webnovel

Jebakan Terindah

"Kalian mikir! Dia itu orang kaya. Kalau mau begituan sama aku, masa iya dia milih di kebon orang." Seorang Gadis berteriak pada warga yang ada di depannya. "Intinya, dia ndak akan menikahi aku. Aku sendiri yang akan membayar denda, jang—" "Aku akan menikahi kamu." Laki-laki itu memotong. Sontak saja Si Gadis langsung menoleh. "Eh, Si Kampret. Otakmu kelelep apa?" bisiknya. Cakra, 35 tahun. seorang anak dari pengusaha restoran sukses dituntut oleh kedua orang tuanya agar segera membawakan mereka seorang menantu. Karena tuntutan tersebut Cakra pun pergi ke salah satu kota di Jawa Timur untuk mencari seorang istri sekaligus mengembangkan bisnis restoran di daerah tersebut. Setelah sampai di daerah tersebut, banyak kejadian lucu yang terjadi hingga mendekatkan dirinya dengan seorang gadis bernama Asta. Mereka berdua sering berseteru bahkan berkelahi, hingga takdir membuat mereka harus menikah karena fitnah dari mantan calon suami Asta. Dan ketika Asta merasa insecure karena harus ke Jakarta untuk bertemu dengan sang mertua, ternyata banyak hal tak terduga tentang keluarga Cakra yang membuat dirinya sempat menggeleng tak percaya. Setelah melewati berbagai hal, akhirnya kebahagian pun mulai datang. Namun semua kebahagiaan tersebut kembali terusik ketika cinta pertama Sang Suami datang bahkan masuk ke dalam kehidupan pernikahan mereka. Mampukah Asta mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Cakra menyadari jika kebaikan hatinya adalah malapetaka untuk kisah cintanya sendiri? #ketika kebaikan hati harus mempunyai batas.

Si_Mendhut · perkotaan
Peringkat tidak cukup
15 Chs

Ketiduran

Klak! Handle pintu tersebut bergerak dan sesaat kemudian pintu kamar tersebut terbuka.

"Ada apa?" tanya Asta sembari menatap ke arah ayah dan ibunya dengan aneh.

Kedua orang tersebut pun saling memandang ketika mendapat pertanyaan dari anak gadisnya tersebut.

Dan sesaat kemudian Bu Susi pun menyahut, "Kamu sedang apa?"

Asta pun langsung mengerutkan dahinya. "Inikan kamarku Buk," jawabnya.

"Oh iya Ibuk lupa." Bu Susi menepuk keningnya sambil beralih menatap Pak Ghofur. "Itu Yah, bukannya tadi Ayah bilang mau dibikinkan telur. Kok kita jadi ngobrol di sini toh," imbuhnya lalu berjalan meninggalkan tempat itu begitu saja.

Sedangkan saat ini yang tersisa di sana hanya Asta dan Pak Ghofur. "Ayah, apa ad—"

Belum selesai Asta bicara, Pak Ghofur sudah lebih dulu menoleh ke arah dapur. "Buk, telurnya jangan lupa dikasih sambel," ucap Pak Ghofur sambil berjalan meninggalkan depan kamar Asta.

Asta yang ditinggalkan sendirian pun akhirnya berjalan selangkah keluar dari kamarnya dan langsung menoleh ke arah dapur. "Ada apa dengan mereka," gumamnya sambil menggaruk-garuk pelipisnya.

\*\*

Keesokan harinya.

Seperti kemarin, pagi ini Asta datang ke rumah Cakra sembari membawa masakan dari ibunya. Namun kali ini ia berdandan biasa, tak seperti sebelumnya.

"Hufff ... ke sini lagi," gumam Asta ketika baru saja sampai di halaman rumah tersebut dengan sepeda motornya.

Dan setelah memarkirkan motornya, seperti yang seharusnya, ia pun memberi salam sembari mengetuk pintu rumah tersebut.

"Lah ke mana orangnya," ucap Asta ketika tak terdengar sahutan dari dalam rumah tersebut.

"Apa pergi ya," gumamnya lalu bergeser beberapa langkah untuk bisa mengintip dari kaca jendela rumah itu.

"Eh, ndak kok," ucapnya lagi ketika melihat televisi yang ada di ruang tamu rumah itu menyala.

"Ya udah tungguin aja deh," ucap Asta lagi, kemudian ia berpindah dan duduk di kursi yang ada di teras rumah tersebut.

Sesaat kemudian ia pun meletakkan rantang yang ada di tangannya sembari menguap lebar. "Gara-gara dia nih aku jadi kurang tidur," gerutunya sambil melirik ke arah pintu rumah yang tadi diketuknya.

Lima menit, sepuluh menit Asta terus menunggu di teras rumah tersebut, hingga akhirnya ia pun tertidur di kursi yang didudukinya.

Dan setelah menit ke dua puluh, akhirnya ada seorang laki-laki yang duduk di kursi yang ada di dekatnya dan menatap wajahnya dengan teliti.

"Ternyata cantik juga," gumam laki-laki yang saat ini memandangi wajah Asta yang sedang tertidur pulas.

Hingga sesaat kemudian ....

"Ekkhh!" Asta meregangkan tubuhnya dengan lepas.

Cp-cp-cp! Bibirnya mengecap-ngecap seolah sedang makan sesuatu sembari mulai membuka matanya.

Dan ketika ia menoleh. "Astaghfirullah," ujarnya sambil terhenyak.

Ia terkejut karena melihat Cakra yang saat ini sedang duduk santai di kursi yang ada di dekatnya, sembari menghisap sebatang rokok dengan tenang.

"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Asta sambil mengusap-usap wajahnya yang baru saja bangun tidur itu.

"Cukup lama," jawabnya singkat lalu menatap ke arah Asta. "Ada apa?" tanyanya kemudian.

"He?" Asta terlihat bingung mendengar pertanyaan laki-laki di depannya itu.

Ekspresi bodoh Asta langsung membuat Cakra menatap ke arah lain, menyembunyikan rasa geli di perutnya saat melihat ekspresi polos nan konyol tersebut.

"Apa sih?" tanya Asta lagi sembari menggaruk-garuk pelipisnya.

"Hufff ...."

Helaan napas Cakra terdengar jelas di telinga Asta, hingga ia pun langsung menarik lengan Cakra. "Ada apa, katakan," pintanya.

Cakra pun menoleh kembali ke arah Asta. "Kamu kenapa ke sini dan tidur di sini?"

"Aku ...." Asta memikirkan jawaban dari pertanyaan Cakra tersebut.

'Aku kenapa tidur di sini,' gumamnya di dalam hati dengan mata yang mengedip-ngedip beberapa kali karena masih sangat mengantuk.

Cakra pun kini terus menatap wajah innocent gadis di dekatnya itu. 'Apa dia kurang tidur,' pikirnya ketika melihat dengan jelas kalau Asta tak bisa berkonsentrasi pada apa yang ada di sekitarnya.

Hingga, tiba-tiba ....

"Akh, iya!" teriak Asta sambil berdiri dengan cepat dari kursi yang didudukinya.

Cakra pun ikut terkejut melihat hal itu. "Ck," decaknya.

"Itu, aku datang ke sini karena rantang ini," ujar Asta sembari meletakkan telapak tangannya di atas rantang yang tadi dia letakkan di atas meja.

"Hem ...," gumam Cakra ketika mendengar hal tersebut.

Sebenarnya sebelum Asta mengatakan hal itu, ia sudah lebih dulu menebak tujuan Asta tersebut ketika ia baru sampai di teras rumah itu dan melihat rantang tersebut.

"Kok cuma hem?" Asta.

Lalu Cakra pun menatap lurus wajah Asta. "Sampaikan terima kasihku untuk Bu susi," ujarnya.

"Isss ... bukan itu," sahut Asta.

"Apa?"

"It—" Asta memutus kalimatnya sendiri lalu mengarahkan pandangannya ke halaman rumah dan membulatkan matanya ketika menatap ke arah motornya.

Cakra yang merasa aneh dengan ekspresi gadis di dekatnya itu pun langsung ikut menoleh ke arah apa yang sedang ditatap oleh Asta.

"Kenapa motor kamu?"

"Duh," ucap Asta, kemudian menoleh pada Cakra. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan nada yang seolah sedang mendesak.

Cakra pun mengangkat tangannya setinggi dada dan melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Delapan," jawabnya.

"Kamu itu ke mana saja, aku menunggu kamu hampir setengah jam. Apa kamu—"

"Tunggu." Cakra memotong omelan Asta. "Siapa yang menyuruh kamu menunggu? Aku keluar, joging sejak pagi."

"Joging?" Asta menekan kalimat tanyanya itu.

Sedangkan Cakra hanya diam sembari mengerutkan dahinya ketika mendapat tanggapan seperti itu.

"Kamu tahu, aku itu harus mengantar kue ke toko-toko pagi ini. Dan gara-gara kamu aku ini jadi telat," ujar Asta sembari menunjuk-nunjuk dada Cakra.

"Aku?" Cakra merasa heran dengan ucapan Asta yang menyalahkan dirinya.

"Iya, kamu." tegas Asta sambil menunjuk tepat di tengah dada Cakra. "Gara-gara kamu, aku harus mengantar makanan itu ke sini. Dan gara-gara menunggu kamu juga, aku jadi terlambat begini."

Sesaat kemudian dengan santai Cakra menepis tangan Asta, lalu bangun dan berdiri tepat di depannya.

Jarak yang sangat dekat antar tubuh mereka pun langsung membuat Asta salah tingkah. 'Duh jantung,' batinnya yang merasa dengan jelas kalau saat ini organnya vitalnya itu sedang berdegup kencang.

"Dasar pendek."

Ctak! Cakra menyentil kening Asta yang tinggi badannya hanya sepundaknya itu.

"Auu!" pekik Asta lalu sedikit menunduk sambil mengusap-usap keningnya yang terasa berdenyut.

Sedangkan Cakra kemudian dengan santai berjalan ke arah pintu masuk rumahnya sembari membawa rantang yang diberikan Asta tadi.

"Hei Mas, aku belum selesai," ucap Asta yang kini masih berdiri di tempatnya.

"Pergi sana!"

"Eh, aku diusir?"

Namun bukannya menjawab, Cakra malah berkata. "Jangan lupa, nanti sore kamu ambil lagi rantang ini."

Setelah itu Cakra pun masuk ke dalam dan sesaat kemudian ia begitu saja menutup pintu rumah tersebut, tanpa memperdulikan Asta yang masih ada di teras rumahnya.

"Dasar kodok!" teriak Asta sembari menghentak-hentakkan kakinya karena kesal.

Sedangkan saat ini Cakra sedang tersenyum mendengar makian untuk dirinya itu.