29 Desember, 2030.
Setelah melihat alun-alun sudah diduki, aku berinisiatif untuk pergi dari alun-alun itu ke bangunan terdekat.
Saat kami membalikan badan, ada seseorang yang tersenyum menjijikan ke arah kami, dia tidak memakai helm ataupun rompi anti peluru, tapi dia memegang pistol.
"Wah... Ini hari keberuntunganku," Ucapnya sambil menarik pistol yang ia sarungkan di pinggulnya.
Aku berjalan mundur beberapa langkah, lalu orang itu mengalihkan pandangannya dari kami ke kumpulan pemberontak yang tidak jauh dari kami.
"Hei ada dua wa-"
Belum selesai dia berbicara, aku menarik pistol yang tersembunyi di balik jaketku, lalu menarik pelatuk pistol itu sebanyak dua kali, suara dan hentakan dari pistol ini membuatku menutup mata. Aku baru saja membunuh orang, dadaku berdebar kencang.
Orang itu tumbang dengan dua lubang di dadanya, aku melihat ke belakang dan semua perhatian pemberontak terarah kepada kami, aku mendorong Ilona kemudian berbicara "Duluan! Masuk ke bangunan itu!"
Tanpa berkata apa-apa lagi Ilona langsung berlari ke sebuah bangunan apartemen yang tidak jauh dari kami. Aku berlari ke arah mayat pemberontak yang baru saja aku bunuh, mengambil pistolnya dan segera berlari ke dalam apartemen yang sama dengan Ilona, suara tembakan dari pistol mitraliur dan senapan serbu terdengar mengerikan, pelurunya mendarat di pintu dan dinding, untung saja aku sudah berhasil masuk.
"Ayo cari jalan!" Ucapku kepada Ilona.
Ilona mulai menyusuri setiap ruangan untuk mencari jalan keluar. Aku menaruh pistol yang baru saja aku rampas dan menaruhnya di dalam kantong celanaku. Aku memasuki satu ruangan yang ternyata adalah dapur, pandanganku tertuju kepada sebuah pisau dapur dan segera mengambilnya.
Saat itu juga kami mendengar banyak langkah kaki memasuki bangunan, aku merasa kami tidak akan berhasil. Aku mengintip dari balik pintu dan melihat salah satu dari mereka, dan aku menembaknya tepat di dada.
Aku kembali masuk ke dalam ruangan dan menjatuhkan pistol yang pelurunya sudah kosong dan mengambil pistol yang baru saja aku rampas dan mengecek isi magasinnya, itu ada 10.
Aku samar-samar mendengar mereka bicara "Kau baik-baik saja?"
"Bajingan... Itu sakit sekali, aku bisa mati jika tidak pakai rompi anti peluru."
Aku gagal membunuh mereka, aku melihat Ilona di sisi lain ruangan dan menyuruhnya untuk putar balik dengan isyarat tangan, koridor ini terlalu berbahaya. Ilona terlihat ragu namun akhirnya ia mulai mencari jalan lain.
Aku mendengar mereka mulai berjalan mendekat, aku mengintip keluar dan menembakan empat tembakan diikuti dengan suara satu dari para pemberontak itu jatuh, kemudian aku menutup pintu dapur dan mengganjal nya dengan meja yang tidak jauh dari pintu.
Mereka terlihat marah, sepertinya aku membunuh salah satu dari mereka. Aku mendengar suara langkah kaki mereka menjadi cepat dan mulai mencoba mendobrak masuk, aku mengarahkan pistolku ke arah pintu itu dan menarik pelatuk pistol sebanyak tiga kali. Aku mendengar suara salah satu dari mereka berteriak kesakitan.
Aku mendengar suara tembakan balasan dari balik pintu itu, beberapa lubang muncul di pintu dan aku merasakan sakit di bahu kiri, paha, dan perut, dan saat aku melihat ke arah yang nyeri, aku melihat darah.
Aku berteriak kesakitan dan berjalan mundur dan membalas tembakan itu dengan seluruh isi magasin pistolku, yaitu tiga tembakan. Namun tak mendengar respon apa-apa.
Aku menyandarkan punggungku ke dinding ruangan itu menghadap ke arah pintu kemudian terduduk lemas di situ, rasanya sangat menyakitkan... Aku mencoba menutup pendarahan di perutku dengan tangan tapi itu terus keluar.
Pintu kembali didobrak, mereka masih berusaha masuk, dan peluruku sudah habis. Ilona... Kuharap kau tetap hidup.
Aku mendengar suara tembakan lagi... Tidak... Ada baku tembak di luar bangunan ini, lalu aku mendengar suara tembakan, kali ini di koridor bangunan dan pintu berhenti di dobrak.
Aku mendengar suara langkah kaki dua orang yang buru-buru mendekat, dan aku mendengar seorang meneriakan namaku, itu sangat familiar.
"Paula! Kau di dalam? Buka pintunya!" Ucap suara seorang lelaki.
"Denis..." Suaraku tidak bisa keluar, perutku sakit...
Pintu kembali didobrak, tapi karena tidak membuahkan hasil, aku melihat kapak menembus pintu, bagian atas pintu hancur setelah mencoba masuk dengan kapak. Dan dari lubang yang sebesar kepala orang dewasa itu, aku melihat Denis.
Denis melihat ke arahku, dan aku tersenyum lemah ke arahnya. Denis membelalakkan matanya dan segera memasukkan tangannya ke lubang itu dan menggeser meja yang mengganjal pintu ke samping sebelum mendorong pintu terbuka.
Saat pintu terbuka aku juga melihat Ilona, ia terlihat sangat ketakutan, matanya juga berkaca-kaca, sedangkan Denis segera membuang kapaknya dan berlari ke arahku, dia duduk di sebelahku dan menaruh senapan serbunya di lantai lalu membuka tasnya untuk mengambil sesuatu.
"Paula, kau bisa mendengarku?" Tanya Denis lalu mengeluarkan sebuah kotak pertolongan pertama dari dalam tasnya.
Aku hanya mengangguk lemas, rasanya sangat berat bahkan untuk berbicara. Aku memerhatikan Denis yang mencoba membalut lukaku dengan perban. Dia mengenakan sebuah rompi anti peluru dan helm, apakah dia bagian dari pemberontak? Lalu kenapa ia membunuh yang barusan? Tidak... dia berbeda... Ada arm band (cari bahasa indonesia) berwarna merah di bahu kirinya.
Ilona mulai berjalan ke arahku dan duduk di samping Denis.
"Ilona, panggil orang di luar, minta tolong bawakan tandu," ucap Denis.
Ilona mengangguk kemudian berlari keluar ruangan, meninggalkan aku dan Denis berdua di ruangan itu. Ia sangat fokus membalut lukaku dengan perban.
Setelah selesai membalut lukaku ia mengambil botol air dari dalam tasnya, kemudian ia berbicara "Minum dulu."
Aku mengangguk dan membiarkan Denis membantuku meminum air.
"Denis... Jika... Aku tidak punya waktu lagi... Jagalah Ilona," Ucapku lemah sambil menatap mata Denis lekat-lekat.
"Enak saja! Jaga dia sendiri, kau kakaknya, kau kuat, waktumu banyak, kau belum kuliah, belum lulus sekolah, beberapa bulan lagi kau lulus!" Balas Denis, ekspresi wajahnya berubah-ubah, tapi dia terlihat sangat sedih, matanya berkaca-kaca.
Beberapa bulan apa lagi, memang masih ada sekolah yang berjalan di Varushka? Bodoh...
Beberapa saat kemudian dua orang datang dengan tandu dan membawaku dengan tandu keluar bangunan, Ilona dan Denis mengikuti dari belakang.
Di sekeliling alun-alun kota terdapat banyak sekali mobil truk dan pickup. Aku lihat banyak sekali orang-orang bersenjata, beberapa berseragam militer, sedangkan kebanyakan hanya menggunakan arm band, tapi melihat dari ras mereka, aku yakin sekali mereka bukan dari Svartov, telinga mereka tidak runcing, kulit mereka tidak pucat, tinggi mereka setara dengan Elfar, mereka ras Manerin.
Mataku tiba-tiba berat. Aku melihat ke arah langit senja yang mulai gelap. Aku mengantuk, badanku dingin, dan lemas, aku akan istirahat sebentar saja...