webnovel

Ilusi

Riuh suara perawat berlarian mencari pasien yang lari atau bersembunyi, beberapa pasien terlihat memanjat gerbang besi pembatas dengan beberapa pasien lainnya sibuk menggendong boneka yang ia kira anaknya. Ada pula yang hanya diam mengamati sekitar dengan sesekali tertawa dan berganti menangis dalam beberapa detik pergantian waktu. Suasana yang nampak biasa terjadi, bahkan sepertinya hari ini nampak lebih kondusif karena hingga siang ini belum ada laporan pasien yang mengamuk atau bertengkar hingga darah berceceran. Rutinitas seperti biasa pun dilakukan, beberapa perawat memandikan pasien, ada pula yang memberi makan pasien dengan cara memberikan nampan bersekat berisi nasi, lauk dan sayur untuk pasien yang sudah bisa makan sendiri dan beberapa diberikan dengan cara disuapi layaknya anak kecil. Beberapa pasien yang berdiam diri di kamar pun di rayu untuk sedikit mengisi tenaga mereka. Hingga pada suatu ruangan gelap dengan lampu yang remang-remang seorang perawat meletakkan nampan makanan di meja sisi kamar pasien itu. Pasien yang terikat di sebuah ranjang yang awalnya terlelap kini terbelalak membuka mata.

"Mau makan dulu?" tanya perawat menawarkan makanan.

Pasien itu hanya diam dan kembali mengatupkan matanya, perawat pun keluar dari kamar pasien dan terus melanjutkan memberikan makanan pada pasien lainnya.

Desas desus perawat lain membicarakan pasien tersebut, beberapa pasien menceritakan bahwa pasien laki-laki berusia 23 tahun itu terkena ganggun jiwa karena kebiasaannya berjudi. Kesukaannya berjudi di mulai saat dirinya belum juga mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari bangku perkuliahan, lamanya ia menganggur hingga membuat dirinya putus asa dan melampiaskan kekesalannya dengan bermain judi. Satu, dua kali dirinya mendapatkan uang dari hasil berjudi, mulai dari beberapa ratus ribu hingga jutaan rupiah. Beberapa barang yang ia inginkan pun berhasil ia beli dari hasilnya bermain judi, perasaan minder dan tak percaya diri kini tak lagi bersarang dihatinya. Ia tumbuh menjadi orang yang sombong dan keras kepala, beberapa orang yang mencemoohnya saat menganggur pun ia balas. Hingga satu waktu dirinya kalah dalam permainan, uangnya habis dan ia terus merasakan kekalahan. Barang yang awalnya ia beli pun kini ia jual kembali untuk bertaruh judi. Harap-harap dirinya menang dalam sebuah permainan dan dapat membeli kembali barang itu, tetapi semua tidak seperti dugaannya. Semua barang yang ia punya habis terjual hanya untuk bermain judi, sertifikat tanah dan rumah milik orang tuanya pun habis ia gadai untuk bermain judi. Dirinya yang telah gelap mata mulai melukai orang tua yang sering menasehatinya hingga orang tuanya lelah dan angkat tangan. Kedua orang tuanya menyerah dan menyerahkannya ke rumah sakit yang mungkin bisa saja menyembuhkan anak mereka, namun bukannya membaik. Pasien itu malah semakin parah, beberapa kali melukai perawat, mengamuk dan terpaksa harus diikat di sebuah ranjang dalam ruangan gelap di sudut rumah sakit. Begitulah cerita yang berkembang di seluruh rumah sakit, baik perawat mau pun dokter meyakini cerita itu.

Pagi beranjak dan matahari kian menjunjung tinggi, teriknya matahari hingga dapat mengeringkan semua pakaian yang sedari pagi di jemur. Di tengah teriknya siang yang menyengat kulit, datanglah seorang pasien yang duduk di sebuah kursi roda dengan kaki dan tangan yang diikat dengan pakaian khusus. Di dorong seorang perawat memasuki ruang konsultasi, tatapannya yang kosong dan tubuhnya yang kuru membuat pasien itu nampak berantakan, tak lupa pula dengan rambut yang acak-acakan menunjukkan sebagaimana hancur hidupnya. Korban pelampiasan bejat keluarganya setelah kedua orang tuanya meninggal, salah seorang wanita yang mengantarkan pasien itu pun menceritakan bagaimana dan mengapa pasien itu bisa sampai ke tahap yang memprihatinkan.

Dulunya pasien itu adalah seorang gadis remaja yang ceria dan penuh cita-cita, tinggal bersama kedua orang tuanya yang kurang mampu hingga suatu ketika orang tuanya meninggal karena sebuah wabah yang merebak di desa mereka. Jadilah gadis itu tinggal bersama pamannya di sebuah kota yang cukup besar, memiliki paman dan bibi yang kejam memang salah satu derita gadis itu. Dijanjikan sekolah dan mendapat hidup yang normal adalah iming-iming semata, keperawanannya direnggut oleh paman yang ia anggap penolong satu-satunya setelah kedua orang tuanya meninggal. Dianiaya serta dilecehkan sudah menjadi makanan sehari-hari, beberapa kali dirinya kabur dan selalu tertangkap karena pamannya memiliki beberapa antek yang siap mencari gadis itu setiap kali dirinya melarikan diri. Hingga dirinya dipasung disebuah ruangan tak terpakai di rumah pamannya, tiga tahun lamanya ia mendekam di sebuah tempat yang kumuh, kotor dan dipenuhi serangga. Beruntung satu-satunya kakak kandung dari mendiang ibunya datang mencari, dirinya yang sudah tak tahan lagi pun berteriak meminta pertolongan. Semuanya terungkap bahwa selama ini keponakannya hanya menjadi pemuas laki-laki hidung belang yang datang ke rumah pamannya. Sakit hatinya teriris bilah, melihat kondisi keponakan yang ia sayangi menjadi sangat tak terurus dan berantakan. Andai saja dirinya datang lebih awal, mungkin kekejaman ini tak akan dirasakan gadis yang baru beranjak dewasa. Ditinggal orang tua dan menjadi budak pelecehan merupakan pukulan besar yang membuat gadis itu merasa takut kepada siapa aja hingga dirinya sangat mencintai kesepian. Dan beruntungnya ia dipertemukan dengan orang yang masih menyayanginya dan berharap gadis itu akan segera membaik setelah dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa karena kondisinya yang sudah tidak bisa dikondisikan, sering mengamuk dan membahayakan orang lain.

Belum sampai di situ, hari belum beranjak menuju petang. Namun pasien lain datang dengan didampingi seroang laki-laki yang mengaku sebagai kakaknya, seorang muda mudi yang nampak serasi dengan dandanan moderenisasi. Sekilas gadis itu nampak biasa saja, tidak terlihat gejala yang membahayakan yang mengharuskan dirinya menginap di rumah sakit khusus. Namun, penjelasan laki-laki itu jelas membuat dokter menaruh kasihan pada gadis yang akan menjadi pasiennya. Bagaimana tidak, gadis berusia kurang dari 20 tahun itu telah mengkonsumsi obat-obatan terlarang sejak duduk di bangku sekolah menengah, semua itu ia lakukan karena pergaulan yang sangat bebas dan tanpa pengawasan orang tua. Orang tuanya yang sibuk bekerja membuat gadis itu lepas kendali dan terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak benar, beruntungnya ketika memasuki sekolah menengah atas dirinya ketahuan oleh kakaknya. Tidak hanya berhalusinasi, gadis itu juga sering menyakiti dirinya tanpa sepengetahuan kakaknya, sedih melihat adiknya yang terlalu jauh hingga hampir bunuh diri. Laki-laki itu pun memutuskan berbohong kepada ke dua orang tuanya dan berkata akan menyekolahkan adiknya di luar kota bersama dirinya, namun bukannya bersekolah. Gadis itu terpaksa dimasukkan ke dalam rumah sakit khusus yang dapat membuat dirinya jauh dari obat-obatan terlarang dan hal berbahaya lainnya selagi kakaknya bekerja di suatu kantor yang tak jauh dari rumah sakit itu.