webnovel

Kehidupan Seorang Istri

Wardna's House

Gwen POV

Pagi yang tidak berbeda dari sebelumnya. Hanya saja untuk sesaat aku masih termangu bingung menatap ruangan yang terasa asing, seperti pagi sebelumnya.

Rumah terasa sepi dan hening saat aku keluar dari kamar. Setelah tiga hari disini, aku menyadari rumah ini seperti tidak memiliki penghuni, ditambah dengan besar dan luasnya setiap ruangan, aku merasa berada di sebuah labirin seorang diri. Karena sebelumnya aku benar-benar tersesat di lantai satu ini.

"Pagi." Aku menyapa riang tiga asisten rumah tangga yang tengah menyiapkan sarapan di dapur yang begitu luas.

"Pagi, Nyonya muda." ketiga asisten rumah tangga itu membungkuk hormat padaku.

Aku memberengut mendengar panggilan itu. Aku sudah mengatakan kepada mereka untuk memanggilku Gwen saja, tapi mereka bersikeras memanggilku Nyonya muda. Baiklah, aku tidak akan mengajak mereka berdebat. Karena itu hanya buang-buang waktu dan tenaga.

"Hari cerah sekali." Aku membuka kulkas dan mengambil dua butir telur. Sebelumnya, ketiga asisten itu akan berteriak melarangku menyentuh apapun yang ada di dapur selain duduk manis dan tinggal memerintahkan mereka memasak makanan yang aku inginkan, tapi aku menegaskan bahwa aku akan memasak apa yang bisa aku masak, jika aku lelah, maka aku akan meminta bantuan mereka. Aku berhasil memenangkan perdebatan setelah hampir setengah jam berdebat dengan mereka.

Jarang sekali aku memenangkan suatu perdebatan. Aku merasa bahagia atas diriku sendiri.

"Apa Mas Rangga sudah bangun?" aku mulai memanaskan wajan di atas kompor.

"Tuan sudah berangkat pagi-pagi sekali ke kampus."

Aku mengangguk pelan. "Apa dia tidak sarapan?"

"Tuan muda akan sarapan di kampus seperti biasanya bersama Tuan muda Satya dan Lukas," jawab Nina, asisten paling muda di sini.

"Mereka tidak pernah makan di rumah?" aku menuangkan telur yang sudah kukocok ke dalam wajan.

"Tidak pernah."

Aku kembali mengangguk. Pria yang menjadi suamiku berserta keluarga anehnya ini pergi pagi-pagi sekali dan pulang pada larut malam. Tiga hari di rumah ini, aku hanya ditemani oleh tiga asisten dapur dan tiga asisten kebersihan. Setidaknya aku tidak seorang diri.

Setelah sarapan, aku menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi milik keluarga Wardana yang berada di lantai satu. Karena Rangga bilang aku boleh melakukan hal apa saja di lantai satu, maka tidak ada salahnya aku menghabiskan waktu membaca beberapa buku koleksi mereka.

Aku berharap waktu berjalan lebih cepat. Karena aku sudah tidak sabar untuk kembali kuliah dan bekerja. Melewati detik demi detik yang mulai membosankan.

Aku lalu sibuk dengan ponselku setelah sempat teringat akan kebodohanku yang tidak mempertimbangkan jurusan dan kampus yang kupilih saat seleksi jalur undangan dulu.

"Kenapa kita harus satu kampus juga?" kataku lesu.

Melihat foto laki-laki itu sedang memakai jas almamater kampus barunya nanti.

Aku membuang napas, lalu memutuskan mematikan ponsel dan melanjutkan kegiatanku mencari buku.

***

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam ketika aku bangun. Aku tidak sadar sudah tertidur begitu lama. Sambil mendengus, aku turun dari tempat tidur. Tenggorokanku dilanda haus luar biasa. Perutku juga terasa lapar. Terakhir kali aku makan sore tadi.

Aku keluar kamar dan menuju dapur, membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin dan sepiring puding cokelat untuk mengganjal perut. Setelah menghabiskan makanan manis itu, aku mencuci piring bekasnya. Aku kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur, meskipun aku tahu mataku tidak akan bisa terpejam lagi setelah bangun di tengah malam.

Dalam perjalanan kembali ke kamar, aku mendapati televisi di ruang tengah masih menyala dan tidak ada yang menonton. Televisi itu menampilkan saluran luar yang menayangkan sebuah pertandingan sepak bola. Aku bertepuk tangan kecil, karena pertandingan itu merupakan pertandingan sepak bola favoritku.

Saat di Surabaya, aku, Ka Nathan dan Ruby akan menonton pertandingan itu sampai selesai dan besok harinya pasti bangun kesiangan, yang berujung dengan omelan panjang Ayah.

Aku mengurungkan niat untuk kembali ke kamar. Aku hendak duduk di sofa dengan cahaya lampu tidur yang remang. Sedetik kemudian aku dikejutkan oleh keberadaan sosok yang paling aku hindari di rumah ini. Sosok tersebut sedang tertidur pulas dengan kaki ditekuk di sofa.

Aku membekap mulut sambil berjalan mengendap, lalu duduk sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara yang bisa membuat laki-laki itu terbangun.

"Oh, ayolah! Yoohoo... ayo, giring bolanya, Aduh!"

Setelah sepuluh menit berusaha menahan mulut, tanpa sadar aku mulai berteriak. Aku lupa kehadiran Rangga yang sedang tertidur pulas di sofa. Aku memang suka lupa diri jika sudah menonton bola.

"Ekhem..."

"Astaga, Ayolah. Lempar bolanya dong!"

"Ekhem..."

"Astaga, SETAN!"

Aku ingin memukul mulutku, refleks tadi. Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Laki-laki yang tadi tertidur di sofalah pelakunya. Wajah habis bangun dengan mata yang memerah membuat ketampanan Rangga sedikit berkurang. Bohong jika ada yang menyebut kalau laki-laki akan terlihat tampan ketika bangun tidur. Nyatanya, Rangga sekarang tidak setampan itu.

"Aku manusia bukan setan," kata Rangga, membuat wajahku panas. Aku malu, karena kelepasan berbicara.

"Maaf, Mas, hehe... iya manusia kok, mana ada setan tampan? eh, Mas... aduh."

Rangga menaikkan kedua alisnya bersamaan. Matanya menatapku yang sedang dalam mode gugup.

"Jangan berisik! Kamu mengganggu tidurku!"

Wajahku merah padam. Aku sadar sudah mengganggu ketenangan tidur laki-laki ini. Sambil menahan malu, aku beranjak dari dudukku. Menatap setengah takut ke arah Rangga. Laki-laki itu lebih terlihat menyeramkan daripada tokoh hantu di film horror.

"Hmm, Mas, Maaf ya. Aku ke kamar dulu, permisi."

Aku berlari begitu saja meninggalkannya. Aku benar-benar malu.

To Be Continued

Creation is hard, cheer me up!

JaneJenacreators' thoughts
Bab berikutnya