webnovel

Dia Sari

Tak berhenti ia menatap wajahnya sendiri,  memperhatikan bentuk pipinya,  alisnya,  hidungnya,  bibirnya,  tak lupa tangannya pun ikut serta memainkan rambutnya ke samping, juga  kedepan,  jarinya terus membelai rambutnya yang ikal mengembang.

Tak lupa ia tersenyum bahkan ia berikan senyuman termanis,  ia begitu nampak percaya diri dan bangga akan dirinya,  ia bernyanyi dengan begitu meresapi seolah menggambarkan perasaannya,  ia terhanyut dalam alunan suaranya,  dan begitu menikmati seolah ia sedang konser di panggung yg megah.

"Ohh..." teriaknya melantunkan nada tinggi. 

tiba-tiba…  

"Sari!!"

sebuah teriakan mengacaukan nada nyanyian Sari, dan spontan ia menjawab, "ya mak!" 

bergegas ia merapikan rambutnya dan menggulungnya seperti biasa, tak lupa jepitan bebek besar andalannya yg dapat menahan rambut mengembangnya,  bergegas ia meninggalkan cermin yang setia menjadi saksi dikala ia bahagia dan dikala ia sedih. 

Iya dia Sari, gadis kelas 3 SMA yg biasa saja,  wajahnya tak begitu cantik namun tak begitu terlihat jelek, hanya saja dia belum pandai bergaya juga belum lihai membuat dirinya terlihat menarik, Sari aslinya memiliki warna kulit kuning langsat, itu semua karena ia selalu berjalan kaki, jika hendak pergi dan pulang sekolah,  sehingga kulit gadis itu menjadi berwarna kecoklatan.

Ia merupakan anak yang agak pendiam, sedikit pemalu,  kalo kata anak jaman sekarang disebut minderan.

"Pergi ke warung beli beras sekilo dulu sari!" ibunya menyodorkan uang dengan nada memerintah.

 "iya mak," jawab Sari, dengan segera meraih uang dari ibunya.

"Sari kalau nanti ada pak Wawan di warung bilang mak ya!" ibunya sedikit berteriak dari dalam rumah

"Iya mak," teriak sari menyahuti ibunya dan berlari ke arah warung pak Wawan

Biasanya kalau ada pak Wawan, ibu Sari ingin mengutang beras sekarung dan diberi tempo sebulan untuk membayar, begitulah kehidupan orang di kampung yang tak punya kerjaan tetap, jadinya gali lobang tutup lobang kata pepatah.

Sari memang selalu bersedia jika disuruh ibunya, karena sebenarnya ia adalah anak yang penurut, dan gampang iba kepada orang lain, jadi sangat mudah jika meminta pertolongan tenaga darinya.

Dug..dug..

Jantung sari berdebar kencang, sesampainya depan warung, 'huh.. untung dia lagi ga di warung,' gumam Sari dalam hati, kalau saja depan warung pak Wawan ini sedang ramai teman-teman dan anaknya yang sedang berkumpul sambil main gitar, bisa-bisa Sari putar balik ga jadi kesana apalagi dia hanya membeli beras sekilo yang dibungkus dengan kantong plastik bening, mau taruh dimana ini muka Sari, udah penampilan Sari pas-pasan eh cuma beli beras sekilo, waduh langsung minder Sari diliatin cowok-cowok yang lagi pada ngumpul.

Tapi terkadang Sari bisa senyum-senyum sendiri kalau sepulang dari warung, wajahnya cerah kaya habis menang lotre hanya karena di sapa sama anaknya pak Wawan, iya anak bungsunya yang berumur dua tahun di atas Sari, orangnya ramah dan murah senyum selalu sopan sama siapa aja yang belanja ke warungnya, namanya pedagang ya harus ramah ke pembeli hehe.. tapi ternyata itu yang bikin Sari makin ke sem-sem sama si dia, eh tapi...ini Sari aja yang salah perasaan atau Sari kegeeran entahlah.

'hmm… iya dia lelaki itu,' desis Sari.

Ternyata dia itu Sandi anak si tukang warung yang memiliki wajah cukup manis dipandang, yang selalu membuat hati Sari berdebar kalau ke warung  selama ini, diam-diam Sari sering memperhatikannya, dan menaruh perasaan suka pada si pria itu, 'kira-kira Sandi suka juga nggak ya sama Aku,' batin Sari bertanya.

Seandainya, Sari jadi anaknya pak Raden pastilah Sari dengan mudah membuat Sandi untuk menyukainya, ya secara satu kampung pun tahu kalo pak Raden orang terkaya di sini, jadi mudah saja untuk mereka membelikan kebutuhan anaknya dengan baju-baju yang cantik dan mahal-mahal, bisa perawatan kecantikan di salon mahal, otomatis kalau berparas cantik dan menawan kan semua laki-laki pasti akan berebut ngantri mau jadi pacarnya.

"Sari kok lama sekali sih beli itu aja,"  ibu Sari sedikit berteriak di depan pintu yang sudah mengintai Sari sejak tadi.

"Iya mak, maaf Sari agak lama," Sari membawa masuk beras yang dibelinya untuk segera dimasak

"Sari nanti kamu kalau sudah lulus ikut saja sama mba Leni ke kota ya!" Pinta ibu Sari

"Iya mak, Sari uda ga sabar mau kerja di kota biar bisa kirim mak uang belanja," Sari menyahuti

"Iya mak, doakan semoga kamu selalu murah rezekinya,"  ucap ibu

"Iya mak aamiin." Jawab Sari terharu

"Ingat ya Sari kamu baru boleh menikah kalau sudah umur 24 atau 25 ya," ibu menyambung nasihatnya

"Sari ingat mak," jawabnya pelan, untuk saat ini memang tak terlintas sedikitpun di benak Sari untuk menikah muda, pacaran saja dia belum pernah apalagi berniat untuk menikah mudah fikir Sari.

 *Keesokan harinya

pukul lima pagi, Sari terjaga dari tidurnya,  ia tidak selalu bangun pagi,  tapi dia berusaha untuk bisa bangun cukup pagi, terlebih hari senin dimana aktivitas sekolah baru dimulai. 

Sari sudah terbiasa membersihkan rumah terlebih dahulu, sebelum ia mandi,  gadis itu juga menyapu ruang tengah rumah, sebuah kontrakan yang tak terlalu besar, entah mengapa Sari selalu merasa risih dengan meja plastik berwarna hijau di ruangan itu,  setiap pagi pasti ada gelas ampas kopi dan asbak rokok yg kotor.

'Uhh kotor bgt si,' gumamnya dengan kesal sendiri. 

Tak ada pilihan lain, selain membersihkannya dan dengan sigap Sari membersihkan meja yang sejak tadi mengganggu pandangannya, apapun yang ada diatas meja sudah di babas bersih oleh Sari tak terkecuali kotak rokok yang mungkin di dalam masih ada isinya, sari tak peduli akan hal itu yang terpenting baginya pekerjaan segera selesai.

Saking asiknya dengan kesibukannya pagi ini, tak terasa jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh, peluh sudah membelai tubuh  Sari,sebenarnya beres-beres rumah di pagi hari hitung-hitung sama dengan pemanasan olah raga biar badan ga kaku-kaku amat.

Sari bergegas mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, ia merapikan rambut mengembangnya yang selalu menjadi rutinitas terlamanya saat bersiap-siap, bagaimana caranya Sari harus bisa menjinakkan rambutnya agar bersahabat dan tidak terlalu mekar, 'duh... kenapa sih ini rambut nggak mau nurut?' batin sari menggerutu sambil menyisir rambut yg sudah diikatnya ke arah dalam. 

Sari selalu kesal dengan rambutnya yang susah diatur, ditambah teman sekelas yang jahil sering mengejeknya, itulah yang semakin membuat tekad Sari ingin segera lulus dan bekerja di kota, agar ia bisa memperbaiki penampilannya sehingga tak lagi didengarnya ejekan dari mulut-mulut cabe itu.

'lihat saja nanti akan ku buktikan kalau aku bisa berubah, dan akan kubuat mulut-mulut cabe itu menganga melihat penampilan dan kesuksesanku kelak,' desis Sari dengan amarah sedikit mengejek ke arah cermin kesayangannya.

"Mak,  Sari pergi sekolah ya,"  Sari pamit sambil mencium tangan ibunya dengan sopan.

 "ini jajan Sari," ibu sari memberikan selembar uang kertas yang tampak sedikit lusuh.

 "iya mak," Sari memasukkan uangnya ke saku baju sekolahnya, yang baru dijahit hari minggu kemarin. 

Sari selalu bersyukur atas apa yang bisa orangtuanya berikan saat ini, ia bisa sekolah hingga SMA saja bagi Sari sudah Anugrah, kalau bukan perjuangan orangtuanya tak mungkin ia bisa seperti ini, justru keadaan mereka yang hidup pas-pasan semakin memacu semangat Sari untuk giat kelak dalam bekerja.

Seperti biasa perjalanan pergi dan pulang sekolah Sari tempuh dengan berjalan kaki, sudah rutinitas setiap hari jadi tak memakan waktu lama cukup lima belas menit baginya untuk tiba di sekolah.

"Pagi Sari, mau berangkat ya?" Sapa seorang lelaki tersenyum ke arah Sari.

Sari menoleh ke arah lelaki itu, dan Deg.."Eh iya," Sari menjawab dengan gugup pertanyaan lelaki itu sambil mempercepat langkah kakinya.

"Hati-hati ya Sari, kalau jatuh bangun sendiri ya hehe," Sandi menggoda Sari dengan nada bergurau.

Kali ini jangankan untuk membalas ucapan Sandi, menoleh ke arah Sandi pun Sari tak sanggup, udara pagi ini bahkan seolah sedang menertawakan Sari yang sedang salah tingkah akan gurauan Sandi.

Alamak.. apa gara-gara habis mimpiin dia, pagi-pagi sudah di sapa sama pujaan hatinya, iya siapa lagi kalau bukan Sandi anak tukang warung langganan ibunya itu.

Sari benar-benar gadis polos, baru disapa sedikit saja sudah grogi nggak ketulungan, gimana nanti kalau tiba-tiba beneran ditembak sama si Sandi bisa-bisa langsung pingsan deh.

Bab berikutnya