webnovel

We Survived the Calamity

Xie Qingcheng adalah orang terakhir yang turun dari tangga tali bersama para petugas pemadam kebakaran.

Ketika kakinya akhirnya menginjak tanah, kobaran api sudah mulai mendekat. Asap tebal yang bergulung-gulung membuat mereka sulit membuka mata. Setelah berhasil meloloskan diri dari bahaya, tim penyelamat segera berlari menghampirinya untuk memeriksa kondisinya.

Di tengah kerumunan, Xie Qingcheng melihat Xie Xue, dikelilingi beberapa dokter dan perawat. Ia segera bergegas mendekat.

"Bagaimana kondisinya?"

"Anda adalah...?"

"Saya kakaknya."

"Oh, jangan khawatir. Keadaannya sudah stabil. Tanda-tanda vitalnya normal, dan ia akan segera sadar begitu efek obatnya hilang."

Akhirnya, Xie Qingcheng menghela napas lega.

Para petugas medis memperhatikan pria tinggi yang bertelanjang dada itu. Saat itu bukanlah waktu atau tempat yang tepat untuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu, tetapi melihat sosok pria tampan dengan postur tegap seperti dirinya seolah memberi mereka energi baru. Tanpa sadar, beberapa dari mereka meliriknya lebih lama dari seharusnya saat mereka bekerja.

Namun, Xie Qingcheng tidak menyadari hal tersebut. Daya tarik bahunya yang proporsional, punggungnya yang kuat, serta pinggangnya yang ramping yang berakhir pada ikat pinggang bergesper perak tidak berarti apa pun baginya. Ia tidak pernah memperhatikan penampilannya sendiri, apalagi tatapan orang lain. Tanpa memedulikan pandangan para tenaga medis, ia mengalihkan perhatiannya dari adiknya dan kembali menatap Rumah Sakit Jiwa Cheng Kang yang masih dilahap api.

Berbagai emosi berkecamuk dalam hatinya saat ia menyaksikan kobaran api melalap atap bangunan. Dari jendela-jendela yang tertutup rapat dengan teralis besi, para pasien yang belum sempat diselamatkan menjerit ketakutan, berulang kali menghantam kaca jendela dengan tangan mereka.

"Tolong!!"

"Selamatkan kami! Kebakaran! Apinya sudah mendekat!!"

"Aku belum ingin mati... Kumohon, selamatkan aku!!"

Teralis besi yang selama ini dipasang untuk mencegah para pasien melarikan diri kini menjadi penghalang terbesar dalam proses evakuasi. Para petugas pemadam kebakaran tidak bisa menggunakan tangga tali seperti sebelumnya. Satu-satunya pilihan mereka adalah mempertaruhkan nyawa dengan masuk ke dalam gedung dan membuka setiap kamar satu per satu untuk menyelamatkan para pasien yang terjebak.

Jeritan putus asa yang menggema di seluruh bangunan mengubah Rumah Sakit Jiwa Cheng Kang menjadi neraka dunia, seakan-akan terkena kutukan Jiang Lanpei.

Di bangsal yang paling dekat dengan ruang penyimpanan linen, seorang lelaki tua terus meraung, memanggil nama ayah dan ibunya. Lelaki itu menderita demensia dan sering mengalami episode kegilaan, membuat anak-anaknya enggan merawatnya dan akhirnya mengirimnya ke rumah sakit ini.

Mungkin, di dalam hatinya, ia tahu bahwa keluarganya akan merasa lega jika ia mati.

Orang tuanya yang telah lama tiada adalah satu-satunya yang benar-benar menyayanginya. Maka, saat maut semakin dekat, ia menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil, terus menerus menjerit memanggil ayah dan ibunya…

Para petugas pemadam kebakaran mencoba menghancurkan jendela dengan paksa, tetapi semuanya sudah terlambat—ruangan lelaki tua itu terlalu dekat dengan pusat kobaran api. Di hadapan orang-orang yang hanya bisa menyaksikan, tubuhnya ditelan oleh lidah api yang membubung tinggi. Tangannya yang masih terulur melewati teralis besi akhirnya membeku dalam keabadian…

Tak seorang pun tahu, apakah di detik-detik terakhirnya ia adalah seorang lelaki tua yang ditinggalkan karena penyakitnya—atau seorang anak kecil yang merindukan kasih sayang orang tuanya.

Bibir bergetar, seorang petugas pemadam kebakaran menoleh ke arah kerumunan dan berteriak, "Di mana kuncinya? Saat kalian semua melarikan diri, ada yang membawa kunci?"

"T-tidak… Siapa yang bisa mengingat hal seperti itu di saat seperti ini…?"

"Kuncinya tergantung di kantor direktur, di lantai tiga!"

Ledakan lain yang memekakkan telinga bergema, menghancurkan kaca jendela dan menghamburkan serpihan kayu ke segala arah.

Seorang staf yang baru saja diselamatkan berdiri dan berkata, "Kawan-kawan, jangan masuk ke dalam lagi!! Itu terlalu berbahaya!!"

"Benar… Semuanya sudah terlambat… Tidak mungkin menyelamatkan mereka…"

Bahkan, seseorang berbisik pelan, "Mereka semua adalah pasien dengan gangguan parah… Semakin tinggi lantainya, semakin berat kondisi mereka. Sekalipun kalian berhasil menyelamatkan mereka, itu tidak akan ada gunanya…"

Situasi menjadi kacau.

Tiba-tiba, Xie Qingcheng melihat satu sosok berdiri di tengah hiruk-pikuk itu. Orang tersebut menatap bangunan yang terbakar sejenak, lalu berbalik pergi, berjalan menjauhi pusat perhatian semua orang, menyelinap ke semak-semak tebal, dan berbelok menuju pintu masuk utara.

Xie Qingcheng tertegun.

He Yu?!

"Maaf, izinkan saya meminjam masker."

Xie Qingcheng cepat-cepat menilai keadaan kebakaran, lalu meraih dua masker pelindung sebelum berlari mengejar He Yu.

"Hei! Kawan!" Petugas medis yang tadi terpana akhirnya sadar kembali. Sialan, meskipun pria itu tampan, bukan berarti dia boleh bertindak sebodoh ini! "Apa yang kau lakukan?!" teriaknya. "Jangan kembali ke dalam api!!"

Mengabaikan teriakan itu, Xie Qingcheng menatap punggung He Yu dan mengejarnya secepat cheetah.

Dia tidak pernah menyangka He Yu akan kembali ke dalam api—apa yang sedang dia rencanakan?

Namun, He Yu tidak menuju pintu masuk utara tempat para petugas pemadam kebakaran berkumpul. Sebaliknya, ia meraih salah satu tangga tali yang belum dilepas dan mulai memanjat kembali ke atap, tempat mereka baru saja melarikan diri. Xie Qingcheng mengikutinya. Saat mereka mendaki, api menjilat tali di bawah mereka, membakarnya hingga menjadi abu. Dengan tali yang telah habis terbakar, tidak ada harapan bagi siapa pun untuk mengikuti mereka.

He Yu melompati pagar atap dan langsung menatap area di bawah menara air. Hanya satu hal yang tersisa di sana: sesosok tubuh hangus menghitam, meringkuk dalam posisi janin.

Jasad Jiang Lanpei.

Dengan satu hentakan, He Yu membuka pintu dengan keras, matanya segera meneliti kobaran api yang semakin membesar sebelum bergegas menuju kantor direktur.

Xie Qingcheng berpikir He Yu benar-benar gila—meskipun, tentu saja, dia selalu seperti itu.

Menyusulnya, Xie Qingcheng langsung meraih lengan He Yu dan menariknya kembali keluar dari pintu, menegurnya dengan tegas, "Apa yang kau lakukan?! Kau mau mati?! Ikut aku ke pintu utara, sekarang!! Api di sisi ini belum terlalu besar. Kita masih bisa keluar!"

He Yu menatap Xie Qingcheng dengan bingung. "Lalu kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini?"

Xie Qingcheng tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Dengan sorot mata tajam, dia membentak, "Sialan, ikut aku turun!!"

"Aku tidak bisa. Kali ini berbeda. Kali ini, aku ingin menyelamatkan mereka."

"Kau—"

"Mereka adalah saudara-saudaraku. Hanya aku yang bisa menyelamatkan mereka. Hanya aku yang dapat membantu mereka keluar tepat waktu. Kau sudah mendengar apa yang dikatakan orang-orang di bawah sana. Pria tua itu terbakar hidup-hidup, begitu saja, tepat di depan mata mereka. Masih ada banyak orang yang akan mati, tetapi mereka hanya berkata, 'lupakan saja mereka.'"

Tatapan mata He Yu hampir membuatnya merasa ngeri.

Dengan suara pelan, He Yu berkata, "Orang dengan gangguan mental tidak layak untuk diselamatkan, dan dalam situasi seperti ini, mereka seharusnya ditinggalkan. Mereka pantas mati."

Ia menatap mata Xie Qingcheng. Sudut bibirnya perlahan melengkung membentuk senyuman suram yang menggigilkan tulang. "Apakah kau juga berpikir demikian, Dokter Xie?"

"Mereka mengatakan itu karena memang tidak ada cukup waktu... Bersikaplah rasional! Kau tidak mungkin membuka pintu satu per satu." Suara Xie Qingcheng sudah serak. "Tidak ada cukup waktu lagi."

He Yu tidak berkata apa-apa lagi. Ia melepaskan genggaman tangan Xie Qingcheng dengan kuat dan berlari menuju kantor.

Untungnya, kantor itu terpisah dari area yang paling hebat dilalap api oleh deretan toilet. Dulu, para pekerja konstruksi mengerjakan bangunan itu dengan asal-asalan, hanya menggunakan ubin keramik tanpa memasang rangka kayu. Akibatnya, api menyebar dengan lebih lambat di area ini.

Setelah menemukan sebuah panel besar berisi kunci-kunci yang bergemerincing di dalam kantor, He Yu segera menuju ke bagian kamar pasien di lantai tiga yang masih belum tersentuh oleh api.

"Tolong..."

"Selamatkan kami!!"

"Aku belum ingin mati... Aku belum ingin mati!!!"

"Waaah, apakah api neraka telah sampai ke sini? Ini adalah api iblis!!"

Lampu di sepanjang koridor sudah lama padam. Isak tangis memenuhi kedua sisi lorong, tetapi masih ada lebih banyak ruangan yang sudah tidak mengeluarkan suara sama sekali…

Kunci-kunci itu memiliki label nomor kamar. He Yu mengambil kunci untuk kamar terdekat dan mulai membuka pintu.

Saat Xie Qingcheng akhirnya berhasil menyusul He Yu lagi, ia sudah membuka pintu pertama. Seorang wanita dengan rambut acak-acakan berlari keluar sambil berteriak histeris. Jantung Xie Qingcheng berdegup kencang—wanita itu benar-benar kehilangan kendali.

Dalam keadaan seperti ini, bahkan orang yang sehat sekalipun bisa kehilangan akal, apalagi para pasien di sini.

Dengan jeritan tajam, wanita itu berlari ke arah api seperti ayam tanpa kepala. Xie Qingcheng hendak menghentikannya ketika melihat He Yu meraih dan menariknya kembali. "Jangan ke sana!" kata He Yu.

"Dia tidak akan mendengarkanmu—" Xie Qingcheng mulai berkata.

"Api! Ada api!!!" wanita itu menjerit.

Sebuah kilatan membuat perhatian Xie Qingcheng teralihkan dari kekacauan itu. Ia melihat He Yu memegang pisau yang diambil dari kantor. He Yu menggenggamnya dengan satu tangan dan menggores telapak tangannya sendiri.

Darah segera mengalir dari lukanya. Awalnya, Xie Qingcheng tidak mengerti maksudnya, tetapi seperti komputer yang menampilkan kembali data lama, ia tanpa sadar mengingat sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.

Detik berikutnya, matanya membelalak saat melihat He Yu mengambil salah satu gantungan kunci dari panel dan melumuri kunci-kunci itu dengan darahnya sendiri. Dengan suara lembut namun penuh perintah, He Yu berkata kepada wanita itu, "Ambil gantungan kunci ini dan buka pintu-pintu lainnya. Setelah membuka setiap pintu, berikan beberapa kunci kepada orang di dalamnya dan perintahkan mereka untuk membuka lebih banyak pintu lagi. Cepatlah. Semakin cepat kau bergerak, semakin banyak pasien yang bisa kita selamatkan. Pergilah."

Sebuah kejadian mengerikan baru saja terjadi. Saat wanita yang sebelumnya dalam keadaan histeris itu mencium aroma darah He Yu, matanya tiba-tiba menjadi sangat tenang, seolah-olah ia baru saja disuntik dengan obat penenang.

Seakan-akan darah He Yu telah memicu suatu refleks di otaknya melalui indra penciuman, sehingga ia dapat dikendalikan olehnya.

Wanita itu mengambil gantungan kunci dan segera berlari menuju pintu-pintu besi lainnya.

Meskipun hanya berlangsung beberapa saat, kejadian itu membuat seluruh tubuh Xie Qingcheng menggigil hingga ke ujung jemarinya.

Kasus #4, He Yu.

Kemampuan komorbid yang ia manifestasikan setelah mencapai usia dewasa adalah…

Darah Gu!

Di antara semua kemampuan yang dikaitkan dengan psychological Ebola yang telah dikompilasi melalui pemodelan komputasi, inilah kemampuan yang keberadaannya selalu dianggap paling meragukan.

Karena keterbatasan data klinis mengenai penyakit ini, komunitas medis hanya dapat merujuk pada tiga kasus sebelumnya dan merancang serangkaian model komputasi untuk mensimulasikan kondisi pasien di masa depan. Dari situ, dapat disimpulkan bahwa, selain memiliki karakteristik dasar yang sama, setiap pasien dengan jenis gangguan mental ini memiliki kemampuan komorbid yang unik.

Singkatnya, penyakit ini akan terus berkembang di dalam tubuh. Karena setiap individu memiliki gen yang berbeda, jalur evolusi penyakit ini juga akan bervariasi pada setiap orang. Diferensiasi ini umumnya terjadi seiring bertambahnya usia pasien, kemudian menjadi stabil dan sepenuhnya terlihat saat mereka mencapai usia dewasa.

Kemampuan komorbid yang berkembang pada Kasus #1 adalah hiperosmia akut, atau peningkatan tajam dalam kepekaan terhadap bau.

Penyakit ini mengubah saraf olfaktori pasien, membuat indra penciumannya menjadi sangat sensitif. Secara umum, epitel olfaktori pada anjing empat kali lebih sensitif dibandingkan manusia. Setelah penyakit ini bermutasi, kemampuan penciuman Kasus #1 menjadi lebih dari delapan kali lipat manusia rata-rata. Bahkan bau yang paling samar di udara dapat mengiritasi saraf olfaktorinya dan menyebabkan penderitaan luar biasa, sehingga ia menjadi semakin tidak stabil secara mental.

Kasus #2 dan Kasus #3 juga menunjukkan kemampuan komorbid unik sebelum mereka meninggal dunia.

Namun, dalam Kasus #4, He Yu, ia tidak menunjukkan tanda-tanda diferensiasi penyakit selama berada dalam perawatan Xie Qingcheng.

Awalnya, Xie Qingcheng berpikir bahwa mungkin diferensiasi penyakit dalam psychological Ebola tidak terjadi pada semua pasien—mungkin He Yu adalah pengecualian. Ia tidak pernah menyangka bahwa, di antara semua kemampuan yang diprediksi oleh pemodelan komputasi, He Yu justru memiliki kemampuan komorbid yang paling mengerikan—darah Gu.

Darah Gu ini berarti bahwa, dalam kondisi tertentu, darah He Yu memiliki kekuatan hipnotis yang dapat membujuk orang lain, terutama mereka yang mengidap gangguan mental. Seperti serotonin, darahnya dapat menstabilkan suasana hati pasien secara instan. Seperti obat terlarang, darahnya dapat merangsang sistem penghargaan di otak pasien, menyebabkan mereka memiliki ilusi bahwa dengan mengikuti perintahnya, mereka akan menerima lebih banyak "hadiah." Dengan cara ini, pasien akan berada di bawah kendali ucapan He Yu, seolah-olah mereka sedang mabuk.

Kesimpulan yang dicapai oleh para peneliti saat itu hanyalah dugaan belaka. Ketika model komputasi memprediksi varian penyakit darah Gu, beberapa peneliti bahkan menolak untuk mempercayai hasilnya.

Namun kini, para pasien yang berada di bawah pengaruh He Yu mulai membuka pintu-pintu, satu demi satu.

Kecepatan mereka sangat mencengangkan. Dengan setiap pintu yang terbuka dan setiap pasien yang diselamatkan, semakin banyak yang jatuh di bawah pengaruh He Yu, dan semakin banyak pula yang ikut menyelamatkan orang lain.

Dengan efisiensi layaknya satuan tentara terlatih, para pasien yang mabuk oleh darah He Yu mendistribusikan kunci-kunci itu dan membuka semua pintu yang ada.

Terjemahan dalam Bahasa Baku:

He Yu bergerak di antara mereka dengan ekspresi tegas, layaknya seorang pemimpin spiritual yang tengah mengamati jemaatnya. Ia melangkah cepat menuju ujung koridor, ke pintu utara—satu-satunya jalur keselamatan yang tersisa. Suara para petugas pemadam kebakaran sudah bergema di sepanjang koridor; mereka akan segera mencapai lantai tiga.

Namun, pada saat itu, api di ujung koridor telah semakin mendekat, melesat ke arah mereka bagaikan naga api yang mengaum, disertai gelombang asap pekat yang mencekik, seolah ingin membinasakan mereka di koridor suram ini dengan gas beracun dan panas yang membakar.

Tidak ada air di sini, juga tidak ada cara untuk membasahi kain guna menutupi wajah mereka; satu-satunya pilihan adalah bergerak lebih cepat.

Berdiri di depan pintu tahan api, He Yu sedikit menoleh sebelum memberi perintah kepada para pasien. "Rendahkan tubuh kalian sebisa mungkin dan ikuti jalur ini. Turun ke bawah dan temui petugas pemadam kebakaran. Cepat."

Para pasien maju ke koridor dengan kepatuhan dan koordinasi yang begitu mekanis hingga bahkan zombie yang dikendalikan pikiran dalam film fiksi ilmiah pun tidak bisa dibandingkan dengan mereka.

Ketika pasien terakhir telah berlari menuruni tangga, kobaran api sudah sangat dekat. Asap semakin tebal, menyisakan hanya lapisan tipis udara yang dapat dihirup di dekat lantai. He Yu mengawasi saat Xie Qingcheng mendekatinya dengan ekspresi yang penuh ketidaknyamanan. Tanpa sepatah kata pun, ia hanya bergeser ke samping, memberi jalan agar Xie Qingcheng juga bisa masuk ke koridor.

Pintu tahan api tertutup di belakang mereka dengan bunyi gedebuk berat, untuk sementara waktu menghentikan laju naga api yang mengejar.

Di dalam koridor yang gelap, sepasang mata dingin bak biji almond bertemu dengan sepasang mata yang terkejut bak kelopak bunga persik.

"Xie Qingcheng. Jangan beri tahu siapa pun."

Warna wajah Xie Qingcheng berubah pucat pasi, tetapi ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Alih-alih berbicara, ia menyerahkan sebuah masker gas kepada He Yu dan berkata, "Ambil ini. Ayo pergi."

Api terus membakar di balik pintu tahan api saat He Yu dan Xie Qingcheng bergegas turun, mengikuti para pasien yang telah diselamatkan.

"Ge!! Ge!!"

Xie Qingcheng dan He Yu adalah dua orang terakhir yang berhasil keluar di bawah perlindungan tim pemadam kebakaran. Dua teriakan dengan suara yang hampir pecah karena emosi menyambut mereka. Xie Qingcheng melepas maskernya saat melihat Xie Xue, yang kini telah sadar, berlari ke arahnya dengan wajah penuh air mata. Ia berlari begitu cepat hingga sepatu yang ditemukan petugas pemadam kebakaran untuknya terlepas dari kakinya.

"Ge, aaaaaaah… Dage!! Dage!! Apa kau mencoba membuatku mati ketakutan? Hah, huh?! Aku pikir kau juga akan meninggalkanku!! Bahkan kau!! Ge, waaaah…"

Ia langsung melompat ke dalam pelukan Xie Qingcheng dan memeluknya begitu erat hingga hampir meremukkan pinggang kakaknya. Suara ledakan dan jeritan orang-orang yang tidak sempat diselamatkan masih bergema di sekitar mereka…

Xie Xue begitu ketakutan, seakan-akan seluruh darah telah tersedot keluar dari tubuhnya, menyisakan hanya kulit tipis yang pucat di dunia manusia. Namun, saat ia berada dalam dekapan erat kakaknya yang tinggi, terisak-isak sambil menghirup aroma Xie Qingcheng, detak jantungnya akhirnya kembali normal, dan darah hangat kembali mengalir dalam nadinya.

Air mata mengalir deras di wajahnya, membentuk bercak-bercak seperti corak bulu kucing. Ia membuka mulut dan menangis tersedu-sedu tanpa peduli pada penampilannya, tersendat-sendat saat berteriak, "Kau tidak boleh meninggalkanku seperti Ayah dan Ibu!! Kau tidak boleh, Dage!! Aku sangat takut… Aku benar-benar sangat takut… Peluk aku, peluk aku!!"

"Semuanya baik-baik saja, oke? Semuanya baik-baik saja."

Xie Qingcheng jarang menerima luapan emosi yang begitu intens. Meskipun cintanya terhadap keluarganya sangat dalam, ia cenderung mengekspresikannya dengan cara yang tertahan, sering kali hanya melalui teguran.

Namun, pada saat ini, ia pun merasa sulit untuk mempertahankan sikap biasanya. Ia memeluk adiknya yang gemetar di balik mantel panjang dan menundukkan kepala untuk mencium rambutnya yang kusut seperti sarang burung. Sudut matanya memerah saat ia berbicara dengan nada menenangkan, "Semuanya baik-baik saja, Xie Xue."

Xie Xue menangis tersedu-sedu dalam pelukan Xie Qingcheng untuk waktu yang lama sebelum akhirnya melihat He Yu. Meskipun baru saja mulai tenang, ia kembali menangis histeris dan langsung melemparkan dirinya ke dalam pelukan He Yu—atau lebih tepatnya, ia menyeret He Yu mendekat dan memeluk keduanya sekaligus. Akibatnya, He Yu terhimpit erat di antara Xie Qingcheng dan Xie Xue.

Ekspresi canggung muncul di wajah tampan dan halus He Yu. Ia belum pernah berada sedekat ini dengan pria lain sebelumnya, dan mengingat bahwa pria tersebut adalah Xie Qingcheng, ia merasa sangat tidak nyaman. Sekilas melihat ekspresi Xie Qingcheng sudah cukup untuk menyadarkan bahwa perasaan mereka berdua sama.

Namun, demi mempertimbangkan Xie Xue, keduanya tidak bergerak. Mereka membiarkan Xie Xue merangkul mereka bertiga dalam pelukan erat, menciptakan sepotong kecil momen kebersamaan di tengah kekacauan yang berlangsung.

"Tolooong! Tolong aku!! Kawan-kawan! Ada orang di sini! Aku di sini!!"

Seorang pria berambut putih keabu-abuan menjerit ketakutan di sebelah pintu lift Rumah Sakit Jiwa Cheng Kang. Ia adalah salah satu direktur tertua di Cheng Kang, sekaligus teman Liang Jicheng. Baru-baru ini, kakinya patah akibat bermain polo dengan Liang Jicheng, memaksanya untuk sementara waktu bergantung pada kursi roda. Jika bukan karena beberapa urusan yang harus ia selesaikan di kantor hari ini, ia tidak akan berada di sana sama sekali.

Pria itu gemetar di atas kursi rodanya, air seni mengalir di sepanjang celana panjangnya yang sudah basah kuyup. Baru kali ini ia merasakan betapa menakutkannya berada dalam kondisi di mana ia tidak dapat merawat dirinya sendiri. Api yang berkobar semakin mendekatinya, dan meskipun ia mungkin tahu bahwa lift tidak bisa digunakan—bahwa lift itu mungkin sudah rusak—ia tetap panik menekan tombolnya berulang kali.

"Cepat! Cepat… Seseorang tolong selamatkan aku… Aku punya uang… Siapa pun, tolong aku… Aku punya banyak uang!"

Otot-otot di pipinya berkedut hebat, kejang karena kecemasan.

Tiba-tiba, seolah langit telah mendengar permohonannya, seseorang yang mengenakan masker gas dan tampak seperti petugas pemadam kebakaran muncul dari lorong darurat yang gelap gulita dan melihatnya terkulai di kursi roda.

Bagi pria itu, sosok tersebut bagaikan dewa penyelamat yang muncul di hadapannya. "Kawan!! Tolong aku!! Cepat, selamatkan aku!!!"

Lubang hidungnya berkedut karena agitasi, butiran keringat halus menggantung di kulit pucat hidungnya. Pupil matanya melebar karena kegembiraan, memantulkan sosok orang yang berjalan mendekatinya dengan perlengkapan pemadam kebakaran di tangan.

Namun, sesaat kemudian, ia membeku, dan pupil matanya tiba-tiba menyusut.

Sebuah seringai sinis tersirat dari balik kacamata pelindung orang yang mengenakan seragam pemadam kebakaran itu. Lalu, mereka membuka tutup peralatan yang mereka bawa… Itu bukan alat pemadam api! Itu adalah… bensin!!!

"K-kau… kau—!"

"Tempat busuk Cheng Kang ini sudah tidak bisa diselamatkan. Aku adalah 'petugas kebersihan' yang mereka kirim untuk membersihkan tempat ini." Suara seorang pria terdengar teredam dari balik masker. "Silakan habiskan uangmu di dunia lain."

"TIDAK!!!"

Orang yang baru datang itu melemparkan bensin dan pemantik api ke arah wajah pria yang panik dan terpelintir dalam ketakutan.

Sebuah ledakan dahsyat menggema di udara, dan wajah itu, yang kini terdistorsi dalam kesakitan, tampak seperti sosok dalam lukisan The Scream karya Edvard Munch saat api melahapnya sepenuhnya…

Bab berikutnya