"Buntu!" Tegas Maya dan Liz hampir serentak.
"Aku juga." Aku berhenti sejenak, "Tapi mungkin aku mendapatkan sesuatu."
"Benarkah?" Tanya Maya yang kini terlihat senang.
Aku mengangguk. "Jika itu adalah mitos atau bahkan legenda, maka hanya orang-orang tua lah yang mengerti atau paham dengan cerita itu."
"Maksudmu?" Tanya Maya.
"Intinya, kita hanya harus bertanya pada tetua di Benteng Baja ini."
"Di mana?" Tanya Liz.
"Ah, soal itu," Aku tersenyum bodoh, "Aku baru mau mencarinya."
"Woi!" Mereka berdua memasang wajah yang sama, yaitu wajah kesal.
Setelah percakapan itu, Maya memutuskan untuk kembali ke tokonya, karena setelah penaklukan di Area tiga, banyak player yang ingin mengupgrade perlengkapan mereka, khususnya tim penyerbu yang tahu, jika perlengkapan mereka masih sama saat nanti melawan Boss Area empat, maka hal buruk akan terjadi kepada mereka.
Saat matahari akhirnya tenggelam dan di gantikan oleh bulan, aku dan Liz berjalan-jalan di Area empat yang merupakan sebuah benteng raksasa yang terbuat dari baja berwarna hitam legam.
Sejujurnya memang aneh mencari seorang sesepuh atau tetua di malam hari, karena mau bagaimana pun, orang lanjut usia biasanya akan tetap di dalam rumah mereka saat malam hari.
"Apa kita akan terus melanjutkan pencariannya, Zack?" Tanya Liz, yang berjalan di samping kiriku.
"Oh, apa kau ada hal lain yang harus di lakukan, Liz?" Tanyaku.
"Tidak ada, tapi... Aku mau suasananya di ganti."
Aku langsung menoleh ke arah Liz, "Ha? Apa maksudnya?"
"Zack, apa kau pernah berkencan sebelumnya?"
Aku tertawa bodoh saat mendengar pertanyaan Liz. "Sayangnya sampai sekarang aku belum pernah pacaran."
"Eh? Homo?"
"Tentu saja tidak! Walau aku belum pernah pacaran, tapi aku ini normal, tahu!"
"Lalu, kenapa kau belum pernah pacaran?"
Aku menggeleng, "Aku juga tidak tahu."
"Hmm. Pernah mencoba?"
"Belum."
"Pernah dekat dengan perempuan?"
"Pernah."
"Oh."
"Kenapa kau menanyakan hal-hal itu padaku?"
"Tidak, hanya ingin tahu saja."
"Oh."
Suara langkah kaki kami di malam hari terdengar sangat nyaring, bahkan suara hewan liar terdengar seperti musik latar dari suasana ini.
Bukannya aku tidak mengerti kenapa Liz bertanya hal-hal itu padaku, hanya saja aku bingung harus menanggapinya bagaimana. Selama aku hidup, aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya berpacaran dengan seseorang. Lagian, perempuan mana yang menyukai seseorang yang menghabiskan waktunya di dalam kamar sambil menonton anime atau bermain game. Bahkan jika aku harus berpacaran dengan seseorang, aku tidak tahu harus melakukan apa, karena satu-satunya pengalaman romantis yang aku punya adalah pengalaman yang aku dapat dari menonton anime atau bermain game visual novel.
Sungguh menjijikan memang hidupku, maka saat aku sadar perasaan seseorang padaku, aku selalu mencoba untuk menjauh.
"Zack." Suara Liz terdengar sangat lemah, bahkan jika harus mengatakannya, suaranya terdengar mendesah lemah.
"Apa?"
"Aku rasa... Aku me-"
"Gawat!" Kataku.
"Apa?"
"Kemungkinan besar quest yang mungkin merupakan event ini akan berakhir nanti jam dua belas malam."
"Eh? Kenapa?"
Pengalihan sukses besar.
"Dulu, aku pernah bermain game MMORPG, dan saat memasuki Area baru, tiba-tiba aku mendapatkan quest aneh, dan quest itu berakhir tepat jam dua belas malam."
"Eh? Jadi kita harus bagaimana?"
"Berpencar! Kita cari seseorang yang terlihat seperti tetua atau sesepuh."
"Oke!"
Aku memang orang biadab karena mengabaikan perasaan seorang perempuan, tapi semua itu aku lakukan untuk kebaikan Liz. Kemungkinan besar alasan kenapa Liz jadi suka padaku adalah karena aku pernah melindunginya. Jika kejadian itu tidak pernah terjadi, aku yakin seratus persen Liz tidak akan pernah memiliki perasaan semacam itu padaku.
Ada rasa ingin memiliki seseorang yang special di hatiku, tapi aku tidak berani melakukannya, atau bahkan karena aku tidak diberi banyak pilihan, maka aku selalu memilih untuk menyendiri. Hidup ini keras, maka saat kau lunak, maka kau hanya akan hancur tidak tersisa. Maka dari itu aku selalu menguatkan hatiku, selalu berkonsultasi dengan logika dari pada dengan hati, karena hati hanya akan memberiku pilihan lunak yang akhirnya hanya akan membuatku merasa sakit. Logika ku berkata untuk berhenti, tapi hati selalu berkata untuk maju, dan pada akhirnya karena aku mengikuti kata hatiku, aku tersakiti.
Bukannya aku tidak pernah berusaha untuk mendapatkan pacar, tapi saat aku berusaha melakukan hal itu, entah kenapa yang menyukaiku malah perempuan yang bukan incaranku. Walau pun aku harusnya sadar rasanya di campakam itu bagaimana, tapi aku tetap mencampakan perempuan yang menyukaiku.
Maka, sebelum Liz mengucapkan kata terlarang itu, aku lebih memilih untuk melarikan diri.
"Zack?" Suara selembut salju dan seringan kapas, tapi hawa dinginnya sangat tajam setajam es.
"Yuki. Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" Tanyaku.
"Aku suka suasana sepi seperti ini. Bagaimana denganmu?"
"Ah, aku sedang menjalankan quest aneh ini."
"Oh, quest yang tiba-tiba muncul saat kita sampai di Area empat ya?"
"Iya."
"Ada apa?" Yuki menatap wajah ku dengan tajam. "Kenapa wajahmu memerah? Dan juga kenapa kau cengar-cengir seperti itu? Asal kau tahu saja, jika bukan aku, mereka pasti akan menganggapmu menjijikan."
Aku langsung menutupi mulut dan hidungku dengan tangan kiriku. Aku masih belum bisa mengendalikan ekspresiku. Jujur saja aku sangat senang saat tahu kalau Liz menyukaiku, tapi karena aku yang tidak berpengalaman dan tidak mau mencari pengalaman ini, aku berakhir menjadi seseorang yang berkhayal hal-hal aneh.
"Tidak ada. Mungkin karena efek dingin di malam hari."
"Memangnya bisa begitu ya?"
"Aku juga tidak tahu."
Tunggu dulu! Bukankah ini adalah game? Bukankah tubuh ini hanyalah kumpulan data? Lalu kenapa kumpulan data yang membentuk wajah ini bisa memerah karena saking senangnya? Sialan!
Yuki menghembuskan napasnya dan berbalik, "Sepertinya kau sedang bersenang-senang dengan sesuatu." Kemudian Yuki berlalu begitu saja.
Rambut putih panjangnya yang menari bersama angin memang mempesona, di tambah kulit putih dan armor ringannya yang memperlihatkan tangan serta kaki nya membuatku tidak kuasa untuk menolak pemikiran untuk tidak menatapnya.
Saat aku sedang menatap sosok Yuki yang kian menjauh, suara ledakan atau lebih tepatnya suara besi, tidak! Suara baja saling beradu terdengar jauh di depanku.
Yuki memutar tubuhnya dan menatapku, "Mau lihat? Mungkin petunjuk untuk questnya."
Aku mengangguk, "Iya."
Saat kami sampai di mana suara itu berasal, yaitu gerbang utama Benteng Baja ini. Seekor Minotaur dengan dua tanduk berwarna hitam legamnya sedang mengamuk dan membunuh banyak Prajurit NPC di Area empat.
Minotaur itu kira-kira setinggi tiga meter. Tanduknya yang besar dan melengkung ke bawah serta berwarna hitam itu, jelas-jelas terlihat mengerikan, kemungkinan besar tanduk itu terbuat dari baja. Lalu palu raksasa yang di pegangnya benar-benar mengerikan, aku yakin levelnya lebih dari empat puluh.
Saat aku dan Yuki tiba, sudah ada beberapa player di sekitar sini. Jumlahnya sangat sedikit, karena kebanyakan player sudah tidur karena kelelahan setelah banyak bertarung untuk menaikan level atau sekadar mencari koin emas.
"Gawat!" Yuki menarik pedangnya, "Player yang ada di sini bukan dari tim penyerbu."
"Ha? Dari mana kau tahu?" Tanyaku.
"Perlengkapan mereka bukan perlengkapan yang kuat."
"Dari mana kau tahu?"
"Tck!" Yuki menatapku dengan mata kesal, "Skill pengamatanku, membuatku bisa melihat level perlengkapan Monster maupun player!"
"Yah, seharusnya kau tidak perlu marah. Mana aku tahu kau punya skill semacam itu."
"Ah," Yuki tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya, lalu membungkuk padaku, "Maafkan aku, aku yang salah."
Eh? Perempuan? Minta maaf? Serius? Apa sebentar lagi dunia FWO akan hancur?
"Yah, aku juga minta maaf."
"Soal itu bisa kita bicarakan nanti, kita harus mengalahkan Monster itu dulu!"
"Iya."
Yuki melompat ke salah satu gedung tinggi, kemudian berkata dengan keras, "Monster ini memiliki Level yang tinggi! Yang perlengkapannya di bawah level empat puluh, sebaiknya berlindung!"
"Serius?"
"Sialan!"
"Kenapa Monster bisa menyerang ke Safe Zone sih?"
Benar juga! Ini sangat aneh. Kenapa Monster bisa masuk ke Safe Zone? Tunggu! Apa benar tempat ini adalah Safe Zone? Jika ini adalah Safe Zone, seharusnya tidak perlu membangun Benteng dari baja ini. Jika di pikir lagi, mungkin benteng ini memang benar-benar berfungsi untuk menahan Monster, karena dari awal tempat ini bukanlah Safe Zone.
Sial!
Aku menghunuskan pedang hitam ku dan memakai perisaiku, lalu langsung menyiapkan kuda-kuda.
Sepertinya Minotaur itu menganggap gerakan ku sebagai tantangan, dan dia mulai berlari ke arahku.
Sial! Siapa juga yang mau menantang makhluk setengah-setengah sepertinya.
Minotaur itu mengayunkan palu raksasanya tepat ke kepalaku. Aku menahannya dengan perisaiku dan menimbulkan percikan api serta suara yang nyaring.
"Gah!"
Sakit! Tangan dan rusuk kiriku sakit!
Apa? HPku berkurang dua puluh persen?
Aku menebaskan pedangku tepat ke perutnya dan mengurangi lima persen HPnya. Tiba-tiba sebuah palu raksasa lainnya muncul di tangan kirinya dan menghantam tepat ke dadaku.
"Akh!"
Aku terpental sejauh dua meter. Napasku pun sesak.
Ha? Lima puluh persen?
Jika terkena satu kali combonya saja, aku bisa mati. Berapa sih level Monster itu? Aku level lima puluh, tapi serangannya benar-benar menghancurkanku.
"Zack, kau baik-baik saja?"
"Iya... Eh, Liz?"
Liz menarik pelatuknya dan peluru snipernya tepat mengenai tanduk bajanya, yang menghasikan suara nyaring.
"Eh? Tanduk itu terbuat dari apa sih?"
"Liz, kemungkinan tanduk itulah yang membuatnya bisa masuk ke kemari."
"Maksudmu tanduk itu bisa menolak Safe Zone?"
"Bukan! Karena menurutku, dari awal tempat ini bukanlah Safe Zone. Itulah gunanya Benteng Baja ini."
"Tapi setting- kau benar!"
"Ha?"
Liz menunjuk ke pintu utama Benteng Baja ini. Puluhan atau bahkan ratusan Monster kroco menyerbu masuk.
Gawat! Tempat ini berbahaya. Dan di saat genting seperti ini, tim penyerbu kemungkinan besar tidak bisa di hubungi, karena mereka pasti mengaktifkan mode silent di kamar mereka.
Sial!
"Zack, kau punya ide?" Liz sekali lagi menembakan pelurunya dan menembus dada Minotaur itu.
"Aku tidak tahu. Satu-satunya jalan adalah la-"
"Jangan!" Yuki berteriak keras dari atas gedung.
"Eh?"
"Apa kau ingin selamat sendirian saat orang-orang lain tidur? Ada kemungkinan kalau Minotaur ini juga bisa menghancurkan penginapan."
Dia benar. Sebuah serangan besar bisa menghancurkan sebuah gedung. Aku tahu karena aku sendiri yang mengalaminya. Serangan besarku saat melawan sekelompok bounty hunter itu, jika aku melepaskannya sekarang, aku yakin hanya dalam satu kali serangan makhluk itu akan mati.
"Yuki, Liz! Aku ingin kalian mengulur waktu selama sepuluh detik saja."
"Aku mengandalkanmu, Zack!" Puluhan jarum es terbentuk di belakang Yuki.
"Harus berhasil, Zack!" Liz menargetkan Minotaur itu, lalu puluhan lingkaran berdiameter sekitar satu meter terbentuk di belakang Liz.
Mereka semua sudah berkembang.
Aku hanya harus mengaktifkan Ability Berserker, skill penajam pedang, skill penguat, skill tebasan udara, dan skill percepatan.
Setelah aku mengaktifkan semua itu, aku bisa merasakan panas mulai menyelimuti diriku, dan udara panas mulai keluar dari tubuhku. Asap pun mulai keluar dan saat itu terjadi, aku langsung menaruh perisaiku dan menggatinya dengan pedang naga hitam lainnya.
Lima detik lagi, skill gabungan ini akan aktif.
Puluhan jarum es menghujani tubuh si Minotaur, bersamaan dengan peluru tajam sniper yang memberondongnya.
"Haaaaaa!!!"
Aku menebaskan kedua pedangku membentuk X, dan sama seperti sebelumnya, sebuah cahaya putih berbentuk X melesat ke arah Si Minotaur dan membelahnya jadi empat bagian. Karena semakin jauh jaraknya, maka cahaya X itu akan semakin besar, cahaya X itu melesat tepat ke arah pintu utama yang rusak dan membunuh ratusan Monster yang memaksa masuk.
Aku langsung terjatuh setelah seluruh skill dan abilitynya habis.
"Zack, kau tidak apa?" Liz berlari ke arahku dan langsung menopang tubuhku.
"Iya, aku hanya terkena efek lelah level dua."
"Skill tadi sangat luar biasa, tapi menyedot banyak sekali stamina ya?"
"Iya."
"Lihat! Bahkan ratusan Monster di depan gerbang tadi mati begitu saja saat cahaya X tadi melewati mereka."
Aku tersenyum kecil, "Yah, harganya sepadan."
Suara langkah kaki Yuki yang pelan itu terdengar seperti langkah kaki seorang Assasin. Dia berdiri di samping kananku dan tersenyum. "Kau benar-benar bertambah kuat ya, Zack?"
"Yah, begitulah."
"Pahlawan."
Kami langsung membalikan kepala kami dan melihat seorang Kakek tua yang menggunakan pakaian aneh. Entah apa aku harus menyebutnya, tapi aneh adalah hal yang pertama ada di pikiranku. Ada sebuah cangklong berwarna coklat di bibirnya.
"Umm... Siapa?" Kami menanyakan hal yang sama.
Kakek itu menghisap cangklongnya dan mengepulkan asap berwarna putih ke udara. "Kau bisa membunuh Minotaur hanya dalam satu kali tebasan. Apakah kau bersedia menerima quest dariku, Pahlawan muda?"
Setelah mulut kakek itu tertutup, quest aneh di sudut pandangku langsung menghilang. Tapi aku tidak mendapatkan satu pun hadiah.
"Kalian dapat hadiah quest?" Tanyaku.
Liz dan Yuki menggeleng.
Aku menghembuskan napasku, "Aku, maksudku kami menerima quest dari mu, Kakek tua."
Kakek tua berbaju aneh itu tersenyum, "Terima kasih."
Kalahkan Prajurit Besi di Monster Armor Zone
"Monster Armor Zone?" Aku, Liz, dan Yuki mengatakan hal yang sama.
"Kita harus memberitahu ini di Chat Dunia."
"Iya."
---
Keesokan harinya, seluruh tim penyerbu dengan tambahan beberapa player lainnya sudah berkumpul di depan gerbang Benteng Baja ini. Satu hal yang membedakan dari Area sebelumnya, adalah kenyataan bahwa pasukan di Benteng Baja membantu kami. Setidaknya ada lebih dari seratus parajurit NPC di pihak tim penyerbu kali ini.
Seperti biasa, setelah Rio selesai dengan pidatonya, pasukan mulai berangkat dengan di bekali oleh titik koordinasi yang Liz berikan.
Setiap pasukan penyerbu ini di serang Monster, hanya dalam hitungan detik Monster tersebut terbunuh, bahkan tidak sedikit pula Monster yang biasanya aktif menyerang, langsung melarikan diri.
Butuh setidaknya satu jam dari Benteng Besi untuk sampai ke Monster Armor Zone. Sebuah Zone kosong tanpa ada pohon, tanah, batu, dan Monster. Hanya sebuah lempeng besi raksasa sebagai pengganti tanah dan sesuatu berdiri di tengahnya.
"Itu."
"Apa itu?"
"Boss?"
"Mu-Mungkin itu Boss nya."
"Eh?"
Kami semua berdiam diri. Tidak ada satu pun dari kami yang bergerak.
Rio mengangkat tangan kirinya, "Levelnya terlalu tinggi."
"Eh?"
"Level Monster itu sendiri hanya empat puluh, tapi armornya berlevel Max, artinya level armornya adalah seratus."
"Jadi, bagaimana?"
"Mundur! Kita akan kembali lagi setelah merencanakan strategi."
Semua player tampaknya setuju. Tapi tiba-tiba lempengan besi tadi melebar dan membuat seluruh player serta NPC masuk ke dalamnya, lalu dengan cepat jeruji dari besi terbentuk dan mengurung kami semua di dalam lingkaran lempengan baja ini.
"Apa yang terjadi?"
"Apa Bossnya aktif?"
"Apa-apa'an sih sialan?!"
"Kita tidak bisa lari!"
"Sial!"
"Bangsat!"
"Game bangsat!"
Aku pikir ini adalah yang terburuk, karena tiba-tiba besi-besi kecil seperti kawat di belakang kami semua mulai bergerak dan mencengkram kami dengan kuat. Kami semua tidak bisa bergerak.
"Apa-apa'an ini?!"
"Tenanglah! Kita harus tenang."
"Mana bisa tenang, anjing!"
"Kau tenanglah, anjing!"
"Apa?!"
"Woi, sekarang bukan waktu-"
Kepala player laki-laki tadi yang tidak menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba hancur, dan ada Boss Area empat di depannya.
"Eh?"
"Whaaaaa!!!"
"Kyaaa!!!"
"Aaahhh!"
Semua orang, termasuk aku mulai memberontak dari jeratan kawat-kawat yang entah kenapa sangat kuat ini. Dan selama kami terus berusaha untuk bebas dari jeratan ini, Boss Area empat Prajurit Baja itu mulai membunuh setiap prajurit NPC yang ikut bersama kami.
Teriakan marah, kesal, sedih, putus asa, dan malu terdengar bercampur di dalam kandang dari besi ini.
Aku bisa melihat setiap player mulai putus asa dengan keadaan tanpa harapan ini.
Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus kami lakukan untuk bisa lepas dari jeratan kawat baja ini?
Setiap detiknya sangat berharga, tapi yang aku lakukan dari tadi hanyalah memberontak saja dan tidak menghasilkan apapun.
Satu demi satu prajurit NPC di bantai oleh Prajurit Besi itu, terus seperti itu, sampai akhirnya seratus prajurit NPC yang menemani kami, musnah seluruhnya. Walau memang benar jika NPC mati, maka dia hanya akan terespawn di tempat di mana mereka muncul, tapi hal itu tidak terjadi pada player. Kini, Prajurit Besi itu mulai mendekati salah satu player laki-laki yang juga terjerat kawat, di sampingnya ada seorang player perempuan.
"Hentikan!" Teriak player perempuan itu. "Menjauhlah!"
"Hiiii!!!" Player laki-laki memberontak, tapi tidak menghasilkan apapun.
Lalu, sebuah pukulan keras dari tangan si Prajurit Besi di lepaskan dan menghancurkan wajah player laki-laki tersebut.
Player perempuan yang ada di samping player laki-laki, terlihat sangat shock, hal itu bisa di lihat dari wajahnya.
"Hentikan!" Kataku.
Sikut Prajurit Besi itu menghancurkan perut si player perempuan itu. Darah menetes dari mulut si player perempuan. Lalu dengan tangan kiri si Prajurit Besi, dia menghancurkan rahang si player perempuan dan membunuhnya.
"Haaaaa!!!" Aku melepaskan segenap kekuatanku untuk lepas dari jeratan ini, tapi tetap saja, tidak berguna.
Apa yang harus aku lakukan? Jika terus begini, cepat atau lambat seluruh tim penyerbu akan mati, dan kebebasan tidak akan datang lagi. Berbeda dengan dunia nyata yang bisa memiliki anak, yang mana ada kemungkinan anak tersebut saat sudah besar nanti akan menjadi prajurit yang pemberani.
Aku mengaktifkan Ability Berserker, tapi sama seperti sebelumnya, tidak bekerja. Kemungkinan besar kawat baja ini memiliki skill pasif untuk membatalkan Ability.
Saat aku berpikir tentang semua itu, sudah ada sepuluh player yang mati di depan mataku.
Memang kali ini aku tidak bertanggung jawab, tapi melihat orang-orang yang satu tim denganku mati, aku kesal, aku marah, aku sedih, dan aku ingin MEMBUNUH BOSS SIALAN ITU!!!
Saat aku sadar, sebuah helmet besi terpampang jelas di depanku.
"Eh?"
Itu adalah wajah dari Boss Area empat, sebuah helmet yang di dalamnya kosong dan gelap.
Dia menarik tangan kanannya.
Aku bisa mendengar orang-orang berteriak. Kemungkinan orang-orang yang berteriak itu hanya karena tidak mau menjadi orang yang mati selanjutnya. Tapi samar-samar, aku bisa mendengar suara teman-temanku. Aku bisa melihat Rick dan Isterinya yang berteriak ke arahku.
Lalu, sebuah pukulan keras menghantam wajahku.
Gelap.
Ability Immortal diaktifkan
Tulisan tersebut tertulis di sudut pandangku yang gelap.
Ah, aku ingat.
Dua bulan yang lalu, saat aku bingung ingin memilih Ability apa untuk mengisi slot yang kosong, dan ada satu nama Ability yang terlihat aneh, yaitu... Immortal, yang artinya abadi. Tapi aku tidak bisa mengaktifkan Ability tersebut, dan juga tidak ada penjelasan tentang Ability ini.
Aku bisa melihat cahaya di depanku, dan saat aku bisa melihat keseluruhannya, ternyata aku sudah terlepas dari jeratan tadi.
"Eh? Apa yang terjadi?"
"A-Apa yang kau lakukan?" Tanya seorang player laki-laki yang masih terjerat di samping kiriku.
"Memangnya apa?"
"Kau baru saja mati! Kami bisa melihat kau berubah menjadi asap putih. Tapi asap putih tadi tidak menghilang ke udara dan malah membentuk kau lagi."
"Eh? Memangnya itu mungkin?"
"Mana aku tahu!"
Aku melihat sistem menuku dan melihat setiap Ability yang aku punya. Ability Immortal yang aku kira tidak berguna, sedang cooldown, dan waktu cooldownnya adalah tujuh hari. Tujuh hari? Lama banget, cuk.
Aku tersenyum. "Oh, itu ya yang terjadi."
"Eh? Apa?"