-tiba hadir di tengah kisah percintaannya? Sebuah takdir yang akan menuntun mereka, entah mereka mampu menerima atau tidak dalam memperoleh jawaban yang mereka cari selama ini. Karena semua bukan hanya tentang jawaban, tapi tentang cara kita menerima akan sebuah jawaban itu.

Caira_Asmara · perkotaan
Peringkat tidak cukup
397 Chs

Sepertinya Dia Tidak Berubah

"Temen gue jaman SMA dulu La yang ngeselin."

"Oh, gue kirain pak Juna yang ngeselin. Gue mau dah dia lebih dari 2 bulan ada di sini."

"Lah, emang kenapa?"

"Vitamin A buat kita-kita yang lagi ditinggal pak Rico, Ra."

"Vitamin A?"

"Iya, penyegar buat mata kita. Dia kan enak di pandang, gak ngebosenin mukanya. Kira-kira, udah punya pasangan belum ya?"

"Iiih, elu berlebihan deh La. Yaudah, gue nemuin pak Juna dulu ya? Mau ngomongin soal jadwal, hari Senin gue udah mulai masuk soalnya."

"Oke deh Ra, semoga di kasih kemudahan sama pak Juna ya?"

"Aamiin."

Gue yang masih merasa heran dengan ucapan Lala, memutuskan untuk segera menemui si orang ngeselin yang dipuji-puji Lala dari tadi, siapa lagi kalau bukan Juna.

Tok tok tok,

"Masuk?"

Gue menurunkan handle pintu lalu membukanya dan memasuki ruangan yang sudah biasa gue masuki jika ingin menemui pak Rico. Tapi entah kenapa, aura di sini berubah drastis dengan aura saat gue akan menemui pak Rico.

"Duduk Ra!" ucap Juna.

"Iya pak."

"Jangan pakai pak segala Ra."

"Lah, bukannya tadi di luar dia yang nyuruh gue buat panggil pake pak? Aneh," batin gue.

"Di sini kan gak ada orang lain Ra, kita berbincang biasa aja kayak biasanya."

"Nah, gitu dong Jun. Gue udah pengen meledak dari tadi."

"Meledak kenapa?"

"Karna gaya bicara lu yang kayak tadi."

"Hehehe, sorry-sorry. Kamu mau ngobrolin soal jadwal kuliah dan jadwal kerja kamu ya?"

"Kok lu tahu?"

"Rico udah bilang dari awal soalnya, jadi gimana?"

"Gue hari Senin udah mulai masuk kuliah Jun, jadi jangan kasih jadwal shift pagi ya?"

"Okey."

"Seriusan ini?"

"Iyalah, emang kamu gak mau?"

"Mau bangetlah Jun."

"Yaudah, nanti gue buat seperti permintaan lu."

"Gue kira bakal susah buat ngomongin ini ke elu Jun."

"Kan gue udah tahu kalau lu kuliah, sekelas sama Dito kan?"

"Iya, sama Dewa dan Dewita juga. Yaudah, gue lanjut kerja lagi kalau gitu. Sekali lagi, thanks banget ya Jun."

"Iya Ra, inget ya! Fokus sama kuliahnya, bukan sama yang lain."

"Iya."

Gimana gue bisa fokus kuliah Jun? Padahal banyak hal yang harus gue lakuin dan gue lalui selama ini, dan elu gak pernah tahu itu. Dulu nenek selalu mengirimkan bantuan untuk biaya hidup gue di sini. Tapi, setelah gue tahu soal papa mama yang telah meninggal dunia. Gue memutuskan untuk tidak menerima lagi bantuan nenek.

Nenek sudah menjual beberapa petak sawah untuk mengurus jenazah papa mama dan biaya perawatan gue saat koma dan masa pemulihan selama hampir 5 bulan. Tabungan papa mama yang direncanakan untuk biaya kuliah gue, sudah habis bahkan tidak bisa untuk menutup semua biaya perawatan gue.

Gue udah bilang ke nenek, kalau gue udah bisa mandiri saat ini. Walau harus menjalani pekerjaan lebih dari satu, setidaknya ada hasil yang mampu mencukupi kebutuhan gue di Jakarta.

Tapi yang gue pikirin kan bukan hanya masalah biaya kuliah dan biaya hidup saja. Ada satu hal yang paling membuat gue harus fokus selain kuliah, apalagi kalau bukan soal daya ingat gue. Dokter Fredy udah meminta gue untuk melakukan konsultasi lagi melalui perantara Sammy. Bilangnya sih, pak dokter takut kalau terjadi hal-hal yang lebih parah di gue.

Pak dokter juga merasa bertanggung jawab akan hidup gue katanya, karna papa mama sudah mempercayakan kondisi gue ke beliau. Tapi entah kenapa, gue masih enggan untuk melakukan konsultasi ke pak dokter. Gue merasa masih bisa melalui hari-hari gue dengan bantuan buku harian.

Jam 17.30 gue udah berubah penampilan dengan mengenakan pakaian awal saat gue keluar apartemen. Juna sudah keluar cafe di jam makan siang tadi, kata anak-anak lain sih, Juna ada keperluan di luar cafe. Gue menyalakan motor matic dan mulai melaju membelah jalanan ibukota. Di tengah perjalanan pulang, gue akan mendengar adzan magrib berkumandang. Maka gue selalu berbelok ke sebuah masjid yang lumayan besar, untuk berhenti sesaat dan mendirikan sholat magrib.

Saat telah memasuki area parkir masjid dan hendak melepas helm yang bersarang di kepala, gue melihat sesosok pria yang sangat gue ingat wajahnya. Walau baru bertemu kembali setelah 4 tahun lebih lamanya, tapi wajahnya masih terlihat sama dengan apa yang gue ingat dulu. Hanya saja, sekarang dia terlihat lebih dewasa dan mempesona.

"Juna?" ucap gue saat melihat seorang pria di depan pintu kemudi sebuah mobil sedan berwarna biru.

"Semoga dia gak ngeliat gue."

Gue bergegas melepas sepatu dan segera menuju area wudhu wanita. Betapa terkejutnya gue saat selesai berwudhu dan hendak memasuki ruang dalam masjid.

"Ara?" ucap suara yang gue kenali.

"Hehehe, Juna."

"Kenapa tadi pura-pura gak liat aku?"

"Gue gak pura-pura kok," ucap gue memberikan alasan.

"Boong?"

"Iya."

"Iya boong kan?"

"Iya gue boong," ucap gue lirih.

"Hahaha, dasar kamu ini. Nanti setelah sholat tetap di sini sampai aku samperin ya!"

"Kenapa emangnya?"

"Pokoknya diem di sini setelah sholat!"

"Iya iya."

"Yaudah masuk gih! Aku mau wudhu dulu."

"Lah, lu belum wudhu?"

"Belum, kan aku nungguin kamu tadi."

"Oh."

Selesai sholat magrib…

Gue duduk di serambi masjid menunggu Juna keluar dari masjid, karna merasa lama, gue memutuskan untuk memakai sepatu terlebih dahulu.

"Ra? Sorry lama."

"Oh. Iya gak papa," ucap gue menengadahkan kepala karna tadi lagi menunduk memakai sepatu.

"Ayo jalan!"

"Gue bawa motor Jun."

"Iya gue tahu."

"Terus mau jalan ke mana?"

"Kita makan bakso yuk?"

"Di mana?"

"Terserah kamu aja, aku ngikutin motor kamu dari belakang."

"Oke."

Gue memutuskan untuk menuju sebuah kedai bakso langganan gue selama ini, langganan selama papa dan mama masih ada juga sih. Motor matic gue berhenti di sebuah kedai bakso yang terlihat ramai dan bau kuah baksonya sudah tercium bahkan sebelum gue memasuki kedai tersebut.

Sambil menunggu Juna keluar mobil, gue melepaskan helm dan sarung tangan lalu menaruhnya di spion motor.

"Kita makan di sini Ra?"

"Iya Jun, gak papa kan?"

"Gak papa banget Ra, kan dulu kita sering makan di sini jaman SMA."

"Lu masih inget to? Kirain gue udah lupa."

"Selalu ingat aku Ra."

"Yaudah yuk masuk! laper gue."

"Oke little gril."

"Gue udah gede Jun sekarang," ucap gue sedikit kesel.

"Lu tetep gadis kecil buat gue," ucapnya sambil memegang kepala gue.

Entah mengapa jantung gue tiba-tiba berdetak lebih cepat. Aduh, gak biasanya gue seperti ini kalau lagi sama Juna.