Nanda memutuskan untuk mengunjungi kediaman Nayla dengan maksud membawakannya makan malam atau hanya sekadar camilan belaka. Ia diam-diam mencemaskan kondisi Nayla yang tadi sempat jatuh sakit karena nyeri haidnya berlebih.
Nanda memgambil pesanannya. Ia membeli seporsi martabak manis dan martabak telur. Pikirnya lumayan untuk mengganjal perut. Ibu Nayla pun bisa ikut menikmati. Martabak langganannya itu memiliki cita rasa terenak. Jadi, mereka pasti akan menyukainya.
Nanda tiba dikediaman Nayla setelah selama 15 menit berkendara. Ia memarkirkan motornya tepat di depan rumah Nayla dan segera mengetuk pintunya perlahan.
"Assalamualaikum, Nayla...."
Nanda menunggu hingga pintu itu dibuka. Terdengar sayup-sayup suara dari dalam yang membalas salamnya. Tak lama pintu terbuka dan menampakkan diri Nayla dengan balutan setelan piyama panjangnya.
Nayla menatap Nanda penuh tanya. Agaknya ia sedikit bingung dengan kemunculan Nanda di sana. Tanpa basa-basi ia langsung memutuskan untuk bertanya.
"Lo beneran ke sini?"
Nayla melirik buah tangan yang di bawa Nanda, aromanya begitu menyengat.
"Itu martabak? Lo sengaja bawa itu pas ke sini?"
Nanda mengangguk dan menyerahkan bawaannya pada Nayla. Ia melirik ke dalam rumah Nayla yang baginya terlihat kosong, tak ada orang lain.
"Iya, itu buat lo sama ibu lo. By the way, ibu kemana?"
Nayla menoleh ke belakang dan menujuk ke belakang. "Oh, ibu lagi di belakang. Masuk deh daripada lo diri di situ, ganggu jalan."
Sambil mengikuti Nayla dari belakang, Nanda menyeringai. Mulutnya gatal sekali ingin segera meledek gadis di depannya.
"Ganggu jalan atau ganggu hati lo, Nay?"
Nayla berhenti dan berbalik. Ia berniat memukul bahu Nanda. Akan tetapi niat tinggallah niat karena Nayla malah terpaku melihat senyum Nanda yang sudah tak lagi menjengkelkan. Senyum itu terlihat tulus dan begitu memikat hatinya. Tanpa berkata dan melancarkan niatnya, ia lebih memilih berjalan lebih cepat mendekati sang ibu.
"Bu, ada temen Nayla main. Gak apa-apa 'kan bu?"
Ibu Nayla menoleh. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Iya gak apa-apa. Asal jangan sampai terlalu malam ya. Ini sudah setengah sembilan. Gak enak kalau dilihat tetangga. Paham kan kalian?"
"Pasti kok bu. Saya akan pulang sejam lagi. Saya ke sini mau menengok Nayla aja, tadi siang dia pingsan soalnya. Sekalian saya juga bawain martabak buat ibu sama Nay."
"Aduh kamu repot-repot. Makasi ya nak."
"Gak masalah bu. Dimakan ya bu martabaknya."
"Pasti. Kalian ngobrol aja di depan biar enak. Ibu masih lama."
Nanda mengangguk dan mengikuti Nayla lagi ke depan. Sebelumnya Nayla sudah membuatkan minum untuk Nanda dan membawanya lebih dulu ke depan. "Diminum dulu, dingin 'kan diluar gerimis juga."
"Ciee perhatian."
Nayla mendengkus, "Bukannya lo yang perhatian ke gue? Sampe lo mau repot beli beginian dan kesini di jam-jam segini."
"Haha.... Gimana belajar lo buat olimpiade?"
Nayla memutar bola matanya jengah. "Bisa aja lo ngalihin pembicaraan. Pembelajaran gue berlangsung baik-baik aja. Cuma ya kadang masih ada beberapa bagian yang gue masih bingung."
"Lo kenapa gak bilang gue? Tanya aja kalo emang ada yang bingung. Lo kan partner gue, kalo lo gak bisa ya nanti ujungnya gue juga yang repot."
"Apa an sih lo. Gue gak sementok itu buat cari tahu caranya kali."
"Nah, terus? Kenapa lo bingung? Kenapa lo cerita begitu ke gue? Bukannya biar dapet attention dari gue?" tanya Nanda memojokkan Nayla.
"Ih pede banget lo. Kaya gue suka aja sama lo makanya caper."celetuk Nayla dengan tangan yang ia lipat di dada.
Nanda terkekeh dan melirik Nayla yang semakin tampak sebal dan Nanda semakin senang melihat reaksinya. "Jujur aja sih. Siapa emang perempuan di sekolah yang gak kesengsem sama seorang Nanda? Selain gue ini ganteng, gue juga pinter, suka menang olimpiade... Yah, lo tau lah fakta gue yang itu. Ya gak?"
Nayla menoleh dengan alis bertaut. Ia jadi ikut terpancing emosi. "Ih! Gila ya, kok gue bisa deket sama manusia macem lo gini? Iih tingkat PD nya ngalahin jarak bumi ke langit, tahu?"
Nanda tertawa terbahak. Ia memenepuk kepala Nayla tiga kali. Terbayang sudah raut wajah Nayla berubah dari yang sebal menjadi tenang. Tenang di sini bukan tenang yang seperti sedang diam, akan tetapi ini tenang yang lebih kepada zoned out atau bingung harus bagaimana mengekspresikan diri.
"Coba kondisikan itu muka. Hahaha, baper deh nih...."
"Iih! Nanda!"
"Haha, oke oke. Gue diem ni. Udah jangan manyun manyun gitu. Entar ibu ke sini loh."
"Biar aja ibu ke sini. Nanti gue aduin lo ke ibu udah ngeledek gue mulu."
"Aih, galaknya. Licik nih mainnya adu-adu an begitu ah. Nanti kalo gue gak dibolehin ibu main ke sini lagi gimana? Lo bakal kangen perhatian gue lagi loh. Gue kan gak banyak mulut. Gue niat ya gue dateng. Jarang nih laki macem gue."
Nayla merubah ekspresi wajahnya menjadi seram dan Nanda sontak diam. Rasanya tak berani memancing keributan dengan Nayla. "Heh, Nanda. Gue akui lo emang ganteng dan pinter keblinger. Tapi kalo lo cuma bisa mainin perasaan cewek, lo gak ada bedanya sama cowok brengsek. Tau lo?"
Jleb. Ucapan Nayla menusuk sekali untuk nanda. Ia melirik Nayla yang memang serius dengan ucapannya. Meski ragu, ia memberanikan diri bertanya.
"Emangnya lo ada rasa ke gue? Sampe bisa bilang begitu?"
"Mau gue ada rasa atau gak, itu bukan urusan lo kan? Gue cuma mau kasih saran aja ke lo. Kalo lo gak ada rasa ya jangan sekali-kalinya lo bersikap sebaliknya. Lo cuma bakal bikin orang lain ngejauhin lo doang."
"Jadi, kemarin-kemarin lo jauhin gue karena ini? Lo beneran ada rasa ke gue? Bukannya dari awal lo yang mulai permainan ini?"
Nayla tertegun. Ia terbelit dengan kata-katanya sendiri. Mutnya seolah terkunci. Nanda memang paling pandai berkata-kata seperti ini. Nayla menatap pasang jelaga itu dengan intens.
"Lo mau jawaban jujur atau bohong?"
Nanda menelan air liurnya. Ia balas menatap mata Nayla yang tak bergetar sama sekali. Itu menandakan Nayla tak sedang bergurau. Baru saja ia ingin membuka mulut, suara ibu Nayla hadir menginterupsi.
"Loh kenapa hening sekali? Kalian gak lagi marahan kan?"
"Oh enggak kok bu. Kita lagi bahas materi yang susah."
"Bahas pelajaran? Tanpa buku?"
"Ah, kami searching bu lewat ponsel. Saya ke sini juga gak bawa buku. Jadi kita belajarnya pake ponsel."
"Oh gitu. Yaudah. Kamu udah makan belum? Kalau belum, makan dulu sebelum pulang."
"Iya bu, lihat nanti aja. Kalau saya kerasa lapar saya makan."
"Yauda. Ibu tinggal ya. Nay, ibu ke kamar duluan ya. Ibu mau merebah, punggung ibu sakit."
"Iya, bu. Nanti Nay masuk pijitin ibu kalau teman Nay udah pulang."
Ibu Nayla kembali masuk dan kini situasinya malah tampak canggung. Namun, dari pada berlarut lama, Nayla memutuskan untuk mengakhiri saja obrolan itu.
"Gak usah dipikirin omongan gue tadi. Lo mau makan gak? Ibu masakannya enak loh."
"Oh ya? Boleh deh."
Dan mereka berdua makan bersama dalam diam. Tak ada banyak obrolan penting selain hanya basa-basi belaka. Obrolan mereka tentang perasaan itu berakhir di sana.