Di medan perang yang penuh dengan teriakan dan derap langkah tentara, Rin, seorang gadis muda berusia 17 tahun, merasa kejenuhan yang mendalam dengan siklus kekerasan yang tak ada habisnya. Saat orang tuanya tewas dalam serangan tak terduga, api kemarahan meloncat di dalam dirinya.
Tanpa ragu, Rin mengambil langkah maju, melawan tentara musuh yang menduduki tanahnya. Dengan keberanian dan ketangguhannya, dia merebut pedang dari seorang prajurit musuh yang terkejut, dan dengan cepat membunuh satu per satu musuh yang berani menantangnya.
Rin menatap prajurit itu dengan mata yang penuh dengan rasa trauma dan kebencian yang mendalam. Dia merasa kejijikan pada aksi kekerasan yang baru saja dilakukannya, tetapi juga merasa semacam kelegaan yang aneh karena melindungi dirinya sendiri.
Rin: "Aku... aku tidak ingin melakukan ini... Tapi mereka telah membunuh orang tuaku. Mereka harus dihentikan..."
Prajurit Musuh: "Tolong... jangan lakukan ini... Aku... aku tidak ingin mati..."
Rin merasa kebingungan, terjebak antara rasa kebencian dan belas kasihan. Dia tahu bahwa tindakannya tidak bisa diurungkan, tetapi hatinya terasa berat dengan beban yang dia bawa.
Rin: "Maafkan aku... Maafkan aku atas apa yang harus aku lakukan..."
Sebelum Rin bisa menyelesaikan kalimatnya, suara teriakan peringatan dari sekutunya memecah keheningan. Sesuatu yang tidak terduga terjadi, mengubah nasib pertempuran mereka.
Rin, terisak-isak, merasa kehilangan dan kelelahan setelah pertempuran sengit yang baru saja terjadi. Tersungkur di tanah yang basah oleh air hujan, dia merasakan derasnya air hujan yang menetes di wajahnya, seolah menambahkan kedalaman kesedihannya.
Rin: "Mengapa ini terjadi? Mengapa aku harus kehilangan semuanya? Orang tua... mereka tidak akan pernah kembali..."
Dalam kesendiriannya yang menyedihkan, Rin tidak menyadari bahwa seorang tentara dari wilayahnya sendiri telah mendekatinya. Melihat Rin yang terluka dan hancur, dia segera melangkah maju untuk menawarkan bantuan.
Tentara Kekaisaran: "Hei, apa yang terjadi? Apakah kau baik-baik saja?"
Rin menoleh, mata merah dan berkabut oleh air mata yang tak berhenti mengalir. Dia terkejut melihat tentara dari wilayahnya sendiri.
Rin: "Aku... aku tidak tahu lagi. Semuanya terasa seperti mimpi buruk... Orang tuaku... mereka... mereka..."
Tentara Kekaisaran: "Aku paham... Pertempuran ini telah membawa banyak kesedihan. Tapi jangan khawatir, kami di sini untuk membantu. Ayo, mari kita bawa kau ke tempat yang aman dan berikan perawatan yang kamu butuhkan."
Rin mengangguk lemah, merasa sedikit lega mendapatkan bantuan dan dukungan dari seseorang yang familiar. Meskipun hatinya masih berat, dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya.
"Dia menggendong Rin"
Tentara Kekaisaran: "Aku tahu rasanya kehilangan yang begitu besar, Rin. Bahkan dalam kegelapan terdalam, kita harus mencari sinar kecil harapan. Aku memiliki istri dan anak yang menunggu di rumah. Mereka adalah alasan mengapa aku terus maju, bahkan dalam keadaan yang penuh dengan ketidakpastian."
Rin, meskipun masih terluka dan hancur, merasa tersentuh oleh kata-kata tentara tersebut. Dia mengangkat kepalanya, mencoba menahan air mata yang terus mengalir.
Rin: "Terima kasih... Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa bantuanmu. Keluargamu pasti bangga memiliki seseorang seperti kamu yang begitu berbakti."
Tentara Kekaisaran tersenyum lembut, merasakan kehangatan dalam pertukaran kata-kata mereka di tengah dinginnya hujan dan keheningan perang.
Tentara Kekaisaran: "Kita semua memiliki tanggung jawab untuk terus maju, untuk orang-orang yang kita cintai dan untuk masa depan yang lebih baik. Kita harus saling mendukung, tidak peduli dari mana kita berasal."
Rin mengangguk.
Dia tetap membawa Rin ke tempat Aman dan berbicara kepada Rin dia tidak ingin mental sebuah anak muda terganggu.
Tentara Kekaisaran: "Rin, di sini adalah tempat peristirahatan sementara bagi kita. Meskipun tempat ini tidak seindah rumah, setidaknya kita bisa beristirahat sejenak dari kekacauan perang."
Dia menawarkan sepotong permen kepada Rin dengan senyum lembut.
Tentara Kekaisaran: "Anakku suka permen ini. Dia jauh lebih muda dari kamu. Tapi saya yakin, kamu juga akan menyukainya."
Rin menerima permen tersebut dengan tangan gemetar, tersentuh oleh kebaikan hati tentara tersebut.
Rin: "Terima kasih... Terima kasih banyak atas segalanya. Aku... aku benar-benar bersyukur bisa bertemu denganmu dan mendapat bantuanmu."
Tentara Kekaisaran: "Tidak perlu berterima kasih, Rin. Kami semua di sini untuk saling membantu. Ayo, mari kita istirahat sejenak dan kumpulkan kekuatan untuk apa pun yang menunggu di depan."
Dengan perasaan haru dan terima kasih yang mendalam, Rin dan tentara kekaisaran itu duduk bersama.mereka memulai percakapan basa basi yang ntah kemana alurnya.
Tentara Kekaisaran: "Rin, cuaca memang tidak bersahabat hari ini, tapi setidaknya kita aman di sini. Bagaimana keadaanmu?"
Rin: "Ya, saya baik-baik saja, terima kasih atas perhatiannya. Ini pertama kalinya saya berada di tengah-tengah medan perang seperti ini..."
Tentara Kekaisaran: "Saya mengerti, Rin. Ini tidak mudah bagi siapa pun. Tapi jangan khawatir, aku akan menjagamu. Oh ya, perkenalkan, saya Kaito. Panggil saja saya Kaito."
Rin tersenyum, merasa lega dengan suasana hangat yang diciptakan oleh Kaito.
Rin: "Senang bertemu denganmu, Kaito. Terima kasih atas segalanya."
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan mereka, seorang tentara yang lain mendekati tenda mereka dengan berita yang mendesak.
Tentara Lain: "Maaf mengganggu, tapi kita harus bersiap-siap. Musuh mendekat dan kami akan segera memulai serangan balasan. Segera kumpulkan pasukanmu."
Kaito mengangguk serius, menanggapi panggilan tugas dengan cepat.
Kaito: "Saya harus pergi, Rin. Tapi ingatlah, kita akan bertemu lagi. Pertahankan dirimu dengan baik."
Sebelum dia pergi, Kaito menatap Rin dengan tulus.
Kaito: "Namaku Kaito. Jangan ragu untuk memanggilku jika kamu membutuhkan bantuan, baik?"
Rin mengangguk dengan mantap, merasakan semangat baru dalam dirinya.
Rin: "Aku akan melakukannya, Kaito. Terima kasih atas semuanya."
Dengan perasaan yang bercampur antara harapan dan kekhawatiran, Rin dan Kaito berpisah, masing-masing bersiap untuk menghadapi pertempuran yang akan datang.
Rin menatap genangan air di depannya, wajahnya tercermin di permukaan yang tenang. Di dalam hatinya, bayangan kematian orang tuanya masih terus menghantuinya.
Rin: "Orang tuaku... mereka tidak akan pernah kembali, bukan?"
Suara Rin terdengar lirih, penuh dengan kesedihan dan kerinduan yang mendalam. Meskipun telah dihibur oleh Kaito, rasa kehilangan itu masih menghantui pikirannya.
Namun, kali ini, Rin merasa bimbang tentang bagaimana cara dia harus maju, bagaimana dia bisa menemukan kekuatan untuk terus bergerak maju.
Rin: "Aku tidak tahu lagi... Bagaimana aku bisa melangkah maju, saat hatiku masih berduka dan hampa?"
Suara angin yang bertiup pelan membawa kesan hening di sekitarnya, seolah memberi waktu bagi Rin untuk merenung.
Rin: "Aku harus kuat... aku tahu itu. Tapi kadang-kadang rasanya begitu sulit..."
Meskipun bimbang itu masih merajalela di dalam dirinya, kelelahan akibat perang dan emosi yang merayap membuat Rin tertidur di tempat duduknya, rintihan pelan keluar dari bibirnya saat dia memasuki alam mimpi yang penuh dengan ketidakpastian dan kegelapan, dia tertidur.
Tentara: "Maaf mengganggu, Rin. Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Aku melihat kamu tertidur di sini dan memutuskan untuk membuatkanmu makanan."
Rin, dengan mata yang masih kabur, mencoba memfokuskan pandangannya pada sosok yang ada di depannya.
Rin: "Ah... terima kasih... Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi..."
Tentara itu tersenyum lembut, memahami keadaan Rin.
Tentara: "Tidak apa-apa, Rin. Ini hanya sedikit makanan sederhana, semoga bisa menghangatkan perutmu di tengah dinginnya cuaca ini."
Rin mengangguk lemah, merasa sedikit lega dengan kebaikan hati tentara tersebut.
Rin: "Terima kasih... aku sangat berterima kasih atas bantuannya. Aku merasa lapar..."
Tentara: "Silakan, coba makan. Sup ini mungkin bisa sedikit membawa kembali semangatmu."
Rin mulai memakan makanan yang disajikan oleh tentara tersebut. Meskipun matanya masih kabur dan pikirannya masih berkabut, rasanya aneh dan nyaman merasakan makanan di mulutnya.
Rin: "Ini... ini sup kentang, bukan?"
Tentara itu tersenyum lembut, mengangguk mengonfirmasi.
Tentara: "Ya, sup kentang. Aku mendengar dari kaito kamu menyukainya, jadi aku memutuskan untuk membuatnya untukmu."
Rin menutup matanya sejenak, terbawa oleh aroma dan rasa yang dikenalnya dari masa kecilnya.
Rin: "Terima kasih... Ini sangat enak. Ini seperti yang ibuku biasa buat..."
Air mata mulai menetes di pipi Rin, teringat akan kenangan manis bersama ibunya.
Tentara itu merangkul Rin dengan lembut.
Tentara: "Kamu tidak sendirian, Rin. Kita semua di sini untuk saling mendukung. Dan meskipun orang tuamu mungkin tidak ada di sini, mereka selalu ada di hatimu."
Dalam pelukan tentara tersebut, Rin merasakan kehangatan dan dukungan yang diberikan oleh teman barunya di medan perang ini.
Tentara: "Ketika aku masih muda, aku selalu bermimpi menjadi prajurit yang kuat, seperti yang aku lakukan sekarang. Tapi aku tidak pernah membayangkan betapa sulitnya perang ini..."
Rin, meskipun tertidur, mendengarkan dengan lemah cerita yang dibagikan oleh tentara tersebut, suaranya terbawa oleh hembusan angin yang masuk melalui sela-sela tenda.
Tentara: "Tapi melihatmu, Rin, membuatku yakin bahwa kamu bisa melalui ini. Kita memiliki tekad yang sama, untuk melindungi yang kita cintai dan memperjuangkan masa depan yang lebih baik."
Dengan penuh harap, tentara itu meninggalkan tenda, meninggalkan Rin yang masih tertidur lemah di kasurnya dengan hangatnya sup kentang yang masih tersisa.
Rin, meskipun dalam tidurnya yang lemah, merasakan sedikit kehangatan dari kata-kata yang telah dibagikan oleh tentara tersebut. Dalam dunianya yang terbawa mimpi, dia merasakan semangat baru yang membara, siap untuk terus melangkah maju meskipun dalam kegelapan yang mengelilinginya.
Rin mempertahankan pandangannya dari tempat tidurnya, matahari pagi memancarkan sinar hangat melalui jendela tenda. Suara ramai dari luar menarik perhatiannya saat dia mempercepat langkahnya menuju pintu tenda.
Namun, dalam kekacauan yang berlangsung di luar, Rin tidak bisa menemukan Kaito di antara kerumunan tentara yang kembali. Hatinya berdesir cemas, mencari sosok yang telah memberinya semangat di hari sebelumnya.
Rin: "Kaito... di mana dia?"
Dia bertanya kepada beberapa tentara yang berlalu, tetapi jawaban mereka tidak memberikan kepastian. Rin merasa gelisah saat dia terus mencari, harapannya semakin tipis.
Rin: "Dia pasti harus ada di sini... dia tidak bisa pergi begitu saja..."
Namun, semakin Rin mencari, semakin jelas bahwa Kaito tidak ada di sana. Dalam kebingungannya, Rin merasa kehilangan salah satu benteng terakhirnya di tengah-tengah kekacauan perang ini.
Rin terus mencari dengan tekad yang tak kenal lelah, harapan untuk menemukan Kaito masih membakar di hatinya. Saat tentara yang malam sebelumnya telah membuatkannya sup mendekatinya lagi, Rin merasa getaran kekhawatiran di perutnya.
Tentara: "Rin, aku punya kabar tentang Kaito. Ayo, aku akan membawamu ke tempatnya."
Rin mengikuti tentara itu dengan langkah gemetar, hatinya dipenuhi dengan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Saat tiba di tempat yang dituju, Rin melihat Kaito dilapisi oleh kain putih, terbaring tenang di bawah sinar matahari pagi. Wajahnya damai, seolah-olah dia sedang tertidur dengan nyenyak.
Rin terdiam, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kesedihan melanda hatinya dengan kekuatan yang menghancurkan.
Rin: "Kaito..."
Dia melangkah mendekat, tangan gemetar menyentuh kain putih yang menutupi tubuh yang telah tiada. Dia merasakan secercah kehangatan yang masih tersisa, namun kehampaan dan kehilangan yang mendalam juga terasa begitu nyata.
Tentara yang mendampinginya menyampaikan cerita tentang bagaimana Kaito berkorban untuk melindungi seorang gadis kecil dari hujan peluru, dengan punggungnya yang berdiri tegak sebagai perisai.
Rin: "Kaito... Kau benar-benar seorang pahlawan."
Dia menangis dengan penuh penghormatan dan kesedihan, mengucapkan doa terakhirnya untuk Kaito yang telah berkorban dengan begitu mulia. Meskipun hatinya hancur, dia juga merasa terinspirasi oleh keberanian dan pengorbanan Kaito, bertekad untuk terus melangkah maju dan menjaga semangat perjuangan yang telah dia warisi.
Rin, meskipun air mata masih mengalir di pipinya, merasa semangat yang baru membara di dalam dirinya. Dengan tekad yang membulat, dia berbalik kepada tentara di sebelahnya dengan sikap tegas.
Rin: "Tolong, antar aku ke kapten pasukan sekarang juga."
Tentara itu terkejut dengan perubahan tiba-tiba dalam sikap Rin, tetapi segera mengangguk setuju, merasakan keputusan yang mendesak di balik permintaan Rin.
Tentara: "Baiklah, ikutlah aku."
Mereka bergegas meninggalkan tempat Kaito yang masih terbaring dengan damai, menuju ke markas kapten pasukan. Rin menggenggam erat pedang kaito, tekadnya membara untuk melanjutkan perjuangan dan membalas pengorbanan Kaito dengan membela yang lemah dan melawan kejahatan dengan segala kekuatan yang dimilikinya.
Setelah sampai di tenda kapten, kapten pun menyambut Rin dengan baik. Rin duduk di hadapan kapten dengan tatapan serius, memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi yang muncul dari wajahnya.
Rin: "Kapten, saya harus menceritakan sesuatu yang penting. Orang tua saya telah meninggal dalam serangan musuh, dan saya... saya membunuh 42 pasukan musuh sendirian dalam pertempuran itu."
Tak lupa dia meminta untuk bergabung dengan tentara kekaisaran.
membuat wajah Kapten terlihat serius dan berpikir.
Kapten: "Saya turut berduka atas kehilanganmu, Rin. Namun, saya perlu memastikan keberanianmu. Bersiaplah."
Tanpa aba-aba, Kapten mencoba menebas Rin dengan pedangnya, menguji reaksi dan kemampuannya.
Rin, dengan refleks yang cepat, berhasil menangkis serangan Kapten dengan pedangnya, matanya bersinar dengan keberanian.
Rin: "Saya siap menghadapi ujian, Kapten."
Setelah insiden itu, Kapten melanjutkan pembicaraan dengan lebih serius, mempertimbangkan kata-kata Rin dengan cermat.
Kapten: "Rin, kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Aku meminta maaf atas ujian tadi, namun itu dilakukan untuk menguji keteguhanmu. Jika kau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan tentara kekaisaran, kau harus siap menghadapi segala tantangan dan bahaya yang mungkin terjadi."
Rin, dengan mata yang berkilat penuh semangat, memohon untuk bergabung dengan tentara kekaisaran, siap untuk menghadapi segala tantangan yang mungkin terjadi.
Rin: "Tolong, izinkan saya bergabung dengan tentara kekaisaran. Saya siap untuk melindungi keadilan dan perdamaian."
Dengan tatapan tajam yang penuh evaluasi, Kapten akhirnya memberikan persetujuannya.
Kapten pun menanggil pengawalnya dan memberikan surat rekomendasi dan menyuruh membawa Rin ke pusat tentara kekaisaran.
Kapten: "dia memanggil Pengawal. Segera siapkan surat rekomendasi untuk Rin dan antar dia ke pusat tentara kekaisaran."
Pengawal: "Baik, Kapten."
Pengawal segera melangkah keluar tenda untuk menyiapkan semua yang diperlukan. Kapten kemudian menoleh kembali ke Rin dengan senyum kecil.
Kapten: "Selamat, Rin. Kamu telah membuktikan dirimu. Aku yakin kamu akan menjadi aset yang berharga bagi tentara kekaisaran. Teruslah berjuang dan jaga semangatmu."
Rin tersenyum, penuh rasa syukur atas dukungan dan kesempatan yang diberikan oleh Kapten.
Rin: "Terima kasih, Kapten. Saya tidak akan mengecewakanmu."
Dengan itu, Rin dan pengawalnya bersiap untuk perjalanan ke pusat tentara kekaisaran, siap untuk memulai babak baru dalam kehidupannya sebagai seorang prajurit.