"Because you are the heart of my heart. I won't leave you alone forever."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Hingga pagi, Apo baru mau melepaskan sang Ayah. Dia berdiri tapi nyaris ambruk, untung Mile sigap di sisinya.
BRUGH!
"Apo! Apo ...." kata Mile yang meremas dua bahu sang Omega. Dia menahan Apo agar tetap tegak, meski mata tidak melepaskan ranjang beroda ayahnya. Sosok itu digeladak empat suster laki-laki. Mereka semua menggunakan masker. Siap mengurus proses pemakaman dengan pembekuan sementara pada kamar mayat.
Mile pun menuntun Apo duduk perlahan-lahan. Lelaki itu menatap wajah tanpa emosi sang istri, dan berkata selembut mungkin. "Mau apa? Bilang saja padaku. Nanti coba kubantu," tawarnya. "Atau sarapan dulu? Makan roti, ya. Setelah itu kita susul Ma pulang."
Ma yang dimaksud Mile adalah Miri. Lelaki itu memang pamit untuk menemani Apo, sementara ibu mertuanya dibantu Songkit, Nathanee, Pin, juga beberapa kerabat di rumah. Mereka ribut membantu prosesi acara duka. Tidak lupa menenangkan baby triplets yang gencar menangis. Satu-satu digendong gantian sambil diskusi.
"Setelah ini bagaimana? Pin, kau bisa ikut masuk kantor dan membantu? Apo pasti mau karena sekarang krusial."
"Iya, Mae. Nanti coba kutawari. Lagipula kondisiku sudah benar-benar bagus. Tapi kuselesaikan dulu kerjaanku sendiri di Khon Kaen. Semoga dia bersedia."
"Hm, good luck. Sayangnya Mile belum bisa diajak bicara."
"Biarkan Mile menangani Apo dulu. Mereka sedang berduka."
Namun, kata "menangani" itu tidak benar-benar mudah. Mile disikut Apo karena rasa kesalnya, bahkan sang Omega menatap Mile benci. "Bisa kau minggir sebentar?" katanya. "Kau pikir sarapan mudah di saat seperti ini? Coba bayangkan yang mati Ayahmu, Mile? Dan kau ada dalam posisiku ...."
Mile pun menatap mata merah Apo dengan sejuta rasa tak jelas. Dia sempat ingin mengusap bengkaknya, tapi Apo cepat menampiknya. "Apo, tenang--"
PLAKH!
"Tenang, katamu? Kenapa tidak pergi saja?" kata Apo yang sudah di luar kontrol. "Semua ini gara-gara siapa?"
"...."
"KAU, MILE!" kata Apo dengan menunjuk muka Alpha-nya. "Kau ...." Omega itu bingung karena Mile tidak marah balik. "Kau yang aku pilih ... setelah semuanya, bisa tolong pergi sebentar?" pintanya dengan nada turun. Mungkin, Apo sendiri berusaha menguasai amarahnya. Karena napasnya berat sekali. "Aku sekarang benar-benar malas melihat wajahmu."
Namun Mile tidak pergi, dia coba menyentuh bahu Apo perlahan-lahan, dengan kata "Tenang," yang mirip bisikan.
BRUGH!
Apo pun menyeruduk dada Mile. Omega itu meremas jas depan sang suami, melepaskan keluh kesahnya di sana. "Kenapa mendadak sekali ...." katanya. "Aku belum membuatnya bahagia, Mile. Kenapa pergi begitu saja."
Mile sendiri belum pernah kehilangan orangtua. Dia tidak paham karena sejak kecil di Aussie, sehingga ketergantungan pada mereka nyaris tak ada. Saat ini, hanya Apo yang membuatnya merasakan rumah. Kehadiran si kembar bagi Mile adalah segala-galanya, lain halnya dengan sang istri.
Apo merupakan satu-satunya. Dia memang ditempa keras, tapi permata tunggal bagi orangtuanya. Tidak heran jika sekarang Omega itu terguncang. Dia mungkin ingin memukuli Mile, tapi dalam kondisi benci pada dirinya sendiri.
"Tidak perlu buru-buru," kata Mile. Mencoba memahami Apo, meski tidak benar-benar bisa. "Tidak masalah sekarang menangis, Sayangku. Karena ...." Alpha itu mengesun ubun sang istri. ".... hm, ya ... kau tahu kan aku di sini?"
Apo tidak menjawab apapun. Dia hanya menggeleng pelan, terus membasahi jas Mile Phakpum. "Hiks ... hiks ... hiks ...." isaknya. Kali ini hingga terjatuh pingsan.
Brugh!
"Apo! Apo!"
Mile sendiri sampai terkejut. Sebab beban tubuh Apo tiba-tiba pasrah. Lelaki itu lunglai di pelukannya. Hilang kesadaran dengan wajah sangat bengkak. Mulai mata, hidung, bibir ... semuanya memerah dan pucat. Saat itu, Mile baru mengeluarkan emosi aslinya. Dia sebenarnya juga tidak sanggup, sehingga tanpa sadar berkaca-kaca. Perlahan, dia pun mendekap Apo cukup lama. Setelah tenang, barulah Mile menggendong sang istri keluar. Lelaki itu meminta satu kamar untuk Apo istirahat. Dia membuat beberapa suster gugup, untung ada satu ruang cukup dekat.
"Ma, bisa tolong kremasi-nya ditunda?" kata Mile lewat telepon. Dia berdiri di sebelah Apo dengan mata merah. Antara kurang tidur dan lelah. Lelaki itu menyelimuti sang Omega dengan satu tangan, lalu menggenggam jemari hangat itu. "Tolong, Apo sepertinya belum siap. Dia kumasukkan dalam rawat inap sekarang."
DEG
"A-Apa, Nak?" tanya Miri yang makin bertambah beban batinnya. "Puteraku sakit atau bagaimana? Jangan bilang kalau dia--"
"Tidak, tidak," kata Mile dengan suara lembutnya. "Jangan khawatirkan soal itu. Dia baik-baik saja."
"Ah, syukurlah ...."
"Hanya saja tolong pertimbangkan ini," kata Mile. Lelaki itu memandang wajah Apo dengan dada sesak. Dan rasanya makin parah setiap detiknya. "Aku yakin dia takkan baik-baik saja, apalagi kalau tidak tahu prosesinya."
Miri yang baru saja menelpon pihak kremasi, langsung membatalkan jadwal awalnya. Dia memberikan isyarat kepada Songkit, yang diterima sang besan dengan baik. "Baik, baik. Ma paham situasi kalian," katanya. "Kalau begitu jangan pusingkan. Di sini cukup untuk pemberkatan saja. Tapi beritahu kalau Apo sudah bisa. Kasihan kalau Pa-nya dibiarkan terlalu lama. Paham, Sayang?"
Mile pun mengangguk sebelum mengakhiri panggilan. Dia membelai surai-surai lembut Apo, lalu mengecup keningnya yang hangat. Oh, demam ringan rupanya. Itu pasti efek stress. Namun, tidak bisa sembuh hanya karena dia meminta maaf.
"Aku benar-benar sudah membebanimu," kata Mile sambil terpejam erat. "Aku juga memaksamu memberikan hal berharga, Apo. Dan kau akhirnya memberikannya."
Napas Apo kembang kempis di wajah sang Alpha. "...."
"Maaf .... aku benar-benar minta maaf ...." kata Mile, yang baru bisa meneteskan air matanya. "Kuharap aku pun bisa mengulang, mana yang bisa diperbaiki seandainya waktu mundur kembali."
***
2 jam sebelumnya ....
"Baiklah, kita sambut kepada Best Head Team Sales and Marketing of The Year 2015/2016: GOU Suppasit Group Nadech Kugumiya!!!"
Untuk kesekian kalinya, MC awards memberikan kejutan pada tamu undangan. Wanita berparas anggun itu menyambut sepupu Mew Suppasit di panggung. Bahkan sempat salaman sebentar. Dia yang menggantikan kursi eksekutif sejak koma sang kerabat, sanggup memberikan kesan baik dengan senyum santun.
"Terima kasih, terima kasih," kata Nadech dengan tundukan formalitas. Lesung pipinya tampak indah sekali, apalagi saat memberikan speech berbobot. Namun, kali ini Apo tidak tepuk tangan untuk si blasteran Jepang. Dia was-was dan membuat Paing menoleh, karena aura di sebelahnya mendadak berat.
"Apo, apa semuanya baik-baik saja?" tanya Paing.
Apo pun menoleh dengan senyum hambarnya. Sadar list awards semakin habis, tetapi nama perusahaannya tak pernah disebut samasekali. "Ya, baik kok, Phi," katanya. "Hanya agak kurang nyaman saja."
"Hm?" Paing pun meletakkan gelas indahnya ke meja, lalu fokus menatap Nadech. "Oh ... rasanya aku sedikit paham. Ini tentang masalah keluarga kalian kan. Aku sempat dengar semenjak pulang."
Apo mengangguk pelan. "Mn." Dia berdehem karena merasa rikuh. "Memang belum selesai. Tapi kami tetap bertindak meskipun berperang dingin."
"Oh ...." Paing pun manggut-manggut, tapi raut Apo tak berubah. Bahkan setelah Nadech turun ke kursi. Omega itu tetap antipati. Padahal Paing yakin tak ada perkara diantara mereka.
Bagaimana pun, ini tahun pertama Paing gabung di dunia bisnis. Jujur dia tidak menarget apapun. Termasuk soal rank perusahaan. Alpha itu tidak peka isi pikiran Apo. Dia bingung karena Omega ini sangat gelisah, tak peduli berapa kali memperhatikan.
"Dia juga sering mengecek arloji," pikir Paing. "Buru-buru mau kemana sebenarnya?"
"Phi ...." panggil Apo tiba-tiba.
"Ya?"
Omega itu tersenyum hambar. "Setelah dipikir-pikir, aku menyesal tidak menerima ajakanmu dulu," katanya. "Maksudku, ke Oxford. Padahal Phi sempat serius ingin membantu."
Ingatan buram Paing pun langsung teraduk. "Ahh ... waktu itu," katanya. "Ya, it's ok. Lagipula kan memang itu maumu. A choice is life, right? Kau bilang ingin dekat orangtua. Jadi, menurutku jangan menyesal. Semua pilihan ada harganya."
Harga, huh?
Apo pun tampak berpikir. "Iya, memang," katanya dengan tatapan kosong. "Tapi, melihat Phi sesukses ini. Mungkin aku dulu berada dalam lingkungan salah."
DEG
"Wait, what?" tanya Paing dengan kening mengernyit. "Apa maksudmu, Apo? Kau kan kuliah di univ yang baik juga. Kenapa malah bilang begitu."
"Yaaa ... I mean--Phi ...." Apo menatap perawakan Paing lebih jeli. Betapa menawan lelaki itu, mana mungkin jika bukan karena tempaan keras. "Persaingan Oxford pasti jauh lebih gila. Di kampusku mungkin aku yang terbaik, tapi bisa jadi karena tekanannya kurang. Phi tahu kan? Buktinya Phi sekarang sejauh ini."
Pujian yang sangat jujur. Paing pun sedikit kaget, tapi dia segera menguasai ekspresi. "Ya, terima kasih," katanya dengan senyuman. "Tapi belajar kan tidak diambil dari kampus saja. Kau bisa lakukan dari mana pun. Bahkan meski harus jatuh bangun dulu."
DEG
Jatuh, ya? Pikir Apo. Paing mungkin tak bermaksud menyindir kemerosotannya, tapi hal itulah yang justru menggampar begitu keras.
"Uh, oh ... ya," kata Apo dengan anggukan. Lelaki itu pun menyesap wine perlahan-lahan, tapi yang diteguk serasa sepahit obat. Jujur, dia iri dengan Paing dan yang lain-lain. Melirik saja tetiba merasa kecil, karena cukup banyak wajah baru yang menghiasi kursi.
Bukan hanya Paing dan Nadech saja. Tapi beberapa pewaris kini unjuk gigi satu per satu. Mereka menerima awards hingga list habis. Sementara Apo hanya diam memperhatikan.
"Aku ingin tahu apa yang dipikirkan Mile saat ini," batin Apo yang hanya bisa melihat punggung sang suami. Lelaki itu memang duduk di tempat terdepan, sedang berbincang-bincang dengan Luhiang. "Apakah cemas juga sepertiku? Kuharap ini cepat berakhir ...."
"Apo ...." gantian Paing yang memanggil saat ini.
"Ya?"
DEG
Alpha itu tiba-tiba mencabuti tisu. "Tunggu, tunggu. Diam. Apa kau sadar baru mimisan? Darahnya bisa kena dasimu ...." katanya. Refleks memberikan pertolongan pertama.
"Hah?"
Paing pun menyumbat hidung sang Omega lalu merangkulnya agar berdiri. "Sudah ayo, ikut aku sebentar," katanya sigap. "Padahal kupikir tadi aku salah lihat ...."
Meski bingung, Apo pun ikut karena darahnya semakin deras. Paing bahkan mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, tapi keramaian sambutan kala itu benar-benar gila. Mereka pun hanya diperhatikan beberapa orang, selebihnya tetap fokus ke depan panggung.
"Ah, aku ini sebenarnya kenapa?" tanya Apo setelah ditemani Paing untuk cuci muka di toilet. Omega itu menyemprotkan dexogestan dan oxymetazoline ke hidungnya. Untung langsung mampet tidak lama kemudian. Oh, Paing juga menginterogasi beberapa gejala padanya, tapi Apo yakin tidak punya penyakit serius. Dia pun menjawab apa adanya, lalu menekan hidung dengan tisu hingga yakin semuanya baik-baik saja. "Ahaha, kalau begitu terima kasih ...." tawanya setelah dengar mimisan itu hanya karena cemas yang berlebih. "Maaf merepotkanmu, Phi. Sampai pergi ke apotik segala. Padahal di tengah-tengah acara seperti ini."
Jujur, Apo merasa lucu karena itu pengalaman pertama sepanjang menekan batin. Dia belum pernah sampai seperti ini, tapi beda lagi dengan Paing Takhon. Alpha itu paling tahu kondisinya tidak sedang baik-baik saja. Sampai-sampai mengalihkan pandangannya saja tak bisa. "Apo, bisa kau lebih jujur mulai sekarang?" pintanya cukup tiba-tiba.
DEG
"Eh?"
"Kau bisa lakukan itu pada orang-orang terdekatmu, tapi ...." kata Paing dengan suara menelan. ".... silahkan datang padaku jika kira-kira ada yang bisa kubantu."
Bersambung ....
Sebuah studi yang dilakukan oleh The Anxiety and Depression Association of America menunjukkan bahwa orang dengan gangguan cemas lebih rentan mengalami mimisan mendadak, kronis, dan kambuhan__INFO