Kampus
Anika POV
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Kepala ditundukkan, rambut yang dibiarkan tergerai menutupi wajah. Hari ini aku tak punya secuil pun
keinginan untuk kuliah. Lebih tepatnya, bertemu objek yang ada di sana.
Aku mendengus, mulai gila rasanya. Bisa-bisanya aku membiarkan Satya mengacak-acak hidupku? Aku terlalu dalam jatuh ke pelukan Satya hingga sulit melepaskannya, walau sedetik saja.
Langkahku terhenti saat melihat pemandangan tak asing di depan. Aku menghela napas lagi, mencoba menahan gejolak ingin mencakar rambut perempuan di samping kekasihku itu.
Kekasih?
Aku bahkan tidak tahu dari kapan aku memproklamirkan bahwa Satya miliknya. Sudah beberapa hari Satya tak menjemput. Aku ingin lari dari dunia. Kalau perlu tak usah saja bertemu orang-orang itu.
Aku menghela napas saat mengingat ucapan Satya yang menyuruh bertahan dan bersabar. Nyatanya, bertahan tak semudah meracik mie instan. Aku harus memiliki tenaga ekstra untuk bertahan. Aku harus meneguhkan hati sekuat-kuatnya hingga kelelahan.
Aku menahan napas saat Satya menyentuh rambut Tina, terlihat gemas. Pandanganku mengabur, dada sesak, ingin lari sesegera mungkin dari tempat itu, namun kaki berat.
Akhirnya aku membalikkan badan, mencoba menghindar, dan tak peduli pada tatapan beberapa mahasiswa. Dalam hati kecil, aku masih berharap Satya melihat, mengejar, dan mempertahankanku.
"Great, An."
Aku terpana mendengar ucapan itu, menengadah, menatap orang yang berbicara denganku itu dengan gamang.
Devan tersenyum, kemudian merangkul bahuku. Dengan gerakan cepat aku berputar dan kembali melihat pemandangan tadi.
"Hidup harus tetap dijalani, walau sedang patah hati," ucap Devan menuntunku yang sepertinya lupa cara berjalan.
Aku hanya menuruti ke mana Devan membawa. Batinku merutuki diri sendiri, jadi seperti inikah dirinya sekarang? Lemah karena cinta?
Cinta?
Benarkah apa yang aku rasakan pada Satya itu cinta?
***
Satya POV
Aku termenung saat melihat... oh baiklah, Devan merangkul Anika Aku penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi di antara keduanya hingga terlihat begitu dekat? Berani-beraninya Devan merangkul gadisku.
"Satya!"
Aku terperanjat, melirik Tina yang menatap kecewa. Spontan aku tersenyum. "Kenapa?"
Tina mendengus, membuatku bingung. "Ada apa?" panggilkusekali lagi.
Tina menggeleng, kemudian merangkul tanganku manja.
"Nanti kamu jadi temenin aku beli kado buat Mama, kan?"
Aku menatap sekilas punggung Anika yang hilang di belokan bersama Devan. Ingin sekali rasanya aku mengejar, kemudian menahan Anika agar tak pergi bersama Devan.
Aku cemburu.
"Satya!"
Aku mengangguk. Ada hal lain yang aku rasakan. Berbeda. Aku yakin itu
***
Auhtor POV
Anika tak ingin membiarkan keadaan runyam. Pertengkaran hebat antara Satya dan Devan kemarin membuatnya terbebani. Ditambah lagi, kecemasannya pada hasil penyelidikan kematian Adena yang akan keluar beberapa hari lagi.
Anika mencoret asal buku tulisnya. Pikirannya terpecah-pecah. Dia tak bisa menyelesaikan semuanya dengan suasana hati yang begitu buruk seperti sekarang.
Dua pemuda itu masih diam-diaman, persis anak kecil. Rangga dan Lukas kewalahan mendamaikan mereka berdua.
Anika menggeleng pelan. Itu karena dirinya. Dia harus menyelesaikan dengan caranya sendiri. Tapi bagaimana?
Ah, andai saja dia tak terperangkap sejauh ini. Andai saja sejak dulu dia hanya fokus memikirkan cara membalas dendam kepada keluarga Hilmar. Andai saja hati ini tak jatuh terlalu dalam.
Pengandaian muncul saat persoalan terjadi. Anika berteman baik dengan rasa sakit, membuatnya tak sungkan untuk mengabaikannya. Tapi sakit kali ini, ia terluka saat melihat kemesraan yang diumbar Satya dan Tina. Dia gamang dan sulit berpikir jernih.
Anika tersenyum kala bel tanda mata kuliah selesai berbunyi. Dia memandang ke arah empat idola yang kini bersitegang. Devan terlihat membereskan buku-bukunya, sedangkan Satya memperhatikan Devan dengan sinis.
Helaan napas panjang keluar dari Rangga dan Lukas, serta tatapan cemas dari Gwen. Anika tegang.
"Kalian berdua mau sampai kapan diem-dieman gini?" tembak Rangga, jengkel menghadapi tingkah Satya dan Devan.
"Kalian tidak mau nyelesain baik-baik?" cecar Lukas.
Satu per satu penduduk kelas meninggalkan mereka yang tersisa di kelas.
"Tanya sama saudara kalian itu," ucap Devan sinis sambil memasukkan bukunya dengan kasar.
"Kamu duluan yang cari masalah," balas Satya sengit.
Devan berdecak. "Kamu kasar sama Anika."
Satya berdiri sambil berkacak pinggang. "Urusanku sama Anika, kenapa kamu yang repot?!" Nada suaranya meninggi.
Devan membalas tatapan Satya dengan tajam. "Aku malas berteman sama orang yang hobinya menyakiti perasaan wanita," terang Devan jujur.
"Kamu nyindir?"
Devan berdiri. Tangannya terangkat, bersiap melayangkan bogem mentah.
"STOP!"
Anika berteriak dari tempat duduknya. Membuat pertengkaran itu terhenti dan teman-temannya mengalihkan pandangan ke arahnya. Telinganya panas mendengar keributan itu.
Anika berdiri dari tempat duduknya, berjalan pelan menuju empat pemuda yang terlihat tegang. Gwen mengikutinya.
Anika menatap dingin ke arah Satya. "Kalian jangan bertengkar karena aku," ucapnya lemah. Ia menunduk, kemudian memegang tangan Devan yang masih mengepal. "Dan kamu... nggak usah belain aku."
Sesaat kemudian gadis itu tersenyum miris. "Sejak awal nggak ada yang bener-bener salah." Dia menarik napas. "Kalaupun ada yang harus disalahkan, salahin aku. Karena... karena... gara-gara aku kalian jadi rumit."
Anika menatap Satya. "Jangan berantem karena aku. Aku nggak butuh dibela siapa pun!"
Anika berbalik lalu meninggalkan kelas. Sakit yang dia derita saat itu tidak bisa dia temukan obatnya.
Anika menutup mata sebentar. Benar. Sejak awal memang ada yang salah dengan kehidupan barunya.
***
Wardana's House
Anika POV
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Aku menggeliat di tempat tidur. Semua yang terjadi bukan hanya menyumbat otakku untuk berpikir, juga membuatku susah tidur
Aku duduk, gelisah. Bukan karena sakit hati yang terus-terusan ditelan karena melihat Satya dan Tina, bukan juga karena pertengkaran Devan dan Satya yang jelas-jelas melibatkanku.
Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa aku gelisah. Aku tak punya alasan khusus untuk tak lelap dalam tidur. Namun perasaan gelisah datang.
Aku membuka diary Mika. Kalau tahu siapa di antara Lukas atau Devan yang merupakan mantan Mika, dia bisa mengalihkan perhatiannya, lebih fokus mengerjai dan membuat Mika sakit hati.
Kalau saja masalahnya tak serumit ini. Aku pasti bisa berpikir jernih dan segera menemukan apa yang aku cari. Namun itu hanya angan-angan. Kenyataannya aku tak bisa menjernihkan kepala, dan hatiku terus meronta kepedihan. Aku tak mampu fokus.
"Couldn't sleep?"
Tubuhku mengejang. Om Sultan baru saja membuka pelan pintu kamar. Aku menggeleng pelan.
"Barusan Om memarahi mereka. Kamu sulit menentukan pilihan di antara keduanya?" Suara Om Sultan terdengar menggoda.
Aku menggerutu, kesal. Paman ini bukannya mencarikan jalan keluar atas masalahnya, justru bisa-bisanya menggoda.
"Om, masalahnya bukan seperti itu!"
Om Sultan tertawa. "Seperti apa? Hatimu memilih Satya, tapi Satya memilih Tina, sementara Devan tidak terima?"
Aku memutar bola mata. "Om, ini bukan masalah seperti itu!"
Om Sultan duduk di tepi ranjang. "Masalahnya jelas seperti itu, An."
"Whatever! Devan terlalu fokus padaku," ujarku lemah.
Om Sultan menggeleng. "He's obviously care about you. Dan bagaimana dengan Satya?"
"Om, aku datang ke sini bukan untuk mengurusi masalah semacam itu!"
Om Sultan berdiri. "Tapi kamu tetap remaja, An. Cepat atau lambat kamu akan mengalami masalah hati. Lalu... kenapa kamu belum tidur?"
Sekalipun jengkel, aku menyerahkan diary Mika kepada Om Sultan.
Om Sultan menerima dan menatap diary itu bingung,
"Aku bingung, siapa cintanya Mika, di antara Lukas dan Devan."
Om Sultan tertawa seketika. "Kamu benar-benar payah dalam urusan cinta ya?"
"Hah?"
Om Sultan mengusap kepalaku. "Bawa saja mereka ke depan Mika, dan lihat siapa yang menampilkan ekspresi paling terkejut."
Ia mengetuk-ngetuk lembut puncak kepalaku. "Ini hanya soal seujung kuku, tapi kamu memperumitnya."
Lelaki itu beranjak dari kamar setelah berpesan, "Kegalauanmu... jangan sampai mengubah dirimu!"
To Be Continued