Sengatan udara Jakarta membuat Anika ingin mandi.
Benar, ozon atmosfer menipis, apalagi setelah dia merasakan sinar matahari yang menyengat jaraknya hanya sejengkal.
Anika mengeluarkan buku tulis hitam, kemudian mengipas-ngipaskannya tepat di depan muka. Dia menunggu Satya sejak satu jam lalu, tetapi pemuda itu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Huh!
Sejak kapan Anika sering mengomel seperti itu?
Anika menoleh ke kiri saat mendengar suara mesin mobil melaju ke arahnya. Dia hafal suara mesin itu sehingga tanpa menoleh pun perkiraannya tepat seratus persen.
Satya menghentikan mobil di depan Anika. Dengan gerakan cepat dia keluar dari mobil, kemudian menatap Anika dengan perasaan bersalah. Kedua tangannya disatukan, kemudian dia letakkan tepat di depan wajah. "Sorry, Anika" ucap Satya sungguh-sungguh.
Anika hanya menatap dingin, tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangan ke segala arah. Yang penting tidak tertumpu pada mata Satya.
"Anika," panggil Satya.
"Ya udah, jalan aja yuk," jawab Anika pelan.
Anika tahu pemuda di sampingnya itu merasa bersalah, tapi juga tak menutupi kenyataan bahwa dia kesal. Iya dia kesal karena Satya selalu menomorduakannya gara-gara kecintaannya pada basket.
Apa dia tak cukup menarik? Huh!
Satya menghela napas, kemudian menginjak pedal gas mobil.
Sesekali dia melirik ke arah Anika yang masih terlihat kesal. Bahkan setelah lima menit perjalanan, Anika masih enggan memalingkan muka untuk menghadap ke arahnya.
Sebenarnya... ada apa dengan Anika? Kenapa akhir-akhir ini Satya merasa Anika sedikit manja padanya?
"Nggg... apa mau makan dulu sebelum pulang?"
Satya mendapat jawaban berupa anggukan. Si gadis tak menoleh sedikit pun.
Rupanya Anika lebih tertarik dengan pemandangan yang tak diduganya di kiri jalan. Elisa terlihat berdiri, mungkin menunggu seseorang. Pandangan Anika mengeras. Ia membelai tangan kirinya yang masih diperban. Dia harus mengambil langkah cepat untuk menghancurkan Elisa dan dayang-dayang berupa om dan tantenya.
"Anika..."
Kalau saja semuanya tak terjadi, Anika tak akan setega itu ke pada sahabatnya sendiri. Sahabat? Cih! Sahabat harusnya saling percaya, bukan malah saling menuduh. Tanpa sadar Anika terus menatap Elisa dari kaca spion mobil.
Bahkan gadis itu tak mendengar Satya yang sudah memanggilnya lebih dari tiga kali.
"Anika..."
Anika tersentak. Kembali ke dunia nyata lagi. Ia menoleh, kemudian menatap Satya yang sempat menengok ke arahnya. Tatapan pemuda itu menyelidik, seolah ada yang salah dalam dirinya. Eh?
Apa? Bukannya dia sedang marahan dengan pemuda itu?
"Aku minta maaf, bener-bener minta maaf. kamu jangan seperti ini!" pinta Satya.
Anika ingin tertawa mengingat Satya jarang menampilkan ekspresi semacam itu kepada orang lain. Tiba-tiba ide jail untuk mengerjai Satya tercetus begitu saja.
Anika mendesah berat, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Anika..."
"APA?" seru Anika keras.
Satya spontan menoleh ke arah Anika yang sepertinya gerah dipanggil terus-menerus. Tanpa mengurangi konsentrasi, tangan kiri Satya menggenggam tangan Anika.
Anika kaget bukan main karena merasakan darahnya mendesir hebat saat tangan Satya menggenggam tangannya. Dengan spontan ia menarik tangan, kemudian menoleh tidak percaya ke arah Satya.
"Apa?!, pegang-pegang sembarangan?!" sungut Anika kesal.
Satya mengangkat alis. Dia mengurangi kecepatan mobil karena di depan lampu menyala merah. Dia harus mencari cara agar Anika tidak marah Anika melirik Satya. Sepertinya pemuda itu kehabisan akal. Apa hanya segitu perjuangannya?
Anika kembali berpikir, sejak kapan dia mulai mengharap perhatian Satya? Sejak kapan perasaan asing itu muncul?
"Sudahlah, Anika. Jangan cemburu sama basket, please..."
Anika mengangkat alis. Cemburu? Basket? Jangan harap.
"Siapa yang cemburu?"
Satya mencondongkan badan ke arah Anika, kemudian tersenyum manis. "Kamu. Kenapa kamu sangat manja sama aku?"
Apa?
Anika mendorong tubuh Satya hingga terdengar bunyi "buk" karena badan Satya membentur kaca jendela. Spontan pemuda itu mengaduh pelan.
"Tidak usah bicara yang tidak-tidak," tanggap Anika, berusaha menormalkan detakan jantungnya yang semakin parah karena senyuman Satya tadi.
Anika tak habis pikir, sejak kapan senyum itu dapat meluluhlantakkan hatinya seperti ini?
"Kamu... salah tingkah," ucap Satya tertawa renyah. Sangat renyah hingga membuat telinga Anika mencandu mendengar tawa itu.
Anika mengerjap, tersadar. Dengan cepat dia membuang napas kesal. Cemburu? Salah tingkah? Siapa? Dia? Tidak sama sekali!
To Be Continued