webnovel

Accident

Sidney dan Zachary berada dalam mobil setelah acara makan malam mereka. Suasana yang semula mesra dan hangat, berubah seketika tatkala Zachary mendadak terlihat sedang termenung. Matanya menatap lurus ke jalan beraspal di hadapannya, tetapi beberapa kali ia nyaris menyerempet kendaraan lain, bahkan sampai hampir bertabrakan.

Sidney sangat mengenal pria itu, ia tak akan hilang fokus seperti sekarang jika tak ada masalah yang mengganggu pikirannya.

"Ada apa denganmu, sayang? Sejak tadi kau seperti tidak benar-benar berkonsentrasi pada jalanan di hadapanmu." Sidney membuka obrolan, karena mengerti Zachary tak akan memulai jika ia tidak mengawali.

Pria itu pada mulanya menolak untuk menjawab. Ia bergeming, tak mengucap sepatah kata pun. Berpura fokus pada jalanan padat di hadapannya, padahal sesungguhnya pikirannya sudah tak berada di tempat seharusnya.

"Zac ...." Sidney mulai tampak tak sabar. Ia memutar tubuhnya sedikit, agar bisa memastikan raut wajah kekasihnya. "Apakah ada masalah di kantor? Bukankah kau seharusnya bahagia karena berhasil memenangkan tanding saham tempo hari?"

Zachary memelankan laju mobilnya, ia sesekali menoleh pada Sidney yang semakin tak sabar.

Haruskah ia berterus terang pada gadis itu bahwa ada seorang dari rival yang berhasil mengacaukan pikiran dan hatinya?

Tidak. Itu bisa merusak segalanya.

Sidney bukan seperti gadis lain yang pasrah, atau lembut tanpa mengikat. Ia termasuk gadis yang posesif dan dominan di beberapa kondisi. Pasti akan sangat merepotkan jika ia kembali menjadi pengekang seperti dulu saat mereka masih di bangku kuliah. Sungguh sangat tidak menyenangkan bagi Zachary berada dalam kondisi seperti itu.

"Ya, hal itu memang menyenangkan bagiku. Namun, entah mengapa pikiranku terusik. Karena dalam bisnis ini, aku masih tergolong junior, jadi banyak hal yang harus kudalami untuk bisa bertahan. Dan itulah yang membuatku khawatir." Ia mencoba mencari alasan yang lebih masuk akal, agar Sidney tidak mengartikan sikapnya sebagai hal yang perlu ia cemaskan.

Ia ingin Sidney melupakan tentang keresahannya hari ini. Karena ia pun berpikir, itu bukanlah hal yang perlu ia cemaskan, hanya karena dirinya terbawa suasana. Andai saat itu dirinya dan Abigail tidak berada di balkon dan memandang langit malam bersama, dorongan hasrat itu tak akan pernah ada. Dan apa pun yang saat itu mereka lakukan mungkin tak 'kan pernah terjadi.

"Benarkah hanya karena itu? Kau yakin bukan karena gadis bernama Abigail yang tadi menghubungimu? Karena sikapmu tiba-tiba berubah setelah ia menelefon."

Zachary merasa ditembak tepat mengenai kepalanya. Sayangnya, ia tidak langsng tewas melainkan masih meregang nyawa. Sungguh kondisinya sekarang sangat sesuai dengan analogi itu. Ia mendadak gugup, tak berani menoleh dan bertemu pandang dengan kekasihnya.

"Zac ...."

"T-tentu saja tidak, sayang. Mengapa kau merisaukan itu?"

Sidney menghela nafas. "Karena kekasihku terlalu tampan dan aku tidak tahu seperti apa Abigail itu. Lagi pula, kau tidak pernah memiliki teman dekat wanita sebelumnya. Dan gadis itu ... Zac, katakan sejujurnya. Ia memanggil nama kecilmu, tidak bolehkah aku cemburu?"

Sesungguhnya pria itu lelah, ia tak ingin membahas masalah ini. Pun tak ingin memikirkannya, karena ia menganggap apa yang mereka lakukan beberapa waktu lalu hanya sebuah kesalahan. Namun, Sidney tak juga berhenti.

"Sudahlah, sayang, dia hanya rival yang mungkin saja mendekat karena ingin mengetahui kelemahanku," elaknya.

"Benarkah? Tapi ... mengapa kau tidak menatapku saat kau mengatakan itu?"

"Please, Sidney ... itu karena aku tidak menganggap hal ini penting. Nyatanya kita baik-baik saja, bukan? Karena memang tak ada masalah apa pun. Aku tidak memiliki hubungan dengan Abigail atau gadis mana pun."

"Ya, kau benar. Kita baik-baik saja, tapi sebelum menerima panggilan dari gadis itu. Dan aku sejak tadi hanya meminta penjelasanmu tapi kau—"

"Ya, Tuhan ... aku sudah mengatakan padamu semuanya, sayang. Apa lagi yang harus kujelaskan? Aku sudah katakan dia bukan siapa-siapa, bukankah seharusnya itu cukup?"

Sidney terdiam. Memang, seharusnya itu saja sudah cukup. Namun, entah mengapa ia tidak merasa demikian. Ada hal lain yang disembunyikan Zachary darinya. Mungkin saja selama mereka berjauhan, gadis itu mendekat pada kekasihnya dan ... entah sejauh apa hubungan mereka.

"Memang cukup, andai ia tidak memanggilmu 'Zac'."

"Ayolah, Sidney ... aku sungguh tak percaya kau membesarkan hal seperti ini."

"Itu tidak bisa dikatakan hal kecil, Zac. Katakan saja bahwa kau berselingkuh di belakangku."

"Sidney!" Zachary mulai merasa geram mendengar cercaan dari kekasihnya.

Selama berdebat dengan Sidney, laju mobil semakin cepat. Hingga Zachary tak menyadari sebuah truk berpapasan dengan mobil mereka. Zachary membanting setir ke kanan demi menghindari kecelakaan yang mungkin saja merenggut nyawa keduanya.

***

Mobil sedan yang mereka tumpangi terpelanting ke kanan dan membentur bukit yang ada di bagian pinggir jalan raya. Terseret beberapa meter lalu berhenti karena menabrak bukit lain yang tepat berada pada tikungan yang cukup tajam.

Keduanya selamat, tak ada yang mengalami luka parah karena airbag system yang berfungsi dengan baik. namun, lolongan alarm dari mobil yang kini lumayan ringsek di bagian samping dan depan, terdengar nyaring. Beberapa pengemudi berhenti dan menghampiri mereka. Memberi pertolongan semampunya sembari menunggu kedatangan tim Polisi.

"Apakah kalian baik-baik saja?" tanya salah seorang yang berhasil membantu Sidney dan Zachary keluar dari mobil dengan selamat.

Pria itu membawa mereka menjauh dari mobil, mengantisipasi segala hal yang bisa saja terjadi. Zachary dan Sidney menurut saja saat pria itu mengajak mereka ke mobilnya dan menyodorkan air mineral pada keduanya.

"Minumlah. Istriku telah menghubung Polisi dan mereka sedang dalam perjalanan. Apakah kalian sungguh baik-baik saja?"

Sidney dan Zachary mengangguk bersamaan. Mendapat jawaban dari keduanya, pria itu tampak lega kemudian masuk ke mobil Van miliknya dan mengambil sebuah bangku untuk mereka. Tanpa diminta, Sidney duduk dan berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.

Nyaris saja mereka berdua mati di sana.

Ia melempar tatapan nyalang pada Zachary yang juga melakukan hal sama dengan yang dilakukan Sidney sebelumnya. Ia juga masih ingin hidup lebih lama lagi. Andai tadi ia dan Sidney terkapar di sana, bagaimana bisnisnya? Ayah dan ibu juga adik yang menaruh harapan dan rasa bangga padanya, lalu ... bagaimana Abigail?

Entah mengapa nama itu terlintas begitu saja di otaknya. Memangnya apa yang akan dilakukan gadis itu selain berkabung? Keduanya jelas tak memiliki hubungan apa pun. Namun, akankah gadis itu bersedih jika dirinya mati?

"Ini semua salahmu!" Sidney bangkit dan menudingkan telunjuk ke arah Zachary yang hanya mengangkat wajah sekilas, menatapnya tanpa ekspresi. "Bagaimana jika tadi aku sampai mati di sana? Apakah kau mau bertanggung jawab pada keluargaku, huh?"

Gadis itu terus saja memberondong Zachary dengan kalimat yang tak enak didengar, seolah hanya nyawanya yang terpenting dan berharga. Seolah hanya keluarganya yang merasa kehilangan jika mereka sampai mati.

"Sidney, tidak hanya kau yang hampir mati, oke? Aku juga. Dan bagaimana kalau tadi justru aku yang tewas di sana?" balas pria itu, datar.

Sidney terdiam mendengar balasan Zachary. Pria itu benar, bagaimana jika justru Zachary yang tak bisa diselamatkan? Bagaimana nasibnya?

Sidney menghambur ke pelukan Zachary, membuat pria itu memekik lirih karena nyeri yang mulai terasa, dadanya sempat terbentur setir sesaat sebelum kantong angin berhasil melindungi mereka. Beruntung sistem itu dengan cepat menyelamatkannya dari benturan lain yang mungkin saja terjadi.

"Ah, maaf ... apakah kau terluka? Kita ke rumah sakit saja, ya ... aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu." Mata Sidney mulai berembun. Zachary mengangguk lemah, membalas dekapan kekasihnya kemudian mengecup pucuk kepala gadis itu.

Sidney mendongak menatap wajah kekasihnya. Ada memar di kening Zachary sementara dirinya bertahan tanpa terluka sedikit pun. Hanya penampilan mereka yang terlihat kacau dan berantakan.

Ia bersyukur, dirinya dan Zachary berhasil selamat dari kecelakaan. Ia tak berani membayangkan apa jadinya jika Zachary sampai tewas. Ia sungguh mencintai pria itu dan takut kehilangannya. Apa yang ia katakan saat di mobil tadi sungguh sangat disesalinya.

Ia memeluk Zachary lebih erat seolah tak membiarkan malaikat maut sekali pun untuk mengambil pria itu.

"Maafkan aku, Zac ...," lirihnya sembari terisak.

***