BAB 18
SEJUJURNYA, Nayu masih takjub dengan fakta Apo adalah Omega. Padahal nyata-nyata lelaki itu kini menggendong seorang baby, dan hanya sanggup duduk bersandar di rumah sakit pasca persalinan. Dia menemani Apo setelah pulang sekolah, dan kadang menggantikan tugas menggendong 4 babysitter yang full-time di tempat itu.
"Phi Apo, yang perempuan ini akan dikasih nama siapa?" tanya Nayu sambil mencoleki kaki lembut bayi itu. Dia sangat hati-hati agar tidak si bayi tidak terbangun, sementara Apo menggeleng pelan.
"Belum tahu, Mile tidak bilang apa-apa."
"Yaaah ... padahal ingin kubuatkan gelang rajut," kata Nayu kecewa. "Kalau sesuai nama kan bagus sekali."
"Hmm, nanti akan kutanyakan ulang," kata Apo. Dia tengah memegang dot untuk memberikan asupan susu ke salah satu yang digendongnya. "Sementara panggil A, B, dan C saja tak masalah."
"Shiaa, Phi!" kata Nayu. Tapi kemudian dia tertawa. "Secantik ini masak dipanggil Nona A? Ha ha ha ha ha."
Apo lega karena Nayu tidak berkomentar macam-macam soal status gender ABO aslinya. Gadis itu hanya terkejut saat diberitahu sang ibu dirinya tak di rumah. Apalagi untuk urusan USG. Namun, Nayu kini betah lama-lama di samping ketiga baby, walau ocehannya kadang membuat Apo sedikit risih.
"Phi tidak ada niat memberi nama sendiri? Kenapa harus minta pendapatnya Phi Mile?" tanya Nayu lagi. Kali ini dia tak berkedip melihat bayi ketiga yang baru ngompol.
Si bayi itu menangis kencang. Dia menjerit dengan suara kecil, apalagi saat kaki mungilnya diangkat untuk proses pembersihan.
"Oeeeeeeee! Oeeeeeeeee! Oeee!"
"Mungkin karena aku tidak pandai memberikan nama," kata Apo. Tapi beda di mulut, beda lagi di hati. Lelaki itu mengawasi sepasang mata lengket di dekapannya, lalu bibir kemerahan yang terus menyedot. "Atau lebih tepatnya, aku ingin Mile selalu ingat mereka bagian dari dirinya. Sampai kapan pun."
Apo pikir, dirinya yang mengandung pasti takkan lupa sensasi satu tubuh dengan ketiganya. Tapi, Mile? Suatu saat mungkin pacar-pacar semalamnya akan datang lagi. Dan Apo takut Mile melupakan mereka.
Bagaimana pun, rupanya sekarang jelek dan kurus. Apo juga sering merutuki bayang-bayang di bawah matanya yang tak kunjung hilang, tapi dia memendam kecemasan itu sendirian.
"Dia makin jarang pulang, tapi aku tidak bisa balik mendatangi," batin Apo. "Aku benci sekali merindukanmu seperti ini."
Apo pun mengesun muka si bayi agar orang lain tidak melihat ekspresinya yang sempat berubah. Dia berlama-lama di pipi hangat itu, lalu melepas dot begitu sudah tertidur lelap.
"Tuan Natta, boleh saya tidurkan sekarang ke baby-box-nya?" tawar seorang babysitter. Lengannya terentang ke Apo, dan bibirnya diulasi senyum. "Yang satunya sudah tertidur juga. Anda tenang saja semoga tidak menangis lagi."
"Oh, iya. Terima kasih." Apo pun mengalihkan gendongannya.
"Sama-sama. Istirahatlah, Tuan Natta," kata baby sitter itu. "Anda harus cukup tidur juga. Kami akan mengurus semuanya."
Apo malah menggeleng. "Tidak, aku masih mau melihat mereka," katanya. "Bisa tolong bawa lebih dekat? Taruh saja box-nya di sebelahku."
"Oh, baik."
Apo pun membelai-belai ubun ketiganya bergantian. "Kenapa tenang sekali? Aku pikir kalian akan sering rewel seperti waktu di perut," katanya. "Kalian ini benar-benar sehat, kan?"
Si babysitter malah tersenyum mendengar perkataannya. "Mungkin karena mereka lebih mirip Daddy-nya? Saya lihat tawa Tuan Mile
Menangkan sekali kedengarannya."
DEG
"Apa kata mereka barusan?" batin Apo dengan mata yang bergulir selidik. Meskipun begitu, babysitter satunya malah ikut-ikutan.
"Iya, pelan, tapi gemas jadinya. Apalagi kalau sedang malu. He he he. Aku senang sekali melihatnya."
"Jadi, aku tidak tenang?" kata Apo sedikit tersinggung. Senyum mereka pun berubah gugup, tapi kemudian berseloroh padanya.
"Ha ha ha, bukan begitu maksud kami," kata salah satu babysitter cepat. "Tapi Anda tetap yang paling beruntung kok. Tuan Mile benar-benar serasi dengan Anda. Uwu uwu ... pantas saja baby-baby ini imut semua."
Apa hubungannya, hei? Itu tidak menjawab pertanyaan Apo. Meskipun begitu, Apo membuang muka pada detik berikutnya. Dia berdebar aneh karena cemburu pada para babysitter ini, padahal mereka jelas tidak pantas jadi saingannya.
"Brengsek, aku ini sebenarnya kenapa?" batin Apo dengan telinga memerah.
Sore itu, kedua orangtua Apo datang dengan hadiah berupa tripple stroller. Mereka bergantian menggendong si kembar tiga, walau kaget saat orangtua Mile ikutan datang. Oh, tidak hanya itu, Nathanee juga mendorong kursi roda Pin pelan-pelan, dan wanita malang itu langsung tersenyum tipis melihat keramaian di dalam sana.
"Apo ...." sapa Pin. Pacar Pomchay itu menitikkan air mata, tapi langsung mengusapnya lagi. "Boleh ... boleh aku coba menggendong salah satunya? Aku mau merasakan sensasinya."
DEG
Apo pun terperanjat. "Ah, iya. Silahkan." Dia tersenyum segan karena sudah mendengar tentang kondisi yang menimpa wanita itu. "Kebetulan mereka sedang tertidur. Jadi kau tidak perlu khawatir akan rewel."
"Terima kasih ...." kata Pin. Wanita itu pun menangis lagi saat menggendong yang perempuan, karena bayinya yang mati memang bukan laki-laki. Dia menciumi wajah merah itu dengan suka cita, dan semua orang diam memandangnya.
"Ah, Apo. Pin juga memberikan hadiah untukmu," kata Songkit. Pria 62 tahun itu mengeluarkan sebuah kontak mobil untuk Apo, dan isinya khusus untuk melakukan travel bersama ketiga baby.
Sesayang itu Pin kepada tiga keponakannya. Dia bahkan rela merogoh isi dompet cukup besar, karena kehangatan semacam ini luar biasa baginya.
Apo sendiri sungkan saat menerima hadiah itu, tapi Pin malah memohon agar Apo menerimanya. Business Woman dan model di bidang kosmetik itu hanya ingin diperbolehkan ikut menjaga ketiga bayi, meskipun hanya sesekali.
Akhirnya, Apo pun berterima kasih dengan senyuman kecil. Dia mengajak Pin mengobrol cukup lama hingga malam, lalu wanita itu kembali ke kamarnya sendiri saat para baby sampai pada waktu istirahat total.
"Sampai jumpa, Apo," kata Pin. Wanita itu tersenyum lebar, meski ada bayang-bayang juga di bawah matanya.
"Sampai jumpa juga, Phi. Selamat malam."
"Selamat malam~"
Ah, Apo jadi tergugah semangat. Bagaimana bisa Pin sekuat itu? Sang Alpha bahkan tidak di sisinya dari awal kehamilan, tapi masih mampu melakukan hal-hal baik.
"Kalian berdua pasangan luar biasa," gumam Apo. Kini sang Omega berada di kamar sendirian dengan ketiga baby-nya. "Pasti layak jadi orangtua juga. Semoga masih ada kesempatan kedua."
CKLEK!
"Apo ...."
"Hmm?"
Mile mendadak muncul dari balik pintu itu. Pukul 9 lebih, dan lampu ruangan sudah diredupkan. Dia malah baru menyelesaikan urusan kantor, tapi langsung melepas koper kotaknya lantai.
Brugh!
"Aku mencintaimu, Apo," kata Mile. Lalu datang hanya untuk mengecup tangannya. Senyum pria itu lebar sekali, sampai-sampai Apo lupa mau marah dengan cara bagaimana.
"Sudah selesai sungguhan? Kemarin sampai jam 11."
Mereka saling berpandangan. "Kau tahu aku tetap datang?"
"Aku tahu tapi tidak mau mengurusimu. Lebih baik tidur saja daripada—"
Cup. Mile cepat-cepat mengecup bibir Apo daripada bingung. Dia mendekap sang Omega lama, dan bilang itu sedang charge batrei. "Sial, aku tadi sempat solo di mobil," katanya, langsung membuat Apo berdebar. "Harusnya sudah parkir sebelum jam 9. Tapi aku tidak bisa masuk langsung. Nanti kelepasan menyentuhmu. Hhhh ...."
Apo pun meremas jas harum suaminya. "Mesum, aku belum lewat seminggu melahirkan," katanya. "Tahan sampai dua bulan lebih. Aku bisa-bisa mati ditusuk penis monstermu."
"Ha ha ha ha ha," tawa Mile. Sang Alpha kemudian menimang bayinya satu per satu. Dia kadang ingin melihat dua mata mereka terbuka, tapi setiap pulang pasti sudah tidur lagi. "Aku ingin mendengar mereka menangis seperti waktu itu," katanya tiba-tiba. "Apa kucubit saja sekarang? Tapi aku tidak tega."
"Hah?" Kening Apo pun berkerut seketika. "Aneh. Biasanya semua ayah ingin anak-anaknya menjadi tenang. Para babysitter bahkan menyebut mereka mirip denganmu, sial. Tenang darimana, padahal kau suka terburu-buru."
"Aku selalu membayangkan mereka melihatku, Apo," kata Mile. Mata tidak bisa mengalihkan salah satu yang digendongnya. "Pasti menyenangkan dengar suara tangisnya. Apa mereka sedang menjerit 'Daddy ... Daddy ...' atau semacamnya? Mereka mungkin ingin aku datang."
"Kau pikir Cuma mereka yang ingin sering melihatmu?" batin Apo. "Kenapa tidak bawa saja tiga-tiganya? Mungkin kau ingin diberisiki saat bekerja."
DEG
"Oh, boleh?" tanya Mile dengan senyum lebar samoyed-nya.
Apo pun tercenung sejenak. "Hei, mana ada. Aku tidak benar-benar serius!" katanya. "Nanti kau takkan bisa mengurusnya, Mile. Aneh-aneh saja ayah yang satu ini."
Mile tampak sedih sekali. "Kalian pindah saja ke ruang kerjaku," katanya, antara pilu dan gemas. Sebab bibir bayinya berkuluman perlahan, bahkan bersin dan mengenai hidung Mile.
"Hatchi!"
Mile malah tertawa dan menggendongnya ke sisi jendela. "Ha ha ha ha ha. Sini ayo melihat bulan ...."
Apo pun ikutan turun meskipun nyeri dan pegal masih merambati badannya. Dia mendorong baby box itu perlahan, lalu berdiri di sebelah Mile yang menciumi bayinya.
"Kau sudah memikirkan nama mereka?" tanya Apo sambil menarik tirainya lebih menutup. Hmm, jangan sampai anginnya masuk terlalu banyak. Apo tak ingin bayi mereka kenapa-napa.
"Sudah."
"Oh, siapa?"
"Si monster, si buas, dan si gendut."
DEG
Wajah Apo langsung menggelap.
PLAKH!
"Serius sedikit, Mile Sat!" Apo memukul kepala Mile kesal. "Padahal aku sudah berharap besar padamu. Shia!"
Mile malah memindah sun sayangnya ke pipi Apo. "Hmmm ... hmmm ... Marahhh ...." katanya menggoda. "Padahal siapa yang dulu mengatai mereka begitu?"
"Aku, tapi bukan berarti harus dinamai begitu juga."
Mile pun membelai lembut rambut si bayi dengan jarinya. "Yang perempuan ini namanya Kaylee," katanya. Lalu menoleh kepada Apo. "Ah, tunggu dulu. Aku boleh pakai nama barat? Karena aku hidup lebih lama di Aussie sampai bertemu lagi denganmu."
Apo pun terbatuk pelan. "Ahem, kenapa harus minta izinku? Kan memang sudah kusuruh kau melakukannya?" katanya. "Kaylee juga bagus kok. Tinggal dua yang lain kalau begitu."
Mile justru meliriknya sekilas. "Serius tidak mau menamai salah satunya?"
Apo pun mengangguk pelan. "Hm," katanya. "Jangan ragu-ragu lagi. Aku senang-senang saja."
Mile pun mendaftarkan ketiga nama bayinya ke pembuat akta pada keesokan pagi. Pertama, Kaylee Naifern Romsaithong. Yang katanya mengingatkan Mile pada kepindahannya dari Sydney. Kedua, Blau Er Naifern Romsaithong. Yang katanya bermakna langit—walau Apo sempat tergagap salah tingkah karena membayangkan sesuatu. Dan terakhir, Edsel Naifern Romsaithong. Yang bermakna keberuntungan.
Well, Apo tahu Mile berusaha filosofis, walau akhirnya ketiga bayi tetap dia panggil dengan cara yang paling mudah.
"Jadi Kay, Er, dan Ed," kata Apo.
"Iya."
Dua hari kemudian, Mile pun menyerahkan kertas peresmian itu untuk diperiksa Apo. "Hmm
... Rasanya tetap kagum karena keluarga kita langsung banyak sekali."
Ada lima baris nama yang tercantum di dalam sana, tapi Apo malah tidak mau melihatnya lama-lama. "P-Pokoknya menurutku sudah bagus," katanya. "Tinggal jangan lupa pakai pengaman mulai sekarang."
DEG
"Apa?"
Apo pun melipir pergi sambil menepuki bokong Ed yang sedikit rewel. "Ayo, Ed. Pa akan ambil dot susu untukmu."
Mile pun terdiam lama, barulah bisa tertawa kecil karena ingat pengaman yang dibelikan Apo di tas ketiga tak pernah dipakai.
DEG
"Oiii, Poooo? Poooo! Bisa aku menawar yang soal itu? Pooo!"
Namun, Apo Nattawin Wattanagitipat tetap melarikan diri sejauh yang dia bisa.
Bersambung ....