webnovel

Menjalani Kehidupan Kampus

Sebelum masuk ke dalam kost, kami pun berpamitan dengan Adellia. Aku mulai menceritakan semuanya kepada Steven, mulai dari pertama kali aku melihatnya berduaan dengan wanita yang dianggapnya pacar. Sampai pada kejadian pertarungan ghoib yang baru saja kami alami malam ini. Saat aku menceritakannya, Steven tampak bingung, dia seperti tak percaya akan apa yang kukatakan. Dia hanya mengingat pernah bertemu dengan wanita yang bernama Indira itu, beberapa kali saja.

Aku hanya bisa menyuruhnya mengecek jumlah uangnya sebagai tanda bukti, bahwa dia telah terperdaya oleh wanita itu. Aku juga memberitahu mengenai beberapa tempat mewah yang telah mereka kunjungi bersama. Setelah menghitung pengeluarannya yang tidak masuk akal sama sekali, Steven akhirnya mulai percaya. Setelah percakapan kami yang cukup panjang, aku pergi keluar dari kamarnya dan menyuruhnya untuk menenangkan diri serta beristirahat sebanyak mungkin. Sebab aku yakin tubuhnya masih terasa sangat lemah, karena efek ketempelan kuntilanak merah yang sudah menyerap habis energinya.

Di kamarku sendiri, aku hanya berbaring dan mengingat kejadian yang kualami malam ini. Mulai dari penjaga Adellia yang baru pertama kali kulihat. Pria berbaju zirah emas itu memiliki aura yang tidak seperti makhluk biasa, dan kenapa dia memanggil Adellia dengan sebutan Nona. Aku menjadi penasaran akan latar belakang dan keluarga Adellia, dugaanku sepertinya dia bukan dari keluarga yang biasa. Aku juga mengingat kemunculan pria berjubah merah yang berjanji untuk melindungiku. Sepertinya dia melakukannya dengan terpaksa, dan hanya muncul saat keadaan yang genting saja. Pembawaan dan kekuatannya menunjukkan dia bukan makhluk astral tingkat biasa, seperti yang selama ini sering kutemui. Bahkan instingku berkata, bahwa dia lebih kuat dibandingkan dengan penjaga Adellia yang muncul saat itu.

Naluriku merasa bahwa masih sangat banyak rahasia yang ditutupi, baik itu dari Adellia maupun pria berjubah merah itu sendiri. Sembari berbaring dan tenggelam dalam lamunanku sendiri, tak terasa perlahan-lahan mataku mulai berat dan akhirnya tertutup karena rasa kantuk yang tak tertahankan. Malam itu menjadi malam yang melelahkan tapi tak akan bisa kulupakan seumur hidupku.

Malam yang gelap dan heningpun berlalu, matahari mulai terbit sedangkan langit perlahan mulai membiru. Hari ini, sebelum pergi ke kampus, aku memastikan kondisi Steven terlebih dahulu. Aku membuka pintu kamarnya yang tak dikunci, dia masih terlihat tidur dengan nyenyak, wajahnya masih terlihat pucat dan lelah. Jadi aku membelikan nasi bungkus yang ada didepan gang dan meletakkan di meja kamarnya. Setelah itu aku langsung pergi karena tak berniat membangunkan dan mengganggu istirahatnya.

Hari ini aku tak berangkat bersama dengan Adellia, aku sudah mengabarinya lewat pesan sebelumnya. Saat aku berada di kampus dan sedang berjalan menuju kelas. Seorang wanita bergerak memotong jalanku lalu berdiri didepan untuk menghalangiku. Setelah memperhatikan wajahnya, aku menyadari ternyata dia adalah Indira, wanita yang sudah memelet Steven.

"Apa lo yang ganggu dan ngerusak rencana gw?" tanyanya dengan nada yang dingin.

"Kalo iya, emangnya kenapa? Lo masih belum puas?" jawabku dengan lantang dan menatapnya marah.

"Jangan sekali-kalinya berani nyebarin yang gw lakuin ke Steven, kalo lo gamau kenapa-napa nantinya." ancamnya serius.

"Udah kalah masih berani ngancam gw, apa lo gak tau malu?" ejekku

Mendengar balasanku, Indira langsung menatapku dengan mata yang penuh amarah serta dendam. Beberapa detik kemudian, dia langsung berbalik badan dan pergi tanpa meninggalkan sepatah kata. Aku melanjutkan pergi berjalan menuju kelas, sambil berjalan, aku merasa ancaman dari wanita itu membuatku harus merasa lebih berhati-hati lagi. Sepertinya aku telah menambah musuh baru lagi dikampus, pikirku. Tapi aku berencana untuk tak memberitahunya ke Adellia, karena aku yakin dia pasti marah dan mungkin saja, melakukan hal gila yang berada diluar ekspektasiku. Jadi aku berpikir lebih baik diam daripada menambah masalah baru lagi.

Setelah kejadian itu, aku menjalani rutinitasku dengan tenang. Aku sibuk dengan kegiatan di kampus, ditambah lagi dengan tugas serta banyak materi baru yang harus kupelajari. Selain itu, aku menghibur diriku dengan bermain game di handphone, menonton film dan diakhiri meditasi sebelum tidur. Interaksiku dengan makhluk astral juga bisa masih berjalan, walaupun aku tidak terlalu menghiraukan mereka. Aku sudah mulai bisa mengontrol Mata ketigaku, layaknya menggunakan tombol remote ON/OFF seperti yang dikatakan Adellia. Walau sebenarnya aku masih belum terlalu terbiasa saat melihat wujud makhluk astral yang berantakan dan menyeramkan, tapi aku sudah tidak merasa takut lagi.

Sejak aku bisa melihat wujud mereka, aku menjadi orang yang parnoan dan penakut. Apalagi saat malam sudah tiba, makhluk-makhluk itu mulai muncul dan menjadi aktif. Walau mereka tidak blak-blak-an ingin menunjukkan wujudnya kepadaku, suara yang mereka timbulkan saja sudah membuatku merasa sangat terganggu. Semakin lama aku menjadi semakin sulit untuk bisa tidur. Kalaupun bisa, aku pasti merasa tidak nyaman saat bangun. Aku merasa kualitas tidurku menjadi sangat buruk hingga pada titik aku merasa frustasi dan tidak nyaman akan kehidupanku.

Hingga akhirnya aku hanya bisa berpasrah, jika ini memang jalan hidupku, aku harus bisa menjalaninya dengan ikhlas. Lama-kelamaan aku juga mulai tersadar, bahwa aku hanya bisa menerima kemampuan ini. Sedangkan mengutuk serta keinginan menutupnya hanya akan memperburuk keadaan. Mulai saat itu, aku pun menerima kemampuan ini menjadi bagian dari diriku seutuhnya.

Sejak saat itu, ketika aku mulai merasa kesal dan marah karena ulah para makhluk halus, aku akan meneriaki dan membentak mereka. Mulai dari mereka yang mengeluarkan suara-suara yang sangat mengganggu, contohnya seperti tangisan ataupun tawa cekikikan. Lalu mereka yang sengaja muncul tiba-tiba dan menunjukkan wujud terseram versi mereka. Hingga mereka yang selalu datang meminta bantuan ataupun mengajak ngobrol disaat yang tidak tepat.

Akibat keseringan berinteraksi dengan mereka, kadang aku susah membedakan mana yang hantu dan mana yang manusia. Begitu juga dengan ketakutan yang selama ini kurasakan perlahan-lahan mulai meredup. Aku mulai bisa bersikap santai dan tidak bereaksi akan kehadiran mereka. Mungkin bisa diibaratkan seperti saat seseorang hanya memakan satu jenis makanan selama berbulan-bulan, pastinya dia akan merasa enek dan tidak berselera. Begitu juga dengan apa yang kualami, aku sudah terlalu lelah dan malas menanggapi mereka.

Selain itu, aku juga merasa bahwa mereka tidak berani menggangguku dengan tujuan untuk melukai. Aku hanya merasakan bahwa mereka berniat iseng dan ingin berkenalan. Seringkali aku melihat ekspresi mereka yang was-was dan takut saat memandang sesuatu yang berada didekatku. Naluriku berkata, bahwa si pria berjubah merah itu sedang berada didekatku, walau aku tak bisa melihat wujudnya. Karena bantuannya, aku bisa beradaptasi dengan lebih cepat dan aman.

Beberapa minggu kemudian, Steven juga mulai kembali dengan dirinya yang ceria. Banyak orang yang menanyakan tentang hubungannya dengan Indira, tapi dia selalu menjawab bahwa dia telah putus, lalu dia sengaja mengalihkan pembicaraan setelahnya. Trauma dari kejadian kemarin sepertinya masih membekas dalam memorinya.

Tak terasa, ujian tengah semester akan diadakan satu minggu lagi. Aku, Steven dan Adellia berencana untuk belajar bersama untuk mempersiapkannya. Sebenarnya sejak munculnya banyak masalah, hubungan kami bertiga menjadi semakin dekat. Bisa dibilang saat ini kami sudah seperti sahabat dekat yang saling membantu satu sama lainnya tanpa harus mengharapkan adanya imbalan. Kami juga sering melakukan kegiatan bersama sambil bercanda ria, itu membuat kami menjadi lebih terbuka antara satu dengan lainnya. Aku benar-benar menikmati momen-momen ini, karena pada dasarnya aku tidak memiliki banyak teman. Aku hanya berharap agar pertemanan kami ini akan berlanjut seterusnya.

***

Di suatu sore, beberapa hari setelah ujian tengah semester yang melelahkan itu selesai. Aku sedang duduk santai sambil melamun didekat gedung kampus yang biasanya sepi pada jam itu. Tak jauh dariku, aku tak sengaja melihat Riska yang sedang bertengkar dan adu mulut dengan seorang pria. Riska terlihat sangat marah, bahkan dari kejauhan aku bisa mendengar Riska yang melontar maki-makian. Sedangkan di sisi lain, pria itu tampak ingin meyakinkannya dengan berusaha memberi alasan.

Beberapa saat kemudian, saat Riska ingin pergi meninggalkannya. Pria itu menghadang dan tak memperbolehkannya, dia mencoba memegang dan menahan kedua tangan Riska lalu membentaknya. Kondisi disana, hanya menyisakan aku sendiri dan beberapa mahasiswa yang tidak memperhatikan mereka. Beberapa mahasiswa itu sepertinya sedang sibuk diskusi dan fokus mengerjakan tugasnya. Sejujurnya, aku tidak ingin mencampuri urusan privasi orang lain. Jadi aku memutuskan untuk pura-pura tidak tahu dan hanya sesekali memandangi mereka dari kejauhan saja.

"Ram, tolong!" teriak Riska seraya memandang kearahku.

Kayaknya aku bakal nambah musuh lagi nih, ucapku dalam hati. Mendengar teriakan Riska, dengan terpaksa aku langsung bergegas mendekati posisinya. Tanpa banyak omong aku melerai dan melepaskan tangan pria itu dari Riska.

"Jangan kasar sama cewek dong mas." ucapku

"Emangnya lo siapa ngatur-ngatur gw?" jawabnya

"Gw juniornya, sebenarnya sih gw gak mau ikut campur masalah kalian. Tapi tadi dia sampe minta tolong, artinya lo udh kelewatan." balasku

"Masih junior, tapi gaya bicara lo udah songong gitu ke gw. Mending sekarang lo minggir, sebelum kesabaran gw habis nih." ucapnya seraya mengancamku.

"Gw bakal minggir kok, asal lo gak main kasar sama dia." balasku

"Mau gw kasar atau nggak, itu bukan urusan lo b*ngs*t!" bentaknya

Suasana yang tadinya sepi berubah menjadi ramai. Banyak mahasiswa yang mulai berdatangan untuk memperhatikan kami. Menyadari akan hal itu, dia mulai menoleh kiri dan kanan, lalu menatapku penuh amarah. Sepertinya dia mulai sadar, tak bisa berbuat apa-apa sekarang, karena takut tersorot dan jadi bahan pembicaraan dikampus.

"Jangan kabur ya kalo ketemu gw diluar, entar lo harus tetep songong nantangin gw kayak tingkah lo sekarang." ucapnya lalu pergi meninggalkan kami.

Sesaat pria itu pergi, Riska langsung mengajakku meninggalkan lokasi, karena banyaknya mahasiswa kepo yang masih memandangi kami.

"Makasih banyak ya Ram, udah mau bantuin aku. Sorry banget jadi ngelibatin kamu sama masalahku. Soalnya aku tadi gak nyangka dia bakal kayak gitu, dan aku juga gak tau harus ngapain lagi selain manggil kamu." ucapnya sedih.

"Gpp kok kak, aku udh biasa bikin masalah sejak masuk kampus ini, jadi santai aja haha." candaku agar dia tidak terlalu merasa bersalah.

"Tetep aja aku ngerasa gaenak Ram, yang penting kamu harus hati-hati ya kalo diluar. Kayaknya David mau nyari masalah sama kamu. Nanti, kalo ada apa-apa langsung kabarin aku aja ya." ucapnya dengan khawatir

"Ini nomor aku Ram." ucapnya seraya memberi handphonenya.

"Oke kak, omong-omong emangnya ada masalah apa ya kak, sama dia?" tanyaku sambil memindahkan nomor handphonenya ke handphoneku.

Riska terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan dariku. Melihat ekspresinya yang muram membuatku menyesal telah bertanya.

"Eh, sorry kak, aku nanyanya berlebihan." ucapku pelan

Riska menutup kedua matanya dan menghela nafas dalam-dalam, lalu dia perlahan mulai bercerita "Gapapa kok Ram, sebenarnya aku sama David udah pacaran sejak dua tahun lalu, dulunya aku denger gossip kalo dia sering jalan sama cewek lain. Awalnya aku ga percaya karena ga ada bukti dan ga pernah lihat secara langsung. Tapi kemarin malam, aku gak sengaja ngelihat dia jalan bareng sambil pegangan tangan sama cewek lain. Waktu aku mendekat untuk mastiin wajahnya, ternyata cewek itu teman dekatku sendiri." ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku terkejut mendengar ceritanya, ini sudah seperti cerita di sinetron, pikirku. Sebenarnya, aku juga tak tau harus merespon apa, karena aku juga tak punya pengalaman di dalam hal percintaan. Mungkin kalau Steven yang berada diposisiku sekarang, dia pasti bisa memberikan respon yang cocok, bahkan mengambil kesempatan didalam kesempitan didalam situasi ini.

"Hmmm, mungkin bisa ambil sisi positifnya aja kak. Dari kejadian ini, kakak bisa belajar menilai orang lain lebih baik lagi. Move on aja kak, masih banyak kok orang yang lebih baik diluar sana." jawabku sambil menggaruk-garuk kepala, sebab aku merasa apa yang kuucapkan barusan sangatlah cringe alias menjijikkan.

"Iya juga ya Ram, makasih ya udah mau dengerin cerita aku." balasnya, lalu dia memandangku dengan senyuman lepas.

"Sama-sa..."

"Enak ya Ram, berduaan ditempat sepi kayak gini." potong seseorang.

Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat Adellia yang sedang berdiri memelototiku, sambil menyilangkan kedua tangannya.

"......."

Bersambung…