webnovel

Battle of Heaven

“Bagaimana caranya aku melawan mereka? Mereka itu abadi!” Evan tak pernah menduga kalau dirinya berada di dunia paralel. Orang-orang masih menggunakan kuda sebagai alat transportasi, pedang dan panah sebagai senjata mereka. Sekilas ia seperti tengah melihat citraan jaman pertengahan secara langsung dan nyata. Dunia tersebut terbagi menjadi tiga, dunia manusia, hutan iblis, dan surga malaikat. Ketiga dunia saling bermusuhan satu sama lain dan ras manusia sebagai ras paling lemah di antara ras lainnya. Ketiga dunia terancam perang ketika pemimpin agung yang dihormati mangkat. Evan tahu ada sesuatu yang istimewa dengan dirinya, ia datang membawa kekuatan yang setara dengan para malaikat. Ia pun diminta memimpin pasukan manusia untuk perang dengan para malaikat dan iblis untuk merebut surga yang sejati. Apakah Evan mampu melakukannya? Apakah dia bisa memberikan surga yang manusia inginkan?

Rafaiir_ · Fantasi
Peringkat tidak cukup
280 Chs

Aliansi Terbentuk

"Lalu bagaimana jika mereka memulai penyerangan kepada Manusia?" tanya Evelyn, memastikan.

Evan seketika langsung menatap peta besar di atas mejanya, menempatkan sepertiga pasukan di perbatasan dan sisanya di ibukota. Dengan melihat formasi berikut, maka bisa dipastikan ada dua kemungkinan yang akan Evan capai, penaklukan atau pertahanan.

"Kota-kota ini menjadi pintu terdepan antara kerajaan dengan Iblis. Apa kau tidak akan menyerahkan kendali pasukan di perbatasan kepada mereka?" tanya kembali Evelyn.

Ketika hendak menjawab, Albert yang sedari tadi memerhatikan formasi yang Evan bentuk menyadari sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. Garis perbatasan dari utara hingga selatan terhubung satu sama lain, begitu juga dengan letak posisi para pasukan Evan.

"Itu sangat tidak mungkin." Albert menunjuk garis perbatasan milik Liviel saat ini, begitu juga dengan biduk kuda putih yang Evan tempatkan.

"Formasi ini semacam semut pekerja dengan ratunya," sambung Albert, Evan mengangguk setuju.

"Apa maksudmu?" tanya Ponrak, penasaran.

"Keenam pasukan ditempatkan di titik krusial untuk pertahanan kerajaan, mereka tidak diambil alih oleh kota terdekat karena sang ratu sendiri yang saling terhubung antar pasukan satu dengan lainnya," jelas Albert, menunjuk salah satu biduk kuda putih yang berada di tengah.

Evan bertepuk tangan memuji kecerdasan dari Albert yang mampu memecah strategi yang ia pikirkan selama ini. Para iblis tidak memiliki kekuatan laut, sehingga kecil kemungkinan mereka menyerang lewat jalur laut.

"Aku menyebutnya strategi benang sutra, karena letak para pasukan berdekatan satu sama lain dan yang terpenting saling terhubung."

"Jika perintah berasal dari sini, maka besar kemungkinan dia akan ikut berperang?" tanya Evelyn, Evan mengangguk pelan tanda setuju.

"Komandan, perwira tinggi, hingga panglima pasukan harus ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan kerajaan," jelas Evan.

Ia menyoroti beberapa informasi yang mengatakan kalau atasan pasukan Liviel tidak terjun ke medan perang secara langsung. Hal tersebut menyebabkan mental pasukan berkurang karena kekurangan bantuan moril.

"Untuk apa kau menjelaskan semua ini kepada kami, Evan?" tanya Ponrak.

Evan mengambil semua biduk kuda putih di atas peta dan menyimpan ketujuh benda itu di laci meja, "Aku hendak mengajak kalian untuk bergabung dengan kelompokku."

Ketiganya tak mampu menyembunyikan keterkejutannya, begitu juga dengan Evelyn. Meskipun ia banyak mengeluh tentang krisis pangan yang terjadi, dampak dari perang berkepanjangan. Namun, hati dan prinsipnya masih setia mendukung Liviel seberapa buruknya keluarga kerajaan mengatur kebijakan.

Ponrak tegas-tegas menentang apa yang diutarakan oleh Evan, bahkan dengan percaya dirinya ia bisa menghancurkan seluruh pasukan Evan yang berada di tempat ini. Ia keluar meninggalkan tempat perundingan tanpa seizin dari Evan, Evelyn, dan Albert.

"Bagaimana denganmu?" tanya Evan kepada Evelyn.

"A-Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengkhianati tanah kelahiranku sendiri, di sisi lain, aku menginginkan perubahan di kehidupan masyarakat."

Ucapannya tidak mengada-ada, setiap kata yang terlontar dari mulut Evelyn selalu muncul hasil dari pikirannya yang mendalam. Evan mengakui kalau nasionalisme Evelyn begitu kuat dan hanya harapan kecil kalau dia bisa meyakinkan wanita tersebut.

Albert sependapat dengan Evelyn. Kedua faksi militer menginginkan perubahan di masyarakat, tetapi bukan berart merubah susunan kerajaan yang sudah terbentuk ratusan tahun lalu. Pada akhirnya, mereka sepakat untuk menolak ajakan hangat dari Evan.

"Tidak apa. Aku menghargai keputusan kalian," ucap Evan, tersenyum simpul menyembunyikan kecewaan yang ia rasakan.

"Berarti sekarang kita kembali ke kesepakatan awal, yaitu menyerahkan Raja beserta keluarga istana untuk diasingkan."

"Opsimu akan kupertimbangkan bersama perwira dan pihak istana," jelas Evelyn, mengangguk seraya izin undur diri.

Sebelum mereka pergi melangkah keluar tenda, Evan memberikan tenggat waktu keputusan sampai besok tengah hari. Jika dalam waktu tersebut, belum ada kabar dari pihak Liviel, maka Evan akan membumihanguskan tempat itu beserta warga di dalamnya.

"Akan kusampaikan kepada mereka."

Kini, tersisa Evan dan Laurentia di tenda tersebut. Secangkir air minum dingin tersaji di atas meja Evan, Laurentia menyajikannya sebagai bentuk apresiasi atas usulan yang diberikan oleh pemuda tersebut kepada perwakilan Liviel.

"Kita akan bermalam di sini, dirikan tenda dan jaga jalur air agar tak tersabotase," pinta Evan, Laurentia mengangguk dan paham seketika mendengar perintah Evan.

"Apa perlu kita mengirimkan mata-mata ke sana?" tanya Laurentia, Evan menggelengkan kepala.

"Tidak. Aku sudah mendapatkan informasi lebih dari cukup, lebih baik istirahatkan mereka agar bisa bersiap di pertempuran besok."

"Baik. Akan segera kusampaikan," ucap Laurentia, berjalan mundur dan keluar dari tenda perundingan.

Dari luar tenda, Evan mendengar gemuruh hebat seperti suara hentakkan kaki yang banyak dan masif. Karena penasaran, ia memilih membuka penutup tenda dan melihat ketiga faksi militer terlihat berjalan meninggalkan tempat ini untuk menunggu hari esok.

Dari kejauhan, ia melihat sosok Aletha yang tampil menawan dengan setelan kemeja militer dengan jubah merah yang terpasang di punggungnya. Wajahnya begitu cemas dan sesekali melirik pelan ke arah tenda, mencoba mencari sosok Evan.

Tiba-tiba perut Evan bergetar hebat, ia sadar selama beberapa hari ini dirinya belum memakan apa pun.

"Argh, kenapa baru sekarang aku merasa lapar?"

***

Para pasukan tengah menikmati pesta sederhana dengan mengelilingi api unggun, Evan berada di antara mereka. Canda dan tawa menghiasi pesta tersebut hingga menimbulkan kedekatan yang erat antara komandan dengan anggotanya.

"Katakan padaku, bagaimana ekspresi wajar para bangsawan yang tertangkap itu?" tanya Evan.

"Mengerikan! Mereka meminta dilepaskan padahal kami sudah memberikan mereka kebebasan untuk hidup."

"Para bangsawan korup itu, mereka bahkan masih melawan ketika tangan dan kaki mereka terikat."

Mereka banyak bercerita tentang penaklukan kota-kota yang sudah dilakukan, tidak hanya kesenangan, tetapi kesedihan, bahkan di antara mereka harus ada yang membunuh teman lama karena perbedaan prinsip.

"Setelah kita menduduki Istana, maka kesedihan, kebencian, dan rasa kehilangan itu akan berakhir dengan kebanggaan dan kemenangan. Pada akhirnya, rakyatlah yang memenangkan semuanya," jelas Evan.

Pemuda itu merangkul semua perasaan campur aduk yang dirasakan anggotanya untuk dikumpulkan dan digunakan sebagai penyemangat agar mereka mampu menaklukan kota dengan baik.

Secara mengejutkan, suara lembut muncul dari langit mengalihkan perhatian Evan. Kepalanya menengadah dan melihat jajaran bintang yang bersinar terang menghiasi atap langit malam itu.

"Ada apa, Evan?" tanya Laurentia.

"Ada sesuatu yang harus kulakukan. Apa kau keberatan kalau kutinggal sebentar?" tanya Evan, Laurentia mengangguk dan memilih untuk tidak bertanya lebih jauh apa yang dimaksud oleh Evan.

Ia bangkit dan melangkah meninggalkan tempat tersebut menuju tempat yang sepi, tempat di antara pepohonan tinggi yang cocok baginya untuk menerima pesan dari para malaikat. Terlihat Jophiel turun ke darat bersama dengan Gabriel. Keduanya mengenakkan gaun khas mereka dengan berbeda warna satu sama lain.

Evan menundukkan kepala memberi hormat kepada kedua malaikat tersebut. Jophiel segera memeluk Evan tanpa memedulikan keberadaan Gabriel di sampingnya. Wanita itu begitu cemas ketika pujaan hatinya tertangkap oleh Liviel, bahkan ia tidak bisa membayangkan jika Evan terbunuh dan meninggalkannya seorang diri.

"Ada apa kalian repot-repot datang kemari?" tanya Evan.

Gabril terlihat membuka gulungan kertas yang ada di tangannya, seketika waktu di dunia terhenti tapi tidak bagi Evan dan kedua malaikat tersebut. Ia tidak ingin seseorang mengetahui pembicaraan yang akan mereka lakukan.

"Aku harap kau tidak mencuri kekuatanku lagi," ketus Evan, meledek Gabriel.

Jophiel tertawa kecil melihat ekspresi kikuk Gabriel yang bisa dibilang pertama kali baginya. Ia kembali ke sikap tegasnya, mempertanyakan maksud dan tujuan Evan menghancurkan Liviel.

"Untuk menciptakan perubahan yang besar, maka kau harus menanggung resiko yang besar juga. Kelaparan, krisis pangan, militer yang lemah dan diskriminasi. Itu semua yang harus disingkirkan bersama dengan Liviel di dalamnya," jelas Evan, menjelaskan singkatnya dari tujuan ia menyerang Liviel.

"Apakah dengan ambisimu itu bisa membawa kedamaian terhadap tempat ini atau justru menimbulkan kekacauan baru yang justru semakin besar dan membahayakan?" tanya Gabriel kepada Evan.

"Iya, tentu saja demikian. Itu pun jika Iblis dan Malaikat tidak memulai peperangan lebih awal," jelas Evan.

Gabriel terdiam, ia sendiri harus memikirkan profit dari kejadian yang tidak pernah terjadi ini. Ia tidak ingin Malaikat tinggal diam dalam pembentukan sejarah yang baru di benua ini.

"Bagaimana jika kita membentuk aliansi untuk memerangi Iblis?" tanya Gabriel, setelah berpikir panjang.

"Jika kau menyetujui ini, maka kami, para malaikat akan membantumu untuk melancarkan serangan kepada Alexandre," timpal Jophiel.

Tawaran yang menarik bagi Evan, itulah satu-satunya cara agar kerajaan bisa terlindungi saat dirinya memimpin setelah masa kehancuran. Dalam kalkulasinya, membutuhkan waktu sekitar 10 tahun bagi manusia untuk bangkit dan kembali seperti semula.

"Aku bersedia bergabung dengan aliansimu. Namun, aku menolak untuk kalian bergabung dalam perang ini. Aku tidak ingin rakyat memiliki cap buruk terhadap utusan malaikat, biarkan kekuatan manusia itu sendiri yang mengalahkannya," jelas Evan, Gabriel dan Jophiel mengangguk, itulah keputusan Evan dan tidak ada seorang pun yang bisa membantahnya.

Gabriel menggulung kembali kertas di tangannya dan seketika waktu di dunia kembali berjalan. Jophiel memegang tangan kanan Evan dengan hangat, kedua maniknya menatap Evan penuh dengan kerinduan. Lagi, dia akan pergi meninggalkan Evan seorang diri.

"Aku akan kembali membawa kesepakatan kita setelah kau naik tahta."

Evan mengangguk dan melambaikan tangan, mengantarkan mereka yang kemudian pergi dan menghilang di kegelapan malam.

Malam semakin larut. Evan memilih kembali ke tenda untuk mengistirahatkan dirinya, tetapi ketika berjalan keluar hutan, ia dikejutkan dengan keberadaan Evelyn bersama Aletha di tempat tersebut.

"Aletha?" tanya Evan, kaget.

"E-Evan?" balik tanya Aletha, ia turun dari atas kuda dengan wajah yang tampak menahan tangis.

Evelyn ikut turun dari atas kuda dan mencegah Aletha untuk dekat-dekat dengan Evan. Seketika tangisan Aletha mulai berjatuhan membasahi pipinya yang memerah, ia pasti sedih melihat kota kelahirannya sudah hancur lebur karena serangan dari pasukan Evan.

"Apa yang terjadi ... pada ayahku?" tanya Aletha, tersedu-sedu.

Evelyn memeluk tubuh Aletha dan mendekap kepala wanita muda itu agar menangis di dadanya. Komandan Faksi Tulip Merah memandang Evan dengan tajam, ia menyaksikan kalau pemuda itu terlihat tengah berbicara dengan dua malaikat di dalam hutan tadi.

"Apa yang kalian bertiga bicarakan di dalam tenda?" tanya Evelyn, tegas.

"Itu bukanlah sesuatu yang perlu kalian ketahui dan untuk menjawab pertanyaanmu, Aletha."

Gadis yang tengah menangis itu seketika memalingkan wajahnya, mengikuti arah suara Evan untuk mengetahui jawaban dari pertanyaannya.

"Maafkan aku, aku tidak tahu keadaannya saat ini. Saat penyerangan dimulai, aku tidak ada di sana," ucap Evan, lirih.

"Tapi kenapa kau malah bersebrangan seperti ini? Kau muncul di depanku sebagai pemberontak, bukan sebagai pahlawan yang kubayangkan!" bentak Aletha, wanita yang sudah bersikap baik kepadanya memarahi tepat setelah mengetahui posisi Evan di perang kali ini.

"Aku melakukannya untuk kebaikanmu dan kebaikan semua orang. Jadi, maafkan aku."

Creation is hard, cheer me up!

Like it ? Add to library!

Rafaiir_creators' thoughts