"I'm ace .... And I'll beat whoever I want."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Untuk sejenak, Apo benar-benar tidak membela diri sendiri. Sebab omongan Pin memang benar, walau tidak 100%. Apo tahu dia keliru. Namun, jika saat itu dia keluar rumah dalam kondisi terluka. Orang-orang akan membicarakan masalah rumah tangganya lebih jauh. Apo pikir, topik ini tidak perlu sampai kemana-mana, kecuali memang sudah tidak terkendali lagi.
"Phi, aku benar-benar minta maaf," kata Apo. Lalu berjongkok di depan calon kakak iparnya.
"Kau tidak perlu melakukannya padaku, Apo," kata Pin. "Bagaimana pun aku hanya orang luar. Tapi sebagai orang yang kau anggap kakak, jujur aku pernah iri dan berpikir: wah, andai aku dan Pomchay seperti kalian. Pasti menyenangkan sekali. Nyatanya saat perusahaan turun, kalian memilih sama-sama selingkuh. Mile ke Nazha, dan kau pergi ke Tuan Takhon--ya Tuhan. Jadi, selama ini pernikahan kalian cuma didasari materialistis? Aku sampai bicara dengan Pomchay beberapa kali."
DEG
Materialistis, katanya?
"...."
"Kujenguk dia terus, Apo. Kusayang pipinya dan aku berkali-kali menangis cuma untuk meminta dia cepat kembali," kata Pin. "Kubilang, kenapa kau tertidur lama, Sayang? Mau sampai kapan? Adik-adikmu butuh dirimu. Tapi setelah kupikir-pikir, semua sudah terlambat. Mile tolol itu tidak mau menurunkan ego-nya. Dan kau juga---ah! Entah kenapa sampai mengabaikan triplets? Mereka butuh orangtuanya, Apo. Ada Daddy, ada Papa. Tapi tentu, bayi cuma bisa menangis."
Apo pun merasa tertohok dan sakit hati. Namun, sejak awal Pin bilang dia hanya orang luar. Jadi, apa yang terlihat oleh mata, maka itulah fakta kejadiannya. Pin takkan menyangka ada berbagai masalah lain yang datang. Dan dia juga tidak perlu tahu. Memang apa gunanya? Membela diri hanya makin tampak memuakkan. Apo harus tenang karena pasti ada lebih banyak pihak yang mengadili di luar sana.
"Tapi aku tetap akan minta maaf," kata Apo sambil menggenggam tangan Pin. "Karena seperti kata Phi, kau orang luar tapi ikut menanggung masalah kami berdua ...."
"Oh, Apo ...." desah Pin sambil memijit kening. ".... aku sebenarnya hanya sedih melihat mereka. Bagaimana kalau suatu hari nanti mengetahui, Daddy-ku sebenarnya bukan dia? Atau kenapa Papa sampai selingkuh? Lalu saat ada momen ulang tahun ... Daddy Mile apa tak ikut hadir? Apa dia masih peduli padaku? Aku bingung karena orangtuaku dulu juga bercerai."
DEG
Eh?
Pin pun menangis tersedu-sedu. "Aku tidak mau triplets jadi anak sepertiku, Apo. Sampai kini tidak tahu kejelasan, kenapa Papa dan Mama berpisah," katanya mengakui. "Ya, walau aku dapat Mama baru baik. Tapi, sakit kalau Papa tidak pernah datang lagi."
Lidah Apo pun terasa kelu. "...."
"Karena itu, kumohon ... apapun yang terjadi pada kalian, triplets berhak tahu semuanya. Hiks ... hiks ... hiks ...." kata Pin. "D-Dan kalau hubungan kalian tidak tertolong, biarkan mereka tetap bertemu, Apo. Ah, maksudku ... kau tahu, kan? Anak-anak itu merupakan berkah. Mereka pantas untuk bahagia, tapi selamanya tak ada namanya mantan ayah dan ibu."
Setelah itu, Pin pun baru merangkul Apo, tak peduli nasihatnya diterima atau tidak. Dia benar-benar menumpahkan segala gelisah. Lalu pulang tanpa membawa Kaylee dan Edsel pulang.
"Nanti biar aku yang menghadapi mereka," kata Pin sambil mengucek mata yang basah. "Kau tidak perlu cemas, Apo. Toh setelah merebut paksa, kulihat orang rumah tidak ada yang sungguh peduli."
"Terima kasih, Phi."
"Tolong jaga baik-baik mereka mulai sekarang," imbuh Pin. "Tapi kalau soal perjanjian nikah, aku benar-benar tidak mau terlibat dengan hal itu."
Mau tidak mau, selama pulang Apo pun terngiang-ngiang dengan pertemuan mereka. Jalan raya terasa lewat dalam pandangan, dan penuh oleh nasihat Pin. Bagaimana jika ada yang terjadi dengan Pin nanti? Apo sedikit khawatir.
"Selamat datang, Tuan Natta."
"Selamat datang, Tuan Natta."
"Selamat datang, Tuan Natta."
Untung sambutan hangat ada saat Apo melangkah pulang. Persis seperti sebelum masalah ada. Ditambah senyum-senyum manis menenangkan, walau itu bukan dari pihak yang dia harapkan.
"Oh, Nak Apoo ...." kata Sanee yang langsung berdiri. Ibu Paing itu sepertinya sedang menjenguk, begitu juga Thanawat setelah puteranya diboyong dari RS. "Wahhh, apa itu yang bernama Kaylee dan Edsel?" tanyanya, yang entah sejak kapan menggendong Blau Er.
Apo yang tadi hampir menangis pun langsung tersenyum. "Iya, Oma. Tadi kuajak jalan sebentar di taman," katanya. "Apa sudah lama di sini?"
Kali ini Thanawat yang tergopoh-gopoh mendekat. "Baru kok," katanya dengan senyuman gemas. "Oh, hoho ... mereka malah tidur semua. Apa tak masalah kalau kuambil satu?" tanyanya, tapi langsung mengangkat Kaylee tanpa menunggu jawaban Apo.
Paing sendiri malah tak ada, padahal mobilnya sudah terparkir di halaman. Bukankah harusnya ikutan duduk di sini? Aku mau menunjukkan Kaylee dan Edsel--
"Paing ada beberapa tamu sejak dia pulang. Mereka parkir di halaman belakang, dan sekarang ada di dalam kamarnya," kata Sanee, seolah-olah bisa membaca pikiran Apo. Wanita itu memegangi botol susu Blau Er, menepuki bokongnya, lalu memberi isyarat ke babysitter. "Datangi saja, Sayang. Siapa tahu ada yang ingin dibicarakan denganmu juga."
Babysitter itu pun mengambil alih stroller-nya Edsel. "Boleh saya bantu sebentar?" tanyanya.
Apo pun permisi meskipun langkahnya sedikit gamang. Dia tidak langsung masuk entah kenapa, melainkan menilik sebentar saja. Oh, ternyata ada Nona Luhiang juga? Batin Apo saat wanita itu lewat di ambang pintu. Sayup-sayup, dia mendengar obrolan serius dari dalam. Barulah wanita berkulit hitam keluar pertama kali. "Ha ha ha, cukup telpon saja kalau ada apa-apa lagi, oke Baby?" katanya. "Habis ini aku langsung pulang ke tanah air."
Wanita Afro-Meksiko itu tampak diledeki Luhiang. Tapi dia hanya geleng-geleng kepala.
"Aku juga ikut pamit ya, Zheyeng. Cepat sembuh saja dan kembalilah bekerja," kata Luhiang sambil melempar kiss bye untuk Paing di dalam. "Dah."
Saat bertemu, mereka berdua hanya tersenyum sekilas kepada Apo, tapi langsung turun tanpa menyapa atau basa-basi. Tunggu, mereka sudah tahu aku tinggal di sini? Karena rasanya terlalu wajar, padahal Apo tidak bilang apa-apa pada keduanya.
KACRAK!
Apo pun langsung ke dalam karena mendengar suara senjata dikokang. Dan ternyata benar dugaannya. Itu adalah Paing yang mencoba contoh senjata pelaku penembakan dia. Di sebelahnya juga ada meja dengan berbagai macam peluru. Dan Apo melihat lencana entah apa yang tergeletak di bagian pojok.
"Phi, tadi itu yang bernama Nyonya Bretha?" tanya Apo begitu duduk di tepi ranjang.
Paing pun melepaskan fokusnya dari lensa senjata. "Iya. Dan dia adalah pemimpin satuan militer untuk kediplomatan Thailand-Mexico," katanya. "Tapi panggil "Nona" saja karena kau bukan bawahan dia," koreksi lelaki itu.
"Oh ...."
"Anak buahnya pun ada memanggil "Nona" karena Bretha masih sangat muda," kata Paing. "Tapi untuk yang terlalu hormat, memang agak sedikit melebih-lebihkan."
Apo pun berpikir sejenak. "Phi dengan dia sepertinya akrab sekali," katanya. "Apa teman saat kuliah?"
Paing tidak mengalihkan fokus saat menjawab. "Hm, lebih tepatnya Bretha itu seniorku," katanya sambil membongkar senjata kembali. Alpha itu tampak sangat-sangat getol, walau kesulitan karena lengan masih dalam kondisi diperban. "Umur kami sama, sih. Tapi aku sempat kalah beberapa SKS. Jadi, dia naik tingkat duluan dan pernah menjadi asisten dosen."
Oke? Jujur Apo heran kali ini ada yang melebihi kemampuan kekasihnya. "Seriusan, Phi?" tanyanya.
"Of course," jawab Paing dengan senyuman. "Dia menguasai 14 bahasa yang berbeda, Apo. Dan aku belum bisa begitu," jelasnya. "Sekarang bayangkan jika dia lahir di kalangan pengusaha juga. Ha ha ha. Aku yakin Bretha bukannya menjadi kawan, tapi malah rival terberat kalau sampai digandeng orang."
Benar-benar beruntung sekali, Pikir Apo. Yang mendadak gatal ingin informasi lebih jauh. "Kalau Nona Luhiang, bagaimana?" tanyanya. "Setahuku kan lebih dulu terjun di Bangkok? Kok kalian bisa kenal sebegitunya?"
DEG
KACRAK!
Kali ini Paing teralih fokus dari cylinder stop string senjatanya. "Apa?" kagetnya. "Oh ... Luhiang
...."
"...."
Alpha itu tampak agak rikuh, tapi kemudian terkekeh-kekeh. "Kata Pa, dulu saat lahir dia langsung dijodohkan denganku ...."
Tanpa sadar Apo pun berdebar kencang.
DEG!
Apa katanya barusan?
"...."
".... tapi saat umur 12, gendernya berubah menjadi Alpha," jelas Paing seolah itu bukan hal besar. "Jadi, ya ... begitulah. Kami sekarang menjadi teman. Dan barusan dia bilang akan segera menikahi Omega yang waktu itu."
Pukul 9 malam, Mile pulang dari kantor dengan langkah yang sedikit urgen. Dia cukup lelah pada hari ini, sampai-sampai sapaan Alan di tangga diabaikan begitu saja.
"Daddy! 'elcome!"
BRAKH!
Hal yang membuat si bocah pias. Padahal dia sudah berpiama untuk ikutan tidur dengan sang ayah. Dia pun jongkok lucu dan langsung lemas, untung ibunya muncul di belakang tidak lama kemudian. "Alan, minum dulu susunya ...." kata Nazha sembari mengulurkan botol warna biru.
"Thank cuu, Mama," kata Alan dengan senyum hambarnya. Bocah itu pun mulai menyedot sambil memandangi pintu kamar Mile, tapi tak ada tanda sang ayah keluar dari sana.
"Hmm, sudah, sudah. Ayo ikut tidur dengan Ma dulu. Daddy lagi capek hari ini," kata Nazha yang sudah memakai piama juga. Wanita itu menoel bahu si bocah pelan, tapi Alan malah menggeleng-geleng.
"No, aku maunyaaa ama Daddy saja," kata Alan dengan mata yang meredup sedih. "Soalnya sudah sama Ma terus. Kapan ama Daddy-nya?"
Nazha pun menghela napas panjang. Dia beranjak sambil menepuk ubun puteranya, lalu turun ke tangga perlahan-lahan. "Sebentar, ya. Ma tanyakan dulu Daddy mau atau tidak," katanya.
"Umn!"
Alan nyengir lebar saat ibunya menuju kamar sang ayah. Dia menyemangati dengan kepalan tangan. Lambai-lambai penuh dukungan. Tapi yang didapat Nazha adalah sunyi.
CKLEK!
Hanya ada suara shower mengalir di kamar mandi. Aroma Alpha yang menguar kemana-mana. Dan atribut pakaian kantor berserakan di atas ranjang.
Oh, parfum atau wangi Omega? Pikir Nazha saat menghirup kemeja Mile. Dia meletakkan kembali benda itu ke tempat asal. Lalu menemukan lipstik juga di sisi dasi. Anehnya, wanita beta itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya memunguti yang ada di lantai menjadi satu. Lalu memanggil dua pelayan untuk mengurus kebersihan kamar.
CKLEK!
"Kau sedang apa di sini?" tanya Mile, yang mendadak keluar dengan bathrobe putihnya.
Nazha pun menoleh dengan senyuman, lalu menepuk kursi wardrobe di sebelahnya. "Alan bilang ingin kalian tidur sama-sama untuk malam ini," katanya. "Tapi sebelumnya biar kekeringan dulu rambutmu. Sini."
Mile malah melenggang menuju lemari. "Tidak usah. Aku masih bisa sendiri," katanya sambil menghanduki surai-surai hitam itu. Dia pun mencari piama untuk dipakai, tapi emosi juga melihat susunan yang terlalu rapi. "Shit!" makinya, karena lima setel ikutan jatuh akibat menarik celana dengan sebelah tangan.
"Mile," panggil Nazha di belakang sana. Wanita itu tetap bicara tanpa emosi. Lalu duduk di tepi ranjang. "Kau bisa memakai yang ini," katanya sambil menunjukkan sepasang piama yang sejak tadi dia siapkan.
Mile pun baru menghela napas panjang. "Mana," katanya. Lantas melewati tumpukan yang berserakan begitu saja.
Nazha pun memberikannya, barulah Mile ganti baju dengan wajah yang uring-uringan seperti biasa. "Ada hal buruk lagi di kantor?" tanyanya. Lumayan senang karena Mile tidak mabuk seperti kemarin.
"Tidak ada, hanya agak lelah saja," kata Mile sambil menyimpulkan tali jubah depan. Nazha pun bergerak untuk lanjut mengeringkan rambut sang Alpha. Karena yakin Mile takkan menolaknya kali ini. "Tapi memang ada satu Omega bangsat yang kerja teledor," imbuhnya sedikit kesal.
"Hmmm ...." gumam Nazha. "Tapi urusanmu dengan Nadech bagaimana? Tidak sampai terkena masalah?"
"Begitulah. Biasa saja," kata Mile. Lalu menjauh untuk menggunakan hair dryer sendiri. "Hanya agak ingin menggampari Amaara dan lain-lain." Dia pun terpejam saat mulai meratakan angin. Sementara Nazha diam dengan handuk kecil di pangkuannya.
Wanita itu menatap figura gigantis yang memuat foto keluarga Mile di dinding. Semuanya masih tampak rapi, sangat indah, dan lengkap karena Apo plus baby triplets ada semua--Mile memang tidak melepas satu pun hiasan yang dia miliki, senyum mereka, atau bayi-bayi dalam gendongan Omega-nya.
"Tapi jangan berharap apapun," kata Mile saat mereka mengurus undangan. "Aku bisa jadi ayah Alan seperti maumu. Menjaganya. Tapi kau tidak bisa menyingkirkan foto-foto istriku."
"...."
"Dia yang sekarang mungkin sudah pergi, Nazha. Fine ... tapi satu tahun kemarin dia tetap milikku," tegas Mile. "Dan kau kularang untuk mengubahnya sampai kapan pun."
Waktu itu, Nazha memang tidak protes sama sekali. Dia hanya diam sejenak untuk berpikir. Lalu menambahkan sesuatu. "Kalau begitu kita buat setara saja," katanya. "Alan mungkin bisa menggantikan sosok Daddy-nya secepat ini, tapi Liu Hanyi pun milikku 6 tahun kemarin," imbuhnya tak kalah tegas. "Karena itu kau juga tak bisa mengubahnya sama sekali."
Sssrrrrrmmm! Prakh!
Setelah beres dengan rambutnya, Mile pun berbalik dan langsung membuka pintu. "Alan, Come here!" panggilnya sambil mengayunkan tangan.
Nazha pun memperhatikan betapa bahagianya si bocah di seberang sana. Apalagi Alan tertawa saat menabrak peluk kaki ayahnya.
BRUGGHHH!
"Ha ha ha ha ha! Asyiiiik!!" jerit Alan yang terdengar riuh sekali. Bocah itu pun merentangkan tangan saat digendong, lalu memeluk leher Mile begitu erat. "Daddy wangi ...." pujinya dengan pipi merona. "Lain kali boleh ajak Alan mandi? Mauuuu~"
Mile pun mendengus tersenyum. "Tidak, Bocah. Kau hanya akan mengganggu," katanya sambil mencubit pipi gembil tersebut.
"Ihhh, peyliiiit."
"Ha ha ha ha ha," tawa Mile. "Tapi gantinya akan Daddy belikan mainan besok. Is that okay?" tawarnya. "Yang banyak juga tidak masalah."
Meskipun sempat merengut lama, Alan pun mengangguk juga. "Otay! Sip!" katanya. Lalu tertawa lepas saat dibanting gelitik oleh Mile Phakphum. "HA HA HA HA HA HA! DADDY! HA HA HA HA HA! Geyliii!" Dan itu membuatnya tampak begitu hidup. Bergembira. Walau tidak tahu arti senyum berat yang ada di wajah ibunya.