webnovel

Sia-sia

Alvaro dari satu jam yang lalu meminta izin Vania untuk bermain bola. Vania tidak mengizinkannya karena terakhir main bola putranya itu pulang dengan lutut yang berdarah. Mendengar dari putranya kalau saat itu terjatuh di lapangan dan putranya itu mengatakan tidak apa-apa.

"Ma, Varo mohon boleh ya?"

Vania yang sedang menonton televisi menggelengkan kepalanya membuat pundak Varo lemas.

"Aku janji ngga akan ada yang luka lagi." Alvaro terus berusaha memohon dan selalu mendapatkan jawaban yang sama. "aku.. janji ini untuk yang terakhir kalinya."

"kamu janji?" Vania memastikan lagi dengan semangat Alvaro menganggukkan kepala. "Baiklah, tapi ingin ini untuk yang terakhir kali kamu ma–"

"Yey!" Alvaro meloncat karena bahagia lalu dia memeluk tubuh mamanya seraya mengucapkan banyak terima kasih. "Aku sayang mama."

"Mama juga." Balas Vania lalu melepaskan pelukan mereka kemudian kembali menyaksikan acara yang di tayangkan televisi.

"Oh ya, "Vania tiba-tiba mengingat sesuatu. "Mama sepertinya belum ada di rumah saat kamu pulang main bola "

"Mama mau ke pasar ya? Tapi kok bisa belum pulang?" Alvaro menjawab yang di angguki Vania.

"mama mau ke tukang jahit dulu." Balas Vania membuat Alvaro mengangguk mengerti.

"Ya, udah ngga papa. Aku berani di rumah sendiri kok."

"Yakin?"

Alvao mengangguk. "Iya. Bu Nur ikut, ma?"

"Iya, mama mana bisa bawa belanja sendiri." Jawab Vania sambil melirik Alvaro yang sedang melihat jam dan memperhatikannya lama.

"Masih jam dua lewat tiga puluh." Vania memberi tahu Varo yang menatapnya tidak suka.

"Kalau mama kasih tahu terus, kapan aku bisanya?" protesnya.

Vania tidak menjawab tapi mengacak rambut putranya pelan. "Kalau kamu belum bisa jangan malu untuk bertanya ya? Jangan jadi sok pintar tapi kenyataannya ngga tahu apa-apa. Kadang, lebih baik di anggap bodoh yang banyak bertanya dari pada diam tapi sok pintar."

"Mama bicara apa sih? Varo ngga mengerti. Ulang lagi, ma?"

"Ngga ah, percuma kamu juga ngga akan mengerti." Ucap Vania

"Kamu yakin ngga masalah, mama tinggal?" Vania mengalihkan pembicaraan membuat Varo menggelengkan kepalanya.

"Ngga, aku kan sudah beredar." Balasnya membuat Vania terkekeh.

"Bagus kalau gitu, tapi kamu harus janji ngga akan ada lagi luka karna main bola."

Varo menganggukkan kepalanya sambil berjalan menuju kamar 7ntuk mengganti pakaiannya. "Tapi aku ngga janji kalau hari ini main bola untuk yang terakhir kalinya."

Vania yang mendengar itu menghela nafas kemudian menggelengkan kepalanya dan fokus kembali ke layar televisi yang kini sudah menayangkan acara favoritnya yaitu acara gosip.

Sementara itu di tempat lain, Varo tepatnya di dalam kamar sedang mengganti baju dengan baju biru, celana biru dan perlengkapan main bola lainnya. Sebelum keluar dari kamar, anak kecil bernomor punggung sembilan itu melihat penampilannya lewat kaca dan tersenyum merasa penampilannya sudah sempurna.

Kemudian ia meraih tas yang isinya air minum, baju ganti, sisir, minyak rambut dan tidak lupa dengan kaca kecil untuk mempermudahnya melihat penampilannya yang semakin ganteng. Sebelum keluar dari kamar berkonsep Doraemon, dia kembali berjalan ke kaca untuk berpose layaknya orang dewasa.

Varo sangat suka dengan Doraemon, mulai dari DVD, gambar, mini atur sampai baju bergambar Doraemon pun turut serta memenuhi lambarinya. Awalnya kecintaan akan Doraemon biasa saja tapi semakin lama ia semakin ingin memiliki koleksinya. Beruntungnya, Vania tidak pernah mempersalahkan putranya meminta mainan berupa robot tikus eh kucing berwarna biru itu.

Varo menonton televisi dengan ibunya sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia mulai berpikir untuk pergi lebih cepat dari biasanya, toh itu akan lebih baik.

"Kamu udah mau pergi?" tanya Vania begitu melihat Varo berdiri dari duduknya hendak berjalan ke pintu rumah.

"Iya."

"Ngga terlalu cepat ya? Memang teman-teman kamu sudah pasti datang?" tanya Vania lagi setelah melirik jam yang ada di dinding.

"Iya, tapi mau datang lebih cepat aja"

Vania menganggukkan kepalanya kemudian hendak meraih kunci motornya tapi mendengar suara Varo tangannya menggantung di udara. "Ngga usah di antari, ma. Aku bisa sendiri!"

"Lho kenapa?" Vania bertanya setelah memutar badannya menghadap Varo.

"Ngga, papa. Aku Cuma mau pergi jalan kaki." Ujar Varo sambil melanjutkan jalannya ke keluar dari rumah.

Vania masih menatap Varo menggelengkan kepala lalu berjalan kembali ke kursi.

***

Pria pemilik nama Rajawira Abimayu tengah mengomel panjang lebar pada Rio karena merasa di manfaatkan oleh sahabat yang sialnya adalah sepupunya sendiri. Bagaimana tidak, setelah membuatnya malu kemudian bersikap seolah-olah dia tidak peka kalau wanita itu menyukainya. Demi apapun, Raja tahu kalau Zara memiliki perasaan padanya tapi karna dia tidak memiliki perasan yang sama jadi dia tidak pernah menganggapnya.

Raja yang dari mengomel membuat Rio bosan sesekali Rio melirik Raja lalu buru-buru menunduk lagi saat mata Raja meliriknya tajam.

"Kenapa lo melihat gue gitu? Ngga terima gue ceramahi? Ngga suka gue marah-marah hah?" Raja berkata dengan ketus. "gue tahu kalau dia ada rasa ke gue tapi gue sengaja ngga menanggapinya. Gue ngga mau dia berharap, mengerti ngga?"

Rio mengangguk dan Raja menghembuskan nafas kasar. "Percuma juga gue bicara panjang lebar sama yang ada bikin gue capek."

Itu tahu balas Rio tentunya di dalam hati.

Lalu Raja mengisi tempat kosong di samping Rio. Mereka sama-sama diam hingga tak lama kemudian, Raja memilih untuk keluar rumah meninggal Rio sendirian.

"Akhirnya lo pergi juga, Ja" Rio berucap sambil memegang lehernya yang pegal karna terus menunduk.

Setelah merasa lehernya tidak begitu sakit, Rio berjalan menuju tempat penyimpanan air putih. Meski bukan dia yang bicara tapi tenggorokannya terasa kering, apa lagi Raja? Entah, Rio tidak ingin memikirkannya karena Rio sedikit kesal dengan Raja.

Menurutnya di sini Raja juga salah, kalau tidak suka kenapa tidak bicara saja? Tapi malah diam sepeti batu es dan membiarkannya mengarang seolah Raja menyukai Zara.

Saat akan kembali ke ruang tengah, sayup-sayup Rio mendengar suara mobil. Sial, jadi Raja mau pergi? Meninggalkannya sendiri di rumah? Tidak bisa di biarkan.

Rio berlari ke depan bersamaan dengan mobil yang raja kendarai keluar dari rumah juga. Rio mengumpat lalu mengejar mobil yang di kendarai Raja. Rio bahkan tak memedulikan penampilannya yang hanya memakai sendal rumahan dan celana pendek tanpa atasan.

"Berhenti, Ja!" teriak Rio yang pastinya tidak akan terdengar Raja tapi Rio tidak menyerah dengan terus berlari walau nyatanya itu sia-sia.

Akhirnya Rio menyerah dengan nafas yang terengah-engah tapi pandangannya masih menatap mobil yang tidak terlihat lagi dari pandangannya. "Raja sialan!"