Dewi melirik ke arah arloji di pergelangan tangan kanannya. Sudah pukul 14.10, itu artinya ia sudah bisa pulang. Terlebih dia ada janji akan bertemu ayahnya di rumah. Dia kemudian mencoba menelepon ayahnya.
"Halo, yah?"
"Iya, kamu sudah mau pulang belum?"
"Iya, ini mau pulang. Ayah belum berangkat ke bandara kan?"
"Belum, masih lama kok. Ya udah ayah tunggu sekarang ya"
"Iya, ini Dewi pulang sekarang"
"Hati-hati"
Dewi menutup teleponnya. Ia mengambil tasnya dan berjalan keluar kantor. Tidak sampai setengah jam dia sudah sampai di rumahnya. Rumah megah bernuansa klasik macam peninggalan Belanda namun dipadu dengan aksesorrys modern. Nampak ada seorang penjaga membukakan pintu gerbang untuk Dewi.
"Disini kan ada banyak mobil, tapi kenapa non Dewi malah milih berangkat kerja naik motor?" ledek Pak Muklis, sekuriti yang membukakan gerbang barusan.
"Ribet kalau pake mobil, pak. Kalau motor kan bisa sat-set," jawab Dewi sambil membuka helm.
"Iya juga ya…," jawab Pak Muklis sambil manggut-manggut.
"Oiya, ayah dimana pak?"
"Ada itu, masih siap-siap di dalam sepertinya."
"Oh, ya sudah. Dewi masuk dulu ya, Pak Muklis."
"Siap, non!"
Dewi masuk ke rumahnya yang besar itu. Jaket dan tasnya ia taruh di dalam kamar. Kemudian dia menyusuri ruang demi ruang untuk mencari ayahnya. Namun ia tak menemukannya di ruang manapun. Itu artinya, sang ayah pasti sedang berada di laboratorium pribadi miliknya yang ada di lantai atas.
Benar saja, Prof. Iskandar, sang ayah, sedang asyik di depan peralatannya di ruang laboratorium pribadinya.
"Lho, ayah kok malah disini? Belum siap-siap?" tanya Dewi.
"Sssstt, diem dulu…" pinta Profesor Iskandar dengan wajah serius.
Dewi menurut, ia ikut menyaksikan apa yang dilakukan ayahnya. Nampak sang professor sedang menulis ratusan rumus yang Dewi sendiri tak tahu apa itu.
"Ayah udah packing kok," sambung sang ayah sambil tetap menulis di kertas.
"Memangnya ayah ke Tokyo ngapain si?"
"Rahasia"
"Hmmm, sama anaknya pake main rahasia segala…"
"Pokoknya ayah sedang ada proyek besar dengan ilmuwan-ilmuwan Jepang sana, untuk membuat mesin yang… Ah, nanti malah ayah bocorin lagi. Pokoknya nanti kalau sudah jadi, pasti ayah bakal cerita."
Di saat sang ayah asyik bercerita, tiba-tiba Genta, asisten Prof. Iskandar, muncul.
"Prof, udah waktunya ke bandara"
Dewi dan Prof. Iskandar menoleh ke arah suara secara bersamaan.
"Tuh, udah dipanggil Genta. Buruan nanti ketinggalan pesawat lho, yah."
"Iyaa, kamu tunggu dulu di mobil ya Genta," pinta Prof. Iskandar.
"Siap, prof!"
Genta keluar ruangan, dan Prof. Iskandar menghentikan aktifitasnya.
"Genta ikut sama ayah kan?"
"Ya jelas ikut dong, kalau ngga nanti siapa yang jadi asisten ayah selama disana? Dia itu sedang ayah kader jadi penerus ayah, Dewi."
"Emang bisa dia?"
"Eh, jangan ngeremehin kamu. Banyak lho yang bilang, kalau dia itu jenius, berbakat. Pokoknya apa aja ilmu yang ayah punya, bakal tak teruskan ke dia. Supaya ilmu ini ngga terputus di ayah aja"
"Kenapa ngga ke Dewi aja?"
"Lah, gimana mau ayah ajari, wong kamu kuliah aja malah ambil jurusan ekonomi. Mana bisa masuk nanti? Malah sekarang kerja di tempat ngga jelas begitu…"
"Idih, ngga jelas gimana yah? Jelas-jelas Dewi kerja di surat kabar online kan?"
"Iyaa, ayah tahu. Tapi gajimu berapa? Coba bandingkan sama Genta tuh…"
"Hmmm, ayah ini, bukannya Dewi disupport malah dikata-katain begitu"
"Ya habisnya ayah kecewa. Mestinya kamu yang ada di posisi Genta sekarang, biar kamu yang selalu menemani ayah kemana-mana"
Dewi tertegun. Ada benarnya juga apa yang diucapkan ayahnya. Dia paham kalau memang dari awal ayahnya ingin dia meneruskan pekerjaannya sebagai ilmuwan. Tapi dia malah memilih kerja di sebuah kantor kecil di sebuah suratkabar online.
Jarang-jarang ia bisa ngobrol serius seperti ini dengan sang ayah. Jangankan ngobrol serius, bertemu saja bisa dihitung dengan jari, mengingat sibuknya Prof. Iskandar. Genta kemudian datang lagi, mengingatkan Profesor sekali lagi untuk segera berangkat.
"Ya udah, kamu jaga diri ya di rumah," pinta Prof. Iskandar sambil berpamitan.
"Ayah ini, kaya baru pertama aja Dewi ditinggal. Biasanya juga langsung pergi"
"Jangan lupa, telepon ayah kalau ada apa-apa"
"Iyaa, siap yah. Eh, Genta! Nitip ayahku ya"
"Pastinya," jawab Genta mantap.
Dewi mengantar mereka hingga pintu gerbang. Mang Udin, driver pribadi Prof. Iskandar, sudah siap di samping mobil dan membukakan pintu untuk professor. Tak lama kemudian mereka berdua berangkat, dan Dewi lantas masuk ke rumahnya yang besar itu.