"Balik ke kamarmu," perintah Andres setelah Zizi kembali.
Zizi sedikit kecewa mendapatinya kukuh menyuruhnya pergi.
"Tidak mau."
Zizi meringsek naik ke tampat tidur. Andres bersin lagi. Tangannya menarik tisu di sampingnya lalu mengusap hidungnya. Pangkal hidungnya berwarna merah muda cenderung gelap.
Andres mengumpat lemah, "keras kepala."
"Kamu sudah makan?" Tanya Zizi.
"Sudah."
"Minum obat?" Tanyanya lagi.
Dia bersin dulu sebelum menjawab, "sudah."
"Temanmu sudah datang?"
Andres menggeleng. "Dia tidak bisa dihubungi. Mungkin dia marah."
"Mengapa tidak memanggil dokter lain saja?"
Andres bersin lagi. "Nanti juga sembuh sendiri."
Zizi mendesah. "Kamu kedinginan?"
Andres tidak menjawab. Zizi tidak berani bergerak. Dia hanya memandanginya dari tempatnya duduk yang berjarak empat hingga lima jengkal. Zizi mendengar suara bersinnya lagi.
"Balik saja ke kamarmu. Aku mau istirahat."
Zizi merasa kecewa mendengarnya.
"Aku mau tidur di sini."
"Kamu punya kamar sendiri."
Tarikan napasnya terasa ngilu. Andres menolaknya.
"Aku tidak suka ada orang di kamarku."
Zizi menatap mata yang tidak berani menatap matanya selama beberapa detik. Dia kemudian menghela napas. Zizi memberinya ciuman di pipinya sebelum turun dari tempat tidur.
"HALOOOUUU... OLAAAA... ANDRESSS... HONEEEEY... GANTEEEENGG... CINTAAA... SAYAAANG... BEIIIIBBBHH... KAMI DATAAANG... "
Suara gaduh dan penuh canda tawa terdengar berbarengan dengan bunyi derap kaki yang mendekat. Tubuh Zizi merapat ke dinding di belakangnya ketika melihat gerombolan pria bertubuh kekar dan beberapa perempuan, Zizi meralatnya, mereka bukan perempuan tapi waria, masuk ke dalam kamar Andres.
"SURPRISE!!!" Teriak mereka berbarengan.
Zizi melihatnya. Zizi melihatnya dengan jelas dengan mata kepalanya sendiri pria-pria itu berebutan mencium Andres, merangkulnya, memeluknya. Selimutnya hilang entah kemana. Syal yang melilit lehernya juga lenyap digantikan rangkulan tangan dan kepala yang menciumi lehernya. Tatapan mereka bertemu. Hanya dua detik. Hanya dua detik karena kepala Andres tertarik ke belakang. Tubuhnya limbung dipeluk pria lainnya. Dada Zizi bergemuruh. Dia diliputi ketakutan. Tiba-tiba muncul bayangan pria-pria itu memperkosa Andres di depan matanya.
"HENTIKAAAAN!!!" Teriakannya menggema ke seluruh ruangan.
Belasan pasang mata itu memagarinya lalu menusuknya dengan tajam.
Zizi menelan ludah. "Dia sakit. Kalian bisa membunuhnya."
Zizi melihat Andres menghembuskan napasnya lewat mulutnya.
"Sapose dese?" seorang waria yang duduk dipinggiran kasur menunjukkan kekesalan dan rasa tidak sukanya padanya.
Suara-suara terdengar lagi. Zizi sudah tidak jadi sorotan. Mereka telah berpindah pada Andres lagi. Sentuhan mereka tidak seekstrim tadi. Tapi gelegar canda tawanya tetap memenuhi ruangan. Ya, Tuhan.
"Hai." Seorang laki-laki berdiri mendekat padanya dengan tangan terulur.
"Aku Reino." Laki-laki itu menyebutkan namanya sambil tersenyum manis padanya.
Di antara semua teman Andres hanya dia yang tidak melempar tubuhnya ke atas tempat tidur dan menggerayangi tubuhnya. Dia tetap berdiri di samping tempat tidur. Zizi menerima uluran tangannya.
"Zizi." Jawabnya sambil membalas senyum manis itu.
Zizi harus mengakui dia tampan. Dia lebih muda darinya dan mungkin seumuran Betrand. Dia tipe cowok lokal yang sempurna. Tinggi. Kulit putih. Hidung mancung. Seandainya dia belum bertemu Andres dan umurnya seumuran Betrand, dia mungkin akan jatuh cinta padanya sekarang.
"REI! LEPASKAN TANGANNYA!!!"
Zizi dan Rei menoleh dan berbalik pada Andres. Sangat cepat. Zizi melihat Andres melepaskan rangkulan di tubuhnya, melompat di atas kasur, lalu tangan kanannya menonjok wajah Rei. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Genggaman tangannya pada tangan Zizi terlepas. Lalu terdengar bunyi bersamaan dengan tubuh Rei terhempas di atas lantai. Andres meloncat ke arahnya. Dia menonjok wajahnya lagi dan lagi. Andres berhenti ketika tubuhnya ditarik beberapa pria. Beberapa pria lainnya mengerumuni Rei, membantunya duduk. Wajahnya penuh darah. Zizi bernapas lega ketika melihatnya menggerakkan kepalanya. Jika Rei meninggal, Andres akan menjadi seorang pembunuh. Zizi tidak mau pria itu menjadi seorang pembunuh.
Zizi merasakan pelukan di tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya dingin sedang yang lain hangat.
"Jangan takut," bisiknya lalu mencium pipinya lama sambil memeluknya lebih erat. Beberapa detik kemudian Andres bersin-bersin lagi.
***
Dika bangun dengan kepala pusing. Dia menemukan dirinya berbaring di atas sofa di kamar pribadinya di rumah sakit. Dia masih memakai baju yang sama tadi pagi. Kemarin. Sekarang sudah jam 3 pagi lewat di hari berikutnya. Dika membasuh wajahnya kemudian ke luar kamar. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti di depan kamar inap gadis itu. Ada kilatan cahaya dari kamar yang temaram itu. Dika membuka pintu perlahan. Dia menatap wajah gadis itu yang tertidur pulas. Seulas senyum tertarik di bibirnya. Dia merasa lega gadis itu bisa tidur dengan nyenyak. Di dalam hatinya dia berdoa semoga gadis itu bermimpi sesuatu yang indah. Dika memperbaiki selimutnya dengan tarikan yang pelan. Dia lalu mematikan TV dengan remote yang berada di sisi gadis itu. Dika ingin mengucapkan kata maaf lagi, tapi dia mengurungkan niatnya agar tidak membangunkannya. Dia menatap wajahnya lagi yang semakin samar karena kamarnya yang hanya disinari lampu tidur kemudian meninggalkan kamar itu.
Banyak sekali pesan yang masuk di akun sosial media, email, sampai kotak masuk sms. Dika beralih ke atas tempat tidur dan membukanya satu persatu. Dia mendesah panjang sambil memejamkan matanya. Hidupnya semakin berantakan. Andres memutus hubungan persahabatan mereka. Dia melarangnya menghubunginya apalagi sampai mengganggu hidupnya lagi. Dika mencoba menghubunginya, nomornya diblokir. Dika mengumpat marah dan putus asa. Dia menyesal merencanakan pembalasan dendam itu. Harusnya tidak akan berakhir tragis seperti ini. Harusnya Andres hanya kesal melihat teman-teman prianya di tempat fitness tiba-tiba datang ke rumahnya dan mengganggu waktu berduaannya dengan kekasihnya. Dika lupa memberi tahu tentang gadis itu dan memberi teman-temannya peringatan untuk tidak menatap, berbicara apalagi sampai menyentuhnya.
Dika mendesah. Dia teledor lagi. Kali ini adik sepupunya yang kena imbasnya. Di foto dan video yang dibagikan teman-temannya, wajah Rei hancur. Dia lalu membuka pesan yang lain dari keluarganya. Dia merasa gagal sebagai seorang sahabat. Dia gagal sebagai seorang kakak, sebagai seorang sepupu, sebagai seorang anak, dan sebagai seorang keponakan. Dia merasa gagal sebagai seorang dokter yang harusnya membantu menyembuhkan orang lain bukan membuat celaka orang lain, membuat orang lain kehilangan kedua kakinya. Dia merasa gagal sebagai seorang pria. Dia merasa gagal sebagai seorang manusia. Dia telah menemukan dirinya berdiri di depan kaca jendela lagi. Dia bertanya pada dirinya sendiri, lebih tepatnya memberi tahu pada dirinya sendiri, bahwa ini sudah saatnya dia mengakhirinya.
Tak butuh waktu lama, Dika sudah menyelesaikan surat-surat wasiatnya. Surat untuk orang tuanya, surat untuk Andres, surat untuk gadis itu, dan surat untuk kucing kesayangannya. Dia menaruh surat-surat itu di atas meja. Dika mandi, berganti baju, menyisir rapi rambutnya, dan menyemprotkan parfumnya. Dika berniat untuk melihat gadis itu terakhir kali sebelum dia melompat dari atap bangunan utama rumah sakit. Dia yakin dengan jatuh dari ketinggian gedung 22 lantai, dia hanya akan merasa sakit sebentar. Dia sebenarnya tidak peduli apakah nanti akan merasakan sakit sebentar atau lama. Saat ini dia sudah kesakitan. Dia hanya ingin mengakhirinya lebih cepat.