4 3. French Fries with Tomato Sauce

Kurnia duduk sendiri di kantin. Makan siang sambil sesekali mengernyit memandang Aristo yang berjalan bersama seorang siswi berseragam putih-biru. Mereka tampak berbincang sejenak sebelum siswi itu kemudian berlalu.

Dan kerutan di dahi anak itu semakin dalam ketika melihat Aristo lalu melangkah menuju mejanya. Tunggu sebentar, jangan bilang—

Terlambat.

Suara deritan kursi sudah terdengar. Aristo duduk di sampingnya lalu merangkul bahunya sok akrab.

Kurnia mendecak risih. Lalu sedikit menyikut lengan Aristo untuk menyingkirkannya dari pundaknya. "Mau apa lo?"

"Dingin amat."

Kurnia tidak menanggapi. Berusaha fokus pada ayam krispi.

"Diandra biasanya pulang sekolah jam berapa?"

Kan.

Kurnia tersenyum jengkel. "Mana gue tahu. Peduli juga nggak."

"Kalian ini sebenarnya kakak-adik atau bukan sih?"

"Menurut lo?"

Aristo mengernyit mendapati tatapan sinis Kurnia. Bukankah semalam mereka sudah cukup 'berdamai' dan main PS bersama? Sekarang kenapa bocah ini kembali ke mode awalnya?

"Kalo lo suka sama kakak gue, jadi pria sejati sedikit. Tanya langsung sama orangnya. Jangan ganggu hidup gue." Kurnia menggigit kulit renyah ayam dengan sedikit brutal.

Aristo menaikkan kedua alis. "Lo barusan gagal ujian Fisika atau—"

Belum selesai Aristo bicara, Kurnia langsung menoleh cepat pada pemuda itu dengan mata melebar. "Dari mana lo tahu?"

"Ada rumus tekanan zat cair di lengan atas dekat siku lo. Dekat ujung lengan kemeja."

Kurnia mendecih setelah spontan melirik lengannya sekilas.

Aristo tersenyum meledek. Lebar. "Gagal nyontek?"

"Diam."

"Lo sengaja buat rumusnya di situ supaya ketutup sama lengan kemeja? Lumayan juga strategi lo. Jadi masalahnya apa? Lo duduk di depan?"

"Nggak."

"Oh?"

"Gue ketahuan, bego." Kurnia berujar cepat. Wajahnya kusut. "Kertas gue dikoyak di depan gue. Gue harus ikut remedial minggu depan dan nilai remedial gue bakal digunting dua puluh, dan sisanya akan jadi nilai asli gue."

Aristo terbahak. "Dinginkan kepala lo, deh," ucapnya santai lalu mengambil kentang goreng di sisi kotak makan Kurnia, mencelupkannya pada saus lalu mengunyahnya.

"LO! Siapa yang ngebolehin lo ambil kentang gue?"

"Hah? Cuma satu, ko—"

"Satu pala lo! Nggak peduli gue. Beliin seporsi yang baru!"

"HAH? Gila lo? Dasar tukang cari kesempatan. Gue makannya juga cuma sebiji doang. Yang benar aja."

"Tetap aja lo mencuri, pea."

"Ck, sarap lo. Lagian kenapa jadi gini sih? Gue awalnya cuma mau tanya jam pulang sekolahnya Diandra."

"Lah, lo tanya sama gue? Udah gue bilang, tanya langsung sama orangnya."

"Memangnya lo nggak tahu, apa?"

"Sayangnya nggak. Sekarang, beliin kentang goreng gue satu porsi."

Anjir ini bocah. Aristo membatin frustrasi. Dia menghela napas. "Oke, gue beliin deh. Asal lo kasih tahu gue jam pulang Diandra."

"Heh, yang benar aja." Kurnia terkekeh jengkel. Mengambil kasar kentang gorengnya, mengolesnya dengan saus yang tebal, lalu melemparkannya pada Aristo.

Dan Kurnia mulai menyesali perbuatannya.

Saus tomat merah menodai area kemeja di bawah kerah sampai kepada kantung baju dengan lambang OSIS.

Aristo menyeringai—bukan jenis seringai yang dipakainya untuk membuat para cewek jatuh hati. Sama sekali bukan.

——————————————————————

Ting ... tong....

Kreeek....

"Hai Kur, kakak lo ad—"

Blam.

.

"Oi, oi. Oke, gue minta maaf. Buka pintunya Kurnia, gue mau ketemu kakak lo."

Tok-tok-tok.

.

"Hei, lo dengar 'kan? Kur...Kurnia."

.

Ting ... tong....

.

Tok-tok-tok.

.

Ting ... tong....

.

Kurnia tidak akan pernah membuka pintu itu jika saja ibunya tidak tiba-tiba berkata, "Siapa itu, Kur? Temanmu, ya? Cepat bukain sana."

Dammit.

Pintu kembali dibuka.

Aristo berdiri dengan wajah masam. "Lo kayak cewek lagi periode bulanan."

"Lo mau gue gorok?" Kurnia memiringkan kepalanya, menatap remeh Aristo.

Aristo berusaha tidak terpancing. "Kakak lo ada di rumah?"

"Entahlah," jawab Kurnia bersenandung—tetapi nada jengkelnya tidak bisa ditutup-tutupi. "Kalaupun ada, memangnya dia mau jumpain lo?"

"Lo nggak bisa bujuk dia?"

Oke.

Sekarang Kurnia rasanya benar-benar ingin meledak.

"Lo...." Kurnia memijit pelipis. "Setelah gue harus berurusan sama BK tadi siang karena lo, sekarang lo masih bisa ngomong—nyuruh gue—kayak gitu? Lo ngelawak?"

Aristo tersenyum miring. "Well ... gue bukan tipe orang yang mencampuradukkan masalah sekolah dengan yang lain-lain."

Blam.

Pintu dibanting menutup.

Kurnia kemudian menjulurkan jari tengahnya dari jendela panjang di samping pintu depan. "Ke neraka aja lo."

Dan Aristo masih dapat mendengar suara itu.

Rasanya pemuda itu ingat kalau Diandra juga pernah mengatakan hal semacam itu kepadanya.

avataravatar
Bab berikutnya