webnovel

FAVOURITE SIN

WARNING! MATURE CONTENT! ANAK KECIL DILARANG BACA. *** Sekian lama disakiti oleh suaminya secara lahir dan batin, Lisa pun memutuskan untuk menyetujui keinginan gila mantan kekasihnya, to make some scandal. Berdua, mereka melewati detik-detik penuh gairah. Memupuk dosa yang kian tak terbendung. Menggapai puncak kepuasan hasrat. Ya, ini adalah dosa terindah dalam hidup Lisa dan Julian. "Shit! You're my favorite sin, Lisa!" seru Julian di tengah sengalan birahinya.

BlackSugar · perkotaan
Peringkat tidak cukup
4 Chs

Hati-hati, Lisa!

"Kami sudah membelikan kalian tiket bulan madu ke luar negeri."

Lisa dan Brian sama-sama terkejut ketika mendengar pernyataan tersebut.

Bulan madu ke luar negeri? Untuk apa?

"Mohon maaf, Pa. Kenapa Papa repot-repot membelikan kami tiket seperti ini?" Bram mencoba tetap tenang, meski sebenarnya ia ingin menolak mentah-mentah usulan kedua orang tuanya itu. Bulan madu bersama Lisa adalah hal terakhir yang diinginkan Bram.

Mama menatap prihatin. "Bram, kami melakukan ini semua karena kami begitu sayang kepada kalian. Seperti kita semua tahu, pernikahan kalian bukan lagi seumur jagung. Kalian sudah menikah selama dua tahun. Dua tahun!" jelasnya. "Sebagai anak laki-laki kami satu-satunya, tentu kami ingin menimang cucu darimu, Bram."

Bram menyugar rambutnya gusar. Lagi-lagi masalah keturunan. Tidakkah mereka tahu, Bram benar-benar 'tidak bisa' mengabulkan keinginan mereka selama yang menjadi istrinya adalah Lisa?

"Kenapa? Kau tidak menyukai rencana kami?" Papa nampak tersinggung. "Di saat kami merencanakan bulan madu untuk kalian, secara kebetulan kau pun mengambil cuti selama satu minggu. Bukankah ini momen yang sangat tepat?"

"Ah, itu. Aku ...." Bram bingung sendiri. Dia lupa memberitahu sekretarisnya untuk merahasiakan permintaan cuti Bram kali ini.

Di tengah kebingungan Bram, tiba-tiba Lisa berkata, "Ma, Pa. Mohon maaf. Bukannya kami tidak menghargai kebaikan hati kalian. Akan tetapi, kali ini kami memang benar-benar tidak bisa."

"Ya, tidak bisa, bukannya tidak mau," sambung Lisa.

"Kenapa?!" tanya Papa dan Mama bersamaan.

Bram yang tidak bisa menebak isi pikiran Lisa, menjadi gelisah bukan main. Dia takut Lisa nekat melaporkan aksi perselingkuhannya dengan Stevi. Bisa-bisa mereka menghapus nama Bram dari daftar penerima warisan keluarga Aditama.

"Sebab mulai lusa, Lisa mesti bekerja kembali."

***

Lisa merutuki diri akibat omong kosongnya pada Papa dan Mama tempo hari. Karena kemarin dia bilang hari ini harus bekerja, jadilah sang ibu mertua berinisiatif untuk mengantarkan Lisa di hari pertamanya masuk kerja.

Tentu saja Lisa sempat menolak, dan berdalih bahwa Bram lah yang akan mengantarkannya nanti. Tetapi yang namanya naluri seorang ibu—tak masalah meski Mama hanyalah ibu mertua—sangat sulit untuk diperdaya. Jelas sekali dia ingin membuktikan kebenaran ucapan Lisa.

Pukul enam pagi, Lisa sudah siap dengan setelan yang biasa ia kenakan saat masih bekerja dulu : kemeja merah muda polos lengan panjang, celana kain, serta jas hitam bermodel simpel tapi elegan. Tak lupa ia poles wajah putih mulusnya dengan riasan tipis-tipis. Satu hal sederhana yang sudah jarang dia lakukan semenjak hanya diam di rumah saja.

Sambil menunggu ibu mertuanya datang menjemput, Lisa mencoba mencari-cari lowongan pekerjaan via internet.

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Bram yang tiba-tiba duduk di seberang kursi Lisa.

Lisa sudah ingin bersorak bahagia, mengira Bram sudah ingin membuka hati untuknya, sampai kemudian dia melihat sosok lain di samping Bram.

'Sadar, Lisa. Bram itu hanya mencintai Stevi, bukan kau!' tegur Lisa pada diri sendiri.

"Entahlah. Aku masih mencoba mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pekerjaanku sebelumnya."

Selepas kuliah sampai sebelum menikah dengan Bram, Lisa berprofesi sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan yang sangat terkenal di Jakarta. Prestasinya di bidang tersebut sudah tidak diragukan lagi. Hal tersebut membuat atasan Lisa sempat menolak permohonan pengunduran dirinya dua tahun silam. Namun, Lisa yang sudah yakin dengan pilihannya, lebih memilih untuk mengabdi pada sang suami, alih-alih terus setia pada perusahaan. Meski, ya ... tahu sendiri bagaimana endingnya.

"Jadi kau benar-benar akan melamar kerja?"

Lisa terpaku sejenak. Dia seperti menangkap nada cemas dari ucapan Bram barusan.

'Ah, mungkin cuma perasaanku saja. Mustahil Bram merasa cemas.'

"Kalau maksud dan tujuanmu berkata seperti itu karena takut aku tidak bisa menghandle urusan rumah sepenuhnya lagi, kau bisa tenang. Sekalipun aku kembali bekerja, pengabdianku terhadap keluarga tetap nomor satu."

"Jadi kau sungguh-sungguh akan bekerja lagi?"

"Tenang saja, apa pun yang terjadi, aku tidak akan sampai memintamu menyewa pembantu," ucap Lisa. Semakin yakin kegelisahan Bram pasti berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga.

"Bukan itu maksudku!" sentak Bram. Ia mengesah panjang dan, "Ah, sudahlah. Itu bukan urusanku. Salahmu sendiri berbohong pada Papa dan Mama. Mereka pasti benar-benar akan menyelidiki apakah kau sungguhan bekerja atau hanya membual saja."

"Itulah mengapa aku harus benar-benar mendapatkan pekerjaan kali ini." Lalu, tatapan Lisa menyapu Bram dan Stevi. "Bukankah semua ini aku lakukan demi kalian?"

Bram dan Stevi langsung membuang muka. Wajah mereka sedikit memerah karena di-skakmat seperti itu.

"Uhuk!" Bram pura-pura batuk. "Kau sudah menyiapkan lamaranmu?"

"Sudah."

"Baguslah."

Bram bangkit dari atas kursi, diikuti Stevi.

"Semoga rencanamu berhasil."

Lisa hanya mengangguk pelan.

Usai menyatakan kalimat terakhirnya, Bram beranjak meninggalkan ruang tamu. Satu tangannya menuntun Stevi agar mengikutinya ke mana pun dia pergi.

Lisa mengamati kepergian Stevi beserta suaminya dalam hening.

Katakan Lisa bodoh karena mau-maunya berkorban demi mereka yang telah menyakiti hatinya sedemikian rupa. Tapi entahlah. Bukankah cinta memang tak berlogika?

"Haish, lebih baik aku kembali fokus mencari lowongan," ujar Lisa, menghentikan lamunan kosongnya barusan.

Jemari Lisa bergerak perlahan, menggulir layar ponsel pintarnya dari bawah ke atas. Begitu terus sampai akhirnya ia menemukan apa yang dia cari.

Dengan semangat empat lima, Lisa mencatat nama beserta alamat perusahaan yang membuka lowongan staf keuangan pada secarik kertas. Nantinya, alamat inilah yang akan dia tuju bersama sang ibu mertua.

***

"Di mana alamat kantor barumu itu, Lisa?" tanya Mama. Ia dan Lisa kini sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja Lisa, sesuai apa yang dia janjikan kemarin.

Lisa menyebutkan alamat yang baru saja dia temukan di internet dengan lancar.

"Wah, bukankah itu rival kuat perusahaan Bram?"

'Haish! Mengapa bisa kebetulan seperti ini, sih? Jangan-jangan sebenarnya aku dilarang melamar kerja ke sana? Mereka kan, kompetitor perusahaan suamiku?' Lisa merutuk kebodohannya yang tidak mencari tahu informasi perusahaan tersebut terlebih dahulu.

"Wah, benarkah, Ma?" Akhirnya, Lisa berlaga tidak tahu—tapi memang sungguhan tidak tahu, sih.

"Tentu saja," jawab Mama dengan yakin. "Perusahaan itu masih baru, tetapi sudah bisa menyanyi perusahaan Bram yang notabenenya sudah berdiri selama puluhan tahun."

"Wah, kalau begitu, perusahaan ini sangat hebat, dong?" Lisa takjub bukan main.

'Tapi, kalau perusahaan ini hebat, mereka pasti tidak mau menerima ibu rumah tangga yang sudah lama menganggur sepertiku?'

Mama menatap Lisa sejenak, kemudian fokus pada jalanan lagi. "Kamu ini bagaimana? Masa kamu tidak mencari tahu dulu sepak terjang perusahaan yang akan kamu masuki ini?"

Lisa mendadak salah tingkah. Apakah kali ini kebohongannya akan terbongkar?

"Asal kamu tahu, ya. CEO Mandala Pratama itu terkenal dingin dan menyeramkan. Kau hati-hati saja ya, Lisa."

Dan Lisa mati kutu.