Malam-malam berbintang Barra sangat haus, hasratnya bangun kembali ingin meneguk arak, untuk meredam inginnya. Barra bergegas ke kamar mandi, dia merendam kepalanya sampai susah bernapas.
"Huh .... heh ... heh ...." Setelah kesulitan benapas, Barra keluar dari kamar mandi lalu memgambil handuk dan duduk dipinggir ranjang,sambil mengeringkan rambutnya. Dia membuka buku milik Afrin.
"Semoga menemukan tulisan yang bisa membuat aku lupa akan kesenangan dunia. Aamiin." Barra mengambil dan membalik kertas. Kedua jarinya berhenti ketika membaca sekilas judul.
"Cinta tidak harus memiliki. Bukankah Allah sudah mengingatkan berkali-kali La Tahzan wala takhof. Jangan bersedih dan jangan susah. Percayalah Afrin, akan ada hari bahagia untukmu. Kehidupan yang kamu alami memang tidak mudah. Tapi cobalah bangkit, Ingatlah cinta dan kasih sayang dari orang sekitarmu Afrin. Rasanya aku marah dan kecewa. Tunjukkan cintamu tetap hidup untuknya. Lebih bahagia jika kamu bisa hidup seperti biasa, terlebih lagi jika kamu semangat menjalani hidupmu. Afrin jangan kosongkan hatimu, sedang banyak cinta yang menunggumu. Aku menegur diri sendiri karena masih baper."
Barra tersenyum lalu membalik kertas itu.
"Afrin, ingat Ini kisah yang di kutib dari buku Sirah Nabawiyah. Kisah-kisah Nabi Muhammad lengkap. Afrin, jangan merasa sengsara sedunia. Karena masih banyak kisah pahit. Termasuk, kisah Hanzhalah bin Abi Amir (Wafat 3 H/ 23 Maret 625 M) adalah sahabat Nabi Muhammad dari Bani Aus, kaum Anshar yang gugur dalam Pertempuran Uhud pada tahun 625. Hanzhalah bin Abu Amir yang telah masuk Islam, mengetahui bahwa esok paginya akan menghadapi pasukan musuh dalam perang Uhud, malam harinya melakukan prosesi pernikahan."
Barra menghela napas lalu tengkurap.
"Sebuah keputusan yang terlampau tenang untuk meminang seorang Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak sahabat bapaknya. Padahal di pagi harinya dia akan membela kaum muslimin bertarung melawan kaum kafir Quraisy. Memiliki niat untuk membahagiakan Jamilah, Hanzhalah Bin Amir meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk bermalam bersama istri yang baru ia nikahi." Barra semakin antusias, dia kembali duduk.
"Sebuah pernikahan berlangsung sederhana di Kota Madinah, di zaman Rasulullah. Pernikahan antara Hanzhalah dan Jamilah. Jika semua kebahagiaan di dunia ini dikumpulkan, mungkin tak lebih besar dari kebahagiaan keduanya di hari itu. Hanzhalah dan Jamilah diliputi rasa cinta tak terkira. Begitu akad sah, keduanya dipertemukan kali pertama. Bertemulah dua cinta sejati lagi suci. Berpadu karena halal. Menyempurnakan separuh agama dengan saling mencintai, beribadah dengan saling mencumbu, berjanji akan saling setia hingga mati." Barra melirik ponselnya, berharap Afrin menghubunginya.
"Ah muhal." Dia kembali membaca. "Takdir telah mencatat dengan cerita cinta berbeda. Sebesar-besarnya cinta manusia, harus ada cinta yang lebih besar, yakni cinta kepada Allah dan Rasulullah. Kita harus seperti itu. Hanzhalah dan Jamilah pun diuji dengan cinta hakiki tersebut. Baru saja merasakan manisnya pernikahan, terdengar seruan untuk perang bersama Rasulullah. Muslimin diminta untuk membela agama, menjadi pasukan Rasulullah, membuktikan cinta mereka kepada Allah." Masih sangat serius, Barra merasa dingin, dia menutup jendela lalu kembali membaca.
"Hanzhalah pun bangkit dengan iman yang kuat. Namun sebongkah hatinya begitu berat meninggalkan istri tercinta yang baru saja ia nikahi. Meski demikian, cinta keduanya tak melebihi cinta kepada Allah dan Rasulullah. Handhalah tetap bergegas menyambut seruan jihad, sementara Jamilah mendukung suaminya dengan merelakan Handhalah pergi. Berat sudah pasti. Namun, cukup pelukan dan air mata saja yang mewakili. Perjuangan Nabi sangatlah besar. SubnahaAllah ... zaman sekarang memerangi nafsu saja sulit." Air mata Barra menetes.
"Astagfirullah ... heh. Hanzhalah terburu-buru, Hanzhalah tak sempat mandi junub. Ia bergegas untuk bergabung dengan pasukan dan menyusul Rasulullah ke Bukit Uhud. Ia pun bertempur di perang yang tercatat kelam dalam sejarah Islam. Ialah Perang Uhud yang menghasilkan kekalahan di pihak muslimin karena sebagian pasukan tergiur harta ghanimah. Begitu banyak muslimin yang syahid di perang tersebut. Salah satunya ialah Hanzhalah sang pengantin. Allahu akbar! Sang pengantin baru harus menemui ajal di hari pernikahannya." Hati Barra bergetar air matanya berlinang haru, dia segera menguatkan diri.
"Sementara itu di Kota Madinah, Jamilah menunggu dengan sabar. Ia pun kelelahan hingga tertidur. Dalam tidurnya, Jamilah memimpikan kekasihnya tercinta. Ia melihat Handhalah menuju langit kemudian dibukakan langit untuknya. Setelah suaminya naik, langit itu tertutup kembali. Jamilah begitu bahagia melihatnya. Namun ia kemudian menjadi gusar karena awan mendung berdatangan dan membuat hatinya yang tegar menjadi penakut dalam sekejap.
Jamilah terbangun. Tak ada firasat tentang kematian sang suami dari mimpi tersebut. Justru ia menyangka tafsir mimpi tersebut merupakan tanda akan adanya fitnah dalam rumah tangganya. Jamilah justru mengumpulkan saksi pernikahannya dan meminta mereka untuk mengabarkan kepada masyarakat bahwa ia dan Hanzhalah telah menikah.
Ia tak tahu, bahwa suaminya telah diangkat para malaikat. Tak terbesit dalam benaknya, suaminya akan pergi selama-lamanya. Tak terpikirkan olehnya bahwa muslimin akan kalah dalam perang dan meninggalkan banyak syahid, perang uhud. Jamilah tak pernah menduga bahwa ia akan menjanda di hari pernikahannya. Masya Allah ... hiks eshheh ...." Barra mengambil napas panjang dan tertunduk lalu menyeka pipinya yang basah.
"Ya Allah ... jenazah Hanzhalah telah terbujur kaku bersimbah darah. Ketika perang usai, Rasulullah mendapati jenazah tersebut. Ada hal menakjubkan terjadi. Hanzhalah meninggal di atas tanah yang darinya menetes air. Rasulullah kemudian bersabda, "Sesungguhnya para malaikat tengah memandikannya." Para shahabat pun mengabarkan kepada Rasululah bahwa Hanzhalah baru saja menikah dan ia pergi berperang dalam keadaan junub. Masya Allah, karena itulah jenazah Handhalah dimandikan oleh malaikat. Padahal para mujahid biasa dikubur tanpa dimandikan dan dikafani. Namun Hanzhalah dimandikan oleh malaikat karena pernikahannya sebelum perang.Sejak itu, Hanzhalah tak hanya dijuluki mujahid, namun disebut pula sebagai Ghasilul Malaikah yakni orang yang dimandikan oleh malaikat. Sementara Jamilah, ia menerima takdir pahit kematian suaminya. Meski berstatus janda, Jamilah bersabar dan bangga berstatus istri mujahid, istri sang Ghasilul Malaikah. Semoga Allah meridhai Hanzhalah dan Jamilah, menyatukan keduanya kembali di surga-Nya. Adiba lebih sabarlah ... agar Allah dekat dengan hatimu, kita milik Allah."
"Afrin kamu sangat benar, ah ... egoisnnya aku selama ini." Barra menuntaskan bacaannya.
"Dalam perang tersebut, kaum muslimin mengalami kekalahan. Entah berapa banyak korban yang berjatuhan. Saat darah sudah menyatu dengan tanah, dan suara gesekan pedang berganti dengan suara angin semilir, para sahabat mulai mencari dan menghitung-hitung berapa banyak korban yang gugur. Di kala mengurus banyaknya jasad yang berguguran, mereka menyadari tubuh Hanzhalah yang terbujur di satu sudut bekas medang perang. Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sungguh Aku melihat bahwasanya Malaikat memandikan Hanzhalah bin Amir RA antara langit dan bumi dengan air Muzn (mendung) dalam bejana terbaut dari perak." Beruntunglah Hanzhalah, syuhada yang telah dimandikan oleh para malaikat. Dia memperoleh kedudukan yang tinggi di haribaan Allah SWT. Itulah sebaik-baik tempat yang tidak semua orang mampu meraihnya. Nabi Bersabda, "Allah Subhanahu wataa'ala berfirman: Tiada balasan bagi hamba-Ku yang berserah diri saat Aku mengambil sesuatu yang dikasihinya di dunia, melainkan surga." (HR Bukhari). Sudah jelas Afrin, kamu tidak jatuh cinta melainkan nafsu."
"Kalau rasaku ke kamu apa ya? Afrin ... haduh, meriang," gumam Bara berbaring.
Bersambung.