webnovel

Bab 7

Aylen merasa  malu, apalagi harus satu mobil dengan Malik.

"Bukanya dia harus berterima kasih padaku, karena tak tinggal di sana. Itu akaan sangat merepotkanya nanti." Aylen menggerutu tanpa henti.

Dia  bahkan harus menjelaskanya pada Reina nanti. Kebohonganya belum sampai sehari sudah terbongkar. Huf untung saja itu pada Reina sahabatnya sendiri.

Saat ini harus bermuka tebal. Jantungnya hampir melompat keluar tadi, Aylen melirik Malik beberapa kali.

Sampai tatapan mereka bertemu, melalui kaca. Keduanya menjadi canggung dan saling mengalikan pandangan.

"Ini yang harus anda tanda tangan." Memberikanya tanpa berbalik. Itu hanya mengalihkan agar tak merasa canggung. Malik memang hebat.

"Apa ini surat wasiat.? Aylen kemudian tertawa sendiri kalimatnya terasa lucu. Namun hanya dia yang merasa, sebab Malik masih diam tanpa ekspresi. Aylen menanggung malu untuk kesekian kalinyaa.

"Dasar sialan." umpat Aylen ketika senyumanya meredup.

Mobil berhenti di depan apotik Aylen melihat lelaki itu kembali dengan kantong plastik.

"Apa kau terluka." Aylen bertanya karena khawatir. Kesal karena tak ada jaawaban dari Malik.

"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di apartemen Reina." sekilas melirik lalu mengalihkan pandangannya.

Sekali lagi Aylen merasa di kacangi. Bertanya dari awal pertemuan bisa di hitung dengan jari berapa kali si badut ini menjawab pertanyanya

"Seperti nya hari ini aku dalam masalah." mencoba untuk memastikan. Malik hanya mengangguk sekali.

Hah apa apaan di itu.

Dasar sialan. Apakah itu bisa di anggap jawaban.

"Aku dengar kalau tuan mu memiliki kekasih, yang sedang koma." Aylen berkata tanpa berharap, jawaban dari Malik. Bisa bisanya ia seakan sedang menggosip, dengan berbicara di dekat telinga Malik.

"Apa anda mencoba mencari tahu tentang tuan Rama." Malik bersuara membalas kalimat Aylen. Jelas saja dia kaget. "Pertemuan dengan sahabat mu sepertinya, mengulik dari masa lalu seseorang." Melirik Aylen dari kaca depan.

"Bagaimana bisa dia tahu? Apa dia spikolog." menaroh curiga. "Ah, jangan jangan dia belajaar ilmu hitam." Aylen merasa ngeri.

Haal itu terdengar seperti gertakaan, Aylen menarik diri duduk bersandar di kursi penumpang.

Melirik kesal, berpangku tangan. matanya melirik jam yang melingkar di pergelangan Malik.

Ketampanan mereka itu adalah simbol pemikat kan, sekarang pacarnya juga lagi di rumah sakit sedang sekarat. Bisa jadi itu adalah tumbal!

"Hah apa jangan jangan aku juga adalah." Aylen dengan sorot mata tajaam melirik Malik.

Mengingat itu Aylen menjadi gelisa. Rasanya semakin suram kala memasuki pekarangan brescout.

"Ini akan berguna." Malik tak turun dari mobil. Memberikan plastik yang berisi beberapa obat pada Aylen.

"Apa ini? Apa ini  jimat." Masih meraih dengan rasa gugup.

"Aku akan bertanggung jawab jjika terjadi sesuatu padamu." Malik mendorong tubuh Aylen keluar.

"Ucapan mu seperti sebuah perpisahan, jangan buat aku ketakutan." berteriak kesal pada Malik.

Tapi percuma, karena mobil itu sudah melaju jauh.

Langkah nya tertatih, kakinya terasa berat berjalan melewati pintu klasik.

"Apa aku kabur saja.? Ringisnya ketakutan

Pintu mewah yang tidak tertutup rapat, dengan cahaya remang remang membuat Aylen penasaran ingin melihat kedalam.

Tangannya mendorong badan pintu. Tak terlihat siapa siapa di sana. Hanya pecah bela yang berserakan di mana mana.

Apa di sini baru saja gempaa bumi? Bagaimaana dalam hitungan beberapa jam semua hiasan dinding pecah berserakan. Lampu gantung yang memiliki harga bernilai mahal tak lagi menerangi dengan utuh. Bahkan guci hampir tak tersisa.

Cahaya yang kurang, harus memyempitkan matanya, menatap perlahan ke setiap sudut ruangan. Di sofa tak ada siapa siapa, tv yang bisa untuk nonton satu kelurahan itu tak selamat. Tak ada barang yang utuh kecuali sofa.

Aylen menyalakn senter dari ponselnya. Cahaya menangkap sosok yang ia kenal.  Itu adalah Rama.

Berlari tanpa, peduli pecahan di mana mana.