webnovel

Tiada Tempat Untuk Melarikan Diri

Editor: Wave Literature

Xia Ling menenangkan dirinya dan mencoba bicara dengan lebih lembut. "Terserah anda, Direktur Pei."

Xia Ling kemudian berkata, "Sebenarnya, menurutku tidak ada bedanya kalau IV[1]1 Feifei dilepas. Menjadi mayat hidup tanpa bisa berpikir untuk dirinya sendiri dan tidak bisa mengambil keputusan sama saja dengan benar-benar mati. "

Pada saat ini, ia berhenti sejenak dan memikirkan dirinya di kehidupan masa lalu.

Sampai sekarang, ia tidak pernah menyesali keputusan itu.

Ketika tunangan Pei Ziheng meninggal, ia awalnya hanya mengunci Xia Ling di sebuah villa rahasia dan mengirim bodyguard untuk mengawasinya. Xia Ling memberontak minta dibebaskan, meminta putus dengannya, berteriak histeris dan berusaha melarikan diri berkali-kali.

Suatu hari, rencananya hampir berhasil.

Ia bersembunyi di hutan kecil di dekat villa dan ditemukan oleh tim pencari yang dikirim Pei Ziheng. Mereka telah membawa sekawanan anjing Mastiff untuk mengepungnya dan membiarkannya tidak berdaya, terpojok di sebuah pohon...gemetar ketakutan.

Pei Ziheng kemudian muncul mendekati lingkaran tersebut.

Tatapan matanya sangat mengintimidasi. Ia menjambak rambut Xia Ling yang acak-acakan. Ia tanpa ampun menyeretnya dengan posisi lutut Xia Ling di atas tanah.

"Xia Ling," katanya mengancam. "Cobalah melarikan diri lagi dan akan kutunjukkan bagaimana rasanya hidup yang lebih sengsara daripada kematian."

Sang kekasih menyeretnya melintasi tanah yang tidak rata hingga sampai di villa. Dahan dan ranting yang jatuh merobek bajunya, menggores kulitnya yang putih dan lembut, membuatnya berdarah dan penuh luka. Jejak darah yang tertinggal di hutan seperti tiada hentinya. Pada saat sampai di kamar, gadis itu terengah-engah lemah, dan sekujur tubuhnya penuh luka.

Dokter keluarga butuh sehari penuh untuk membersihkan benda-benda kecil yang tertancap di punggungnya.

Kemudian, butuh beberapa hari lagi untuk membersihkan, mengobati dan membalut luka-lukanya.

Pei Ziheng berdiri di sampingnya dan melihat dengan tatapan dingin.

Tubuhnya memang sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit lagi. Rasanya seperti hatinya diremas menjadi bola dan dibanting ke tanah, hanya untuk diinjak berulang-ulang kali dan semena-mena. Namun, Xia Ling terlalu naif dan meremehkan kekejamannya. Ia melanjutkan amukan, perlawanan, memecah dan menghancurkan apapun yang ia temui di ruangan itu, mogok makan, dan bahkan melukai diri sendiri.

Tapi Pei Ziheng tidak goyah. Ia menyuruh anak buahnya membuatkan satu set rantai dan kunci, merantai lengan dan kaki Xia Ling, dan menggantikan semua barang di ruangan dengan barang-barang yang aman dan tidak membahayakan.

Xia Ling mengutuk dan bersumpah, memprovokasi Pei Ziheng. "Pei Ziheng, aku dulu buta bisa setuju hidup bersamamu. Aku tidak mencintaimu lagi, aku tidak pernah mencintaimu!"

Pei Ziheng marah besar, memukuli Xia Ling sampai ujung mulutnya berdarah hingga ia mati rasa. Ketika Xia Ling masih tidak menghentikan makiannya, ia menyiksanya dengan brutal, sampai mereka berdua benar-benar kelelahan. Xia Ling tak sadarkan diri di pelukannya.

Hari demi hari berlalu.

Pei Ziheng terlihat semakin suram, sementara Xia Ling berulang-ulang menyatakan bahwa ia tidak lagi mencintai Pei Ziheng. Semakin ganas Pei Ziheng menyakitinya, semakin banyak kepuasan yang Xia Ling dapatkan--meskipun itu berarti lebih banyak luka dan cambukan di tubuhnya.

Sampai suatu hari, Pei Ziheng menatapnya lama sekali dan membelai wajahnya dengan kelembutan yang belum pernah ia tunjukkan dalam waktu yang lama, seolah-olah ia sedang menyentuh harta karun.

"Xiao Ling," katanya lembut. "Kau masih cinta aku. Kau akan selalu mencintaiku." Sinar matahari memasuki matanya menuju jurang tanpa batas, dan tak ada pantulan cahaya yang kembali.

Xia Ling begitu ketakutan dengan tatapan pria itu, dan sebuah firasat muncul di dadanya.

Pei Ziheng merobek pakaiannya, mengikat lengan dan kakinya dengan tali kulit hitam, dan membungkusnya dengan jaket parasut. Kemudian, ia memapahnya ke mobil dan memberikan lokasi yang belum pernah Xia Ling dengar pada sopir.

Itu adalah bangunan yang terisolasi, tetapi sungguh glamor.

Karena terdapat tanaman-tanaman yang rimbun, seperti ada rencana besar untuk menyembunyikan tempat ini. Rolls-Royce milik Pei Ziheng melaju masuk dan melewati banyak gerbang yang diukir dalam pola bunga yang indah. Gerbang terbuka perlahan untuk menyambutnya. Terdapat pos jaga bersenjata di belakang setiap gerbang.

Pei Ziheng memapahnya masuk.

Seorang pria yang tampak seperti seorang dokter muncul dan membawa Pei Ziheng ke sebuah ruangan yang telah disediakan, dimana ia menurunkan Xia Ling.

"Membutuhkan waktu sekitar 20 hari," kata pria itu dengan serius. "Tuan Pei, tim spesialis akan menyerahkan laporan lengkap kepada anda. Anda bisa membawa Xia Ling pulang."

"Saya ingin menyaksikan seluruh proses," balas Pei Ziheng.

Nada bicara pria itu resmi dan profesional. "Jika anda memang menginginkannya, ada ruang VIP di zona B dimana anda bisa melihat siaran langsung dari apa yang terjadi. Tapi saya harus mengingatkan, prosesnya tidak terlalu menyenangkan untuk dilihat."

Xia Ling tidak mengerti arti percakapan mereka dan merasa takut.

"Pei Ziheng, apa yang kau lakukan!" dia berteriak padanya dengan amarah. "Lepaskan aku! Aku ingin pergi!"

Pei Ziheng tidak menatapnya lagi. Ia berbalik dan mengikuti pria itu meninggalkan ruangan.

Pada hari-hari berikutnya, seluruh tubuhnya diperiksa oleh beberapa wanita yang tidak ia kenal. Mereka mengenakan mantel putih, melapisi tangan mereka dengan sarung tangan karet tipis dan menggunakan berbagai macam peralatan dan instrumen padanya saat mencatat serangkaian pengukuran.

Xia Ling merasa malu dan kesal tetapi tidak bisa melarikan diri dengan tangan dan kakinya yang masih diikat. Mereka mengganti tali yang digunakan Pei Ziheng dengan borgol besi.

Permukaan bagian dalam dilapisi dengan bulu lembut sehingga ia tidak akan terluka, dan juga memungkinkan untuk pemeriksaan yang lebih menyeluruh. Namun, itu juga membuatnya lebih malu.

Ia tidak tahu bagaimana ia mampu melewati hari-hari itu. Setelah pemeriksaan, ada sesi interogasi yang panjang. Semua jenis pertanyaan kejam diajukan, tetapi ia tidak ingin berurusan dengan mereka dan menolak untuk menjawab, sambil membabi-buta mencaci-maki mereka dan Pei Ziheng. Para wanita bermantel putih tetap melanjutkan tanpa ekspresi, membuat catatan sambil bertukar istilah yang tidak bisa ia pahami.

Akhirnya, Pei Ziheng mendatanginya.

Hari itu, Xia Ling dirantai ke sebuah kursi. Dengan ditutupi selimut putih tipis, ia bernapas lemah sambil menyaksikan Pei Ziheng mendekat. Dengan cara yang sama, seperti yang ia lakukan ketika mereka pertama kali tiba, ia melepas jaketnya dan memapah Xia Ling dengan hati-hati.

"Xiao Ling, kita akan pulang," katanya dengan lembut, membelai mata dan sudut bibirnya.

Xia Ling mengumpulkan semua tenaga yang miliki untuk menggigit telapak tangannya.

Pria berwajah dingin yang menyambut mereka berdiri dalam diam dan menyaksikan apa yang terjadi. Ia kemudian berkata, "Tuan Pei, anda seharusnya percaya pendapat ahli kami. Ia tidak cocok untuk prosedur ini. Terlalu berbahaya."

Pei Ziheng dengan perlahan melepaskan tangannya yang terluka dari gigitan Xia Ling dan bahkan dengan lembut mengusap darah dari sudut bibirnya. "Aku hanya menginginkan prosedur ini dan alat-alatnya. Tolong kirim semuanya sesegera mungkin."

Pria itu terdiam sesaat, mengungkapkan sedikit rasa simpati di matanya terhadap Xia Ling.

"Sesuai yang anda inginkan, Tuan Pei."

Saat kembali di villa Pei Ziheng, ia mengunci Xia Ling di ruang kecil yang tertutup. Kaki, tangan, leher dan dadanya terikat ke tanah, tanpa satu inci pun ruang untuk bergerak. Di bawahnya terdapat selimut yang sangat lembut, dan mulutnya diisi dengan bola logam yang bolong agar ia tak bisa bersuara.

Hanya ada keheningan dan kegelapan tiada akhir.

Xia Ling panik saat mendengar suara detak jantungnya yang semakin jelas. Halusinasi terbentuk di dalam benaknya, dan napasnya terengah-engah. Ia hampir kehilangan akal sehat. Tepat saat ia berada di ambang batas, sebuah cahaya muncul. Pintu didorong terbuka, dan sosok Pei Ziheng yang tinggi menjulang masuk dengan membawa cambuk.

***