webnovel

Chapter 22 - Keharusan (1)

"Tuan Kei."

Pria itu tampak mengkaku. Sedangkan Frey, berdiri di sisi kanan belakang Valias tidak bisa tidak terkejut dengan pengetahuan orang itu.

"Kami memohon untuk waktu berbicara."

"Kenapa aku harus mendengarkanmu?"

"..Kami tidak akan melakukan apapun. Kami hanya akan berbicara." Frey ragu-ragu ikut bersuara.

"Aku dan teman-temanku sudah memutuskan untuk membunuhmu." Pria itu, Kei membawa matanya ke arah Frey sebelum kembali merendahkan matanya kepada Valias.

"Siapa kau? Aku tidak menduga keberadaanmu."

"Kei Patra."

Sebutan Valias mengejutkan semua orang yang ada di sana. Dan membuat sang pemuda bernama Kei mengeratkan pegangannya.

"Patra, nama ibumu. Ibumu tidak punya nama belakang. Jadi ibumu menggunakan namanya sendiri sebagai nama belakangmu. Kau, memiliki darah raja yang sudah terbunuh dengan panah beracun. Salah satu temanmu yang menembakkan panah itu."

"...Siapa kau?"

"Namaku Valias. Aku tau beberapa hal tentangmu dan masa lalumu." ucap Valias. "Sekarang, apakah kau bersedia berbicara dengan kami?"

Kei belum bergerak maupun merubah ekspresinya sedikitpun. "Kau tidak bisa menyakiti orang ini karena kau akan membutuhkannya nanti." lanjut Valias.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

Frey menyimak interaksi antara Valias dan orang yang mengarahkan pedang kepada meraka, cukup terkejut dengan pernyataan Valias.

"Dengan kemampuanmu kau bisa tau kalau tidak ada orang lain di daerah ini selain kami dan teman-temanmu. Aku tidak tau bagaimana dengan yang mulia Frey. Tapi aku yakin kau tidak merasakan kekuatan apapun dariku. Kau bisa membunuhku hanya dengan sekali ayunan benda di tanganmu itu. Bukankah itu cukup?"

Keheningan mengisi ruangan. Sampai akhirnya Valias melihat Kei menurunkan pedangnya dan memasukkan benda tajam itu ke sarungnya.

"Bicaralah."

"Kei! Kita sudah sepakat!"

"Diamlah otak batu! Bukankah kau sudah dengar ucapan orang berambut merah itu? Dia tahu sesuatu!" Seorang pria bertubuh besar berseru dan seorang anak laki-laki memarahinya. Kei mengabaikan kedua temannya itu dan melekatkan tatapannya pada Valias.

"Apakah kau mau duduk, atau berdiri terus seperti itu? Teman-temanmu juga bisa ikut masuk ke sini."

Frey tidak bisa berkata-kata melihat bagaimana Valias bicara begitu tenang hingga mempersilakan orang-orang itu masuk seolah ruangan itu adalah ruangan miliknya sendiri. Kei tidak menjawab.

"Yasudah kalau begitu. Ada hal yang perlu kita luruskan. Frey Nardeen mengerjakan pekerjaan yang mulia raja, tapi tidak tau dan tidak memiliki keterlibatan apapun dengan tindakan-tindakan yang mulia raja Chalis sama sekali." kata Valias.

"Jangan sebutkan nama orang terkutuk itu." Kei bersuara dengan rendah. Frey merasakan hatinya mendingin oleh kengerian tapi Valias hanya mengangguk setuju sebelum melanjutkan kalimatnya. "Begitu juga dengan anggota kerajaan lainnya. Kau bisa memegang ucapanku. Tindakan yang mulia Frey selanjutnya akan membuktikan ucapanku." kata Valias.

"Kau belum memberi tahu bagaimana kau tahu namaku."

Sosok Kei menyipitkan matanya. Valias membiarkan keheningan sejenak mengisi fenomena tatapan menusuk Kei padanya. "Aku tidak bisa memberitahumu."

"Baiklah."

Kei meletakkan tangan pada gagang pedangnya lagi dan mulai menariknya.

Valias membuka mulutnya. "Aku tidak akan bisa melakukan apapun jika kau memilih untuk membunuhku, tapi keluargaku akan bersedih. Aku yakin kau tahu bagaimana rasanya kehilangan keluargamu. Bukan begitu?"

Pergerakan Kei berhenti.

"Kau bisa membunuhku kapanpun kau mau. Aku tidak akan lari. Tapi ada beberapa hal yang aku ingin kau tau."

Valias mendongak memandang laki-laki yang lebih muda 2 tahun darinya itu. "Frey Nardeen dan keluarganya adalah orang yang tidak bersalah. Kemarahanmu adalah kepada raja Hayden dan orang itu sudah meninggal. Keinginanmu adalah kerajaan Hayden berubah juga kesejahteraan keluarga teman-temanmu dan Frey Nardeen akan mewujudkannya. Apa kau masih akan membunuhnya?"

"..Bagaimana kalau iya?" tanya Kei.

"Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan itu. Keberadaan Frey Nardeen dibutuhkan untuk masa depan yang aku mau."

Kei tetap mengeluarkan pedangnya. Valias melangkahkan kakinya dan membiarkan tubuhnya berdiri di depan Frey.

Kei menaikkan alisnya. "Kau mau mati bersamanya?"

Valias membiarkan mata itu menatapnya tajam seolah tatapan itu akan menembus kepalanya.

"Kau tidak bisa membunuhnya." ucapnya tegas. Tapi tiba-tiba merasa sakit di kepalanya tepat setelah dia mengatakan itu.

"Ah.." ringisnya. Secara reflek menggerakkan tangan kanannya meraih kepala. Seolah dengan itu pusingnya bisa mereda.

...Pusing apalagi ini? dia membatin heran.

Kali ini rasa sakitnya adalah seolah otaknya dipukuli tongkat dan ditusuki jarum. Dia belum pernah merasakan sakit kepala seperti itu sebelumnya. Bahkan tidak sejak dirinya mulai menjadi Valias.

Kepalanya begitu sakit dan dia mulai membiarkan tubuhnya terduduk di lantai. "Valias Bardev! Kau kenapa?!" Frey berseru panik melihat Valias terduduk seperti itu tiba-tiba. Tidak bisa menahan keterkejutannya. Situasi itu membuat dirinya menjadi lebih sensitif.

Valias sendiri tidak tahu alasan kepalanya sakit tiba-tiba seperti itu.

"Kau pikir akting seperti itu akan berguna?"

Suara si pemuda yang tadi bilang bahwa dia akan membunuhnya bersama Frey kembali terdengar.

Valias semakin mengerutkan kening.

Akting apa?

Dia mencoba mengangkat kepalanya untuk melihat wajah Kei. Dirinya dan Frey sama-sama berada di bawah pandangan menusuknya.

"Ini.."

"Darah!" Salah satu orang di dalam kelompok Kei berseru.

"Valias Bardev! Kau kenapa sebenarnya?!"

Frey melihat darah mengalir dari hidung Valias dan berseru panik.

..Jangan-jangan tubuh ini punya penyakit kronis?

Valias mulai memikirkan kemungkinan itu.

Darah menetes ke tangan dan bajunya. "Biar kuperiksa!" Anak laki-laki dari kelompok Kei tadi berlari mendekat. Dia berlutut di samping Valias dan menyentuh pergelangan tangannya. Valias dengan satu tangan mencoba menutupi lubang hidungnya.

"Astaga kulitmu pucat sekali." gerutu anak itu. "Tanganmu juga dingin."

Sakit kepala yang Valias rasakan tidak membaik sama sekali. Dan seruan anak laki-laki itu hanya membuatnya merasa semakin tidak nyaman.

"Gunakan ini." Frey meraih sapu tangan di atas meja dan memberikannya pada Valias. Valias menggunakan kain itu untuk menutup hidungnya tapi dia tidak merasa aliran darahnya berhenti. Valias mulai khawatir kalau dia akan pingsan lagi.

Tubuh ini lemah sekali.

Anak laki-laki itu melepaskan ikatan jubahnya dan meletakkan jubah itu di pundak Valias yang terduduk.

"Kei.. Kau.. tidak boleh membunuh orang ini."

Valias merasakan darah masuk ke mulutnya tapi dia mengabaikannya. Merasa dirinya harus memastikan tokoh utama di cerita itu tidak membunuh sang calon raja Hayden.

Dan yang terjadi selanjutnya, adalah Valias yang kehilangan kekuatan untuk tetap membuka mata. Dengan suara yang terakhir dia dengar berupa Frey yang menyerukan namanya.

***

Valias membuka matanya dan disambut dengan rupa langit-langit tempat tidur. Valias merasakan dejavu dan bertanya-tanya apakah dia akan terus mengalami dejavu itu jika dia terus berada di tubuh Valias—atau dirinya akan mati kehabisan darah lebih dulu.

Kali ini dia tidak merasa kaku. Sakit kepalanya juga sudah benar-benar menghilang. Dia merasa sudah kembali baik-baik saja.

Dia melihat sekeliling tapi menyadari furnitur dan tata ruangannya berbeda dengan kamar yang pernah dia gunakan.

Suara pintu terbuka terdengar dan ketika Valias menoleh, sosok perempuan yang Valias duga sebagai salah satu teman Kei sudah ada di sana.

"Ah. Bos. Orang itu sudah bangun."

Langsung terdengar suara derap langkah kaki dan Frey muncul dengan Kei di belakangnya.

"Valias! Syukurlah kau sudah bangun. Kau pingsan berjam-jam!" seru Frey mengeluh.

Memang tidak apa-apanya dibanding ketika Valias tertidur selama satu pekan. Tapi bagaimana Valias mengucurkan banyak darah dan hilang kesadarannya— apalagi di tengah situasi menegangkan seperti itu—Frey merasa waktu tidurnya Valias jauh lebih lama dibandingkan satu pekan waktu itu.

"Anda masih hidup? Syukurlah." senyum Valias. Memasang senyum tulus.

Dia senang karena sepertinya sakit kepala dan pingsannya membuat Kei sedikit berubah pikiran. Dengan begitu rencananya untuk di masa depan mungkin bisa dilangsungkan.

Tapi Frey, mendengar ucapan Valias setelah melalui momen menegangkan— dan mengerikan—itu merasa dirinya begitu bahagia dan merasakan hati di dadanya menghangat. Berpikir kalau Valias sudah sangat mengkhawatirkannya bahkan setelah kehilangan banyak darah juga kehilangan kesadaran. Frey begitu bersyukur dengan keselamatan dirinya dan Valias hingga dia ingin mengucurkan air mata.

Tapi dia adalah seorang raja. Dia tidak boleh menunjukkan kelemahannya pada siapapun. Apalagi tidak dengan keberadaan seorang pria dengan pedang yang pernah memiliki niatan—atau bahkan masih akan memiliki niatan itu kembali suatu saat nanti—untuk mengakhiri hidupnya berdiri diam di belakangnya tanpa mengeluarkan suara apapun.

"Iya. Aku masih hidup." Frey hendak melirikkan matanya ke sosok Kei tapi kemudian langsung membatalkannya. "Aku sudah bicara padanya. Aku juga memberi tahunya bagaimana aku tau kalau dia adalah saudara tiriku darimu. Dia bilang dia akan membiarkanku hidup. Untuk sekarang."

Valias tertawa kecil mendengar cicitan Frey yang terdengar lucu. Baginya.

Tentu Frey masih takut padanya. Valias juga sudah melanggar janjinya dan membiarkan Frey untuk harus berhadapan dengan sang pemuda itu—dan mungkin teman-temannya yang lain—seorang diri. "Maafkan saya, yang mulia. Seharusnya saya tidak meninggalkan Anda seperti itu. Saya melanggar janji yang saya pegang sendiri." ucapnya.

"Kau ini bicara apa? Pikirkan saja dirimu sendiri! Sebenarnya kau kenapa? Jangan bilang kau punya penyakit? Apa Count Bardev tau soal ini??"

Frey tidak percaya dengan Valias yang masih saja mengkhawatirkannya.

Sedangkan Valias juga bertanya-tanya dengan siapa Valias Bardev sebenarnya. Mungkin Valias yang asli benar-benar punya penyakit yang tidak diketahui siapapun?

Valias memutuskan untuk mengabaikannya. Dia sudah merasa baik-baik saja sekarang. Jadi seharusnya tidak akan ada masalah.

Valias bangkit dan berdiri dari tempat tidur masih dengan pakaian dan celana yang memiliki noda darah meskipun tangan dan wajahnya sudah dibersihkan oleh seseorang. "Aku harus berterimakasih padamu karena sudah mengikuti permintaanku. Aku pasti akan membalas kebaikanmu." kata Valias.

Membuka hati dan menuruti permintaan musuh tentu bukanlah hal yang mudah bagi Kei. Valias yang sudah membaca cerita tentang kehidupan Kei tentu tahu jelas hal itu.

Sedangkan Kei, melirik noda darah yang mengotori pakaian orang bertubuh ringkih dan kurus di depannya akhirnya bersuara. "..Kau. Apa yang membuatmu berdarah dan hilang kesadaran tadi?"

Valias kembali menerima pertanyaan yang dia sendiri tidak ketahui jawabannya. "Entahlah. Tapi aku pikir itu tidak penting."

Valias melihat dahi Kei mengerut tapi tidak mendengar ucapan apapun dari si pemuda jadi dia memutuskan dirinyalah yang akan bersuara. "Aku sudah bangun. Jadi kita akan membahas hal yang harus kita bahas. Kau boleh memilih untuk mendengarkan atau tidak. Aku tidak akan memaksamu untuk mendengarkanku."

Valias menghampiri sofa dan duduk di sana. Frey sekali lagi mengagumi bagaimana Valias yang bertingkah seolah sebuah ruangan adalah miliknya sendiri.

Sebenarnya itu kamar Frey. Valias hilang kesadaran dan kawanan yang dibawa saudara tirinya itu menekannya untuk memberi tahu mereka ruangan dengan tempat tidur mana yang paling dekat dari ruang kerja Frey.

Dan yang kemudian terpilih adalah kamar milik Frey yang berada tepat di sebelah ruangan itu—bahkan ada pintu rahasia yang menyambungkan dua ruangan tapi Frey tidak mengatakan apa-apa. Menonton bagaimana seorang pria besar mengangkut Valias di bahunya dan membawa si pemilik rambut merah itu sampai ke sana.

Frey menghampiri Valias tapi tidak ikut duduk. Merasa konyol dengan dirinya sendiri kenapa dia merasa canggung ketika berada di ruangan miliknya sendiri.

Itu semua karena keberadaan sang saudara tiri yang membuat dirinya ingin selalu berada di dekat Valias untuk meminta perlindungan.

Dia tau dirinya memalukan—apalagi dirinya adalah seorang raja. Tapi dia tidak bisa menahan perasaan itu. Seperti mengharapkan perlindungan dari seorang Wistar adiknya, tapi entah kenapa Frey merasakan keamanan dengan berada di dekat Valias. Dia mengabaikan akal sehatnya dan memilih untuk mengikuti kata hati dan instingnya.

Valias bertanya-tanya kenapa Frey tidak duduk dan hanya berdiri di samping kursi sofa yang dia duduki tapi memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. "Jika kau mengharapkan kesejahteraan teman-temanmu, berarti kau harus membantu kami membangun fondasi kepemimpinan yang mulia Frey." Valias membawa matanya memandang Kei yang balik menatapnya tapi dengan tatapan yang lebih tenang dan santai dari sebelumnya.

Valias masih bisa merasakan tatapan mengamati tapi tidak merasa terganggu dengan itu. "Teman-temanmu berasal dari segala penjuru wilayah Hayden. Mereka mengalami ketidakadilan dari orang-orang golongan atas dan bertemu denganmu sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikutimu." kata Valias membiarkan kalimatnya terjeda. "Kalau kau ingin kerajaan ini berubah, maka kita harus mengatasi bangsawan-bangsawan itu."

"...Ayahmu juga seorang bangsawan. Kau akan membiarkan ayahmu mati?"

Valias menghela nafas mendengar respon Kei.

Tentu saja.

Respon seperti itu adalah hal yang wajar bagi karakter seperti Kei. Bahkan selama Valias membaca cerita itu pun dirinya dibuat merasa gemas pada pola pikir si tokoh utama dalam si cerita. "Siapa yang bilang kalau kau harus membunuh orang-orang itu? Kita bisa memakai cara lain."

"...Kau punya caranya?" Kali ini Frey yang bertanya.

Valias masih duduk dengan tenang.

Mereka bisa menemukan caranya.

Kini Frey Nardeen masih hidup. Dan Kei beserta kawanannya akan berada di pihak sang putra mahkota calon raja Hayden.

Segalanya akan menjadi lebih mudah.

Kei, bersama kawanannya bisa dengan mudah menginvasi istana sebuah kerajaan dan melakukan kudeta. Menghadapi sekumpulan bangsawan tercela tidak akan menjadi masalah besar. "Kita bisa mulai dari wilayah tenggara."

Hayden terbagi menjadi 8 wilayah seperti arah mata angin. Dengan ibukota dimana istana tempat mereka berada saat ini sebagai pusatnya. Pola peta yang cukup sederhana. "Setiap wilayah membuat faksi mereka sendiri-sendiri. Bukan begitu, yang mulia?"

Frey tidak menyangka akan dipanggil jadi dia berdeham sedikit. "Kau benar. Sejak dulu sudah menjadi rahasia umum kalau pemimpin masing-masing wilayah membentuk faksi mereka sediri."

Dan seolah karakter pendukung jahat seperti mereka sudah terlahir seperti itu, bangsawan-bangsawan kecil di bawah mereka memutuskan untuk mendukung si pemimpin wilayah.

Kemudian, masing-masing faksi setiap wilayah akan berperang dingin demi membuat wilayah mereka lebih unggul juga lebih dominan. Dan dengan adanya perpecahan itu, ketika kerajaan tetangga menyerang, Hayden tidak punya kekuatan untuk mempertahankan wilayah mereka.

"...Apa yang sedang ada di pikiranmu?"

Frey tidak bisa tidak menyuarakan hal yang mengganggunya mendapati Valias yang tidak mengatakan apapun setelah dirinya menjawab pertanyaan anak yang sedang duduk itu.

"Hayden akan diserang oleh kerajaan lain, yang mulia."

"!!!"

Bahkan kelompok Kei tidak menyangka itu.

"...Perang?"

Frey bertanya ragu.

Dia sudah mendengar Valias yang mengatakan Hayden akan pecah, tapi masih tidak menyangka bahwa pecahnya Hayden akan disebabkan oleh perang.

Dia pikir, karena saat itu dia dan Valias sedang mengungkit tentang faksi-faksi bangsawan wilayah di Hayden, maka pecahnya Hayden yang dimaksud Valias adalah karena perang dingin—atau hal-hal yang serupa dengan itu.

Tapi, perang?

Valias mengangguk.

Hayden sudah dalam keadaan damai sejak pertama kerajaan dibangun.

Kerajaan lain mungkin bersemangat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Tapi Hayden, sebagai kerajaan dengan wilayah yang sudah cukup besar, sudah memiliki kedamaian selama sepuluh abad.

Membayangkan Hayden akan berperang saja sudah merupakan hal absurd.

Tapi,

Berbeda kalau kerajaan lain lah yang memutuskan untuk menyerang lebih dulu. "Kau. Apa yang kau bicarakan?"

Kei, tentu belum tahu apa-apa soal ini. Valias tahu itu.

Valias menaikkan bahunya. "Aku tidak bisa memberi tahu kalian kenapa aku bisa mengatakan hal-hal ini. Tapi aku pikir tidak ada salahnya bagi kalian untuk percaya, kan?"

Valias membenahi rambut panjangnya yang membuatnya tidak nyaman. "Sekarang karena sepertinya kita sudah punya kepercayaan dengan satu sama lain, bagaimana kalau kita mulai rencananya?"

Dia menoleh pada Frey. "Yang mulia. Keluarga Anda sudah bisa kembali ke sini."

Setelah Valias mengatakan itu Kei tampak waspada. Tangannya ia letakkan di gagang pedang seolah itu bisa membuatnya tenang. Valias bertanya-tanya ada apa.

"Ada yang masuk ke sini." gumam Kei rendah.

"Begitukah Kei? Demi dewa kemampuanmu memang benar-benar mengerikan." Pria bertubuh besar sebelumnya bersuara lagi.

Frey juga kemudian mendengar derap kaki mengarah ke istana. Dia menghampiri jendela dan melihat keluar.

"Valias. Itu ayahmu."

Valias reflek menaikkan sebelah alisnya.

Hadden?

Valias tidak mengerti kenapa ayah Valias datang ke sana. Dia ikut melihat ke jendela dan melihat Hadden berlari bersama ksatria-ksatria dengan lencana bersimbol kediaman Bardev ke arah pintu istana.

04/06/2022

Measly033