Pisau di layangkan ke dada Danu.
Untung saja seorang Polisi melihat dan segera menarik lengan Danu, pisau mengenai angin. Melihat serangannya sia-sia, orang tersebut segera berlari meninggalkan tempat kejadian.
Polisi tak dapat mengejar, karena beberapa warga yang mengetahui sedang berlangsung penggerebekan. Berbondong-bondong datang, alasannya untuk melihat siapa yang tertangkap.
Danu dan Maya di gelandang ke kantor Polisi, takutnya mereka di amuk massa yang semakin lama, semakin banyak.
Danu hanya bisa tertunduk, dia tak habis fikir, bagaimana mungkin mereka di grebek, padahal baru kali ini dia melakukannya di rumah Maya.
Biasanya mereka akan ke hotel, atau menyewa villa jika weekend.
Maya pun sama, dia menutup kepalanya dengan jilbab. Tangannya gemetar, dia tak tau apa yang akan terjadi jika orang tuanya mengetahui kelakuan bejat mereka.
“Huuuuuuu, tukang zi*a di tangkap, viralkan!” teriak seseorang.
Polisi yang melihat keadaan hampir tak kondusif, segera menjalankan mobil patroli, Maya dan Danu yang duduk di belakang, masih mendengar teriakan kegeraman dari warga.
Andika mengepalkan tangan, melihat kebejatan ipar satu-satunya. Sesaat setelah mobil Polisi berlalu, dia merogoh kantong, mengeluarkan semua uang dari dompet dan memberikan ke sopir taxi, dia berkata. “Beri mereka lima lembar setiap orang, selebihnya silahkan Bapak ambil.”
Andika berjalan meninggalkan rumah Maya, niatnya akan ke kantor Polisi, tapi terlebih dahulu dia harus mencari taxi lain.
Dia tak tenang jika tak melihat langsung, Danu masuk ke dalam jeruji besi.
Mobil yang dia pesan sudah menunggu, setelah mengkonfirmasi kepada sopir, Andika mengarahkan tujuannya.
Andika memejamkan mata, fikirannya kalut. Sejenak dia ingin tidur, belum lagi niatnya terlaksana, hapenya kembali berdering.
“Halo, Dik! Kamu di mana? Cepat pulang, Airin mengamuk ingin pulang.” Sebelum Andika mengucapkan salam, Intan sudah memberondongnya dengan pertanyaan.
“Lagi di jalan mau ke kantor Polisi, memang dia kenala?” tanya Andika.
“Nggak tau, ya sudah! Cepat selesaikan urusanmu dan pulanglah, adikmu membutuhkanmu.” Intan memutuskan telpon secara sepihak.
Andika gelisah, antara ke kantor Polisi atau ke Rumah sakit. Merasa Airin lebih penting, Andika meminta sopir mengubah rute.
Sopir hanya mengangguk lalu mengikuti kemauan penumpangnya, sesekali sopir melirik Andika, sepertinya ada beban berat yang di pikul lelaki itu.
Hampir satu jam mereka belum juga sampai rumah sakit, bukan karena jarak yang jauh, tapi karena sekarang waktunya makan siang, sehingga membuat jalan ramai dan mereka terjebak di kemacetan.
[Tolong, tenangkan Airin, aku masih di jalan. Macet! ] chat Andika kepada Intan.
Tapi jangankan di balas, di baca saja tidak. Andika semakin gelisah, takut terjadi apa-apa dengan adik semata wayangnya itu.
Apa yang akan dia sampaikan kepada kedua orang tuanya.
[Segera ke ruangan dokter, kalau sudah sampai] chat balasan dari Intan.
Tak lagi dia balas, untung setelah lima belas menit berjalan seperti siput, mobil yang dia tumpangi kembali melaju.
“Pak, bisa agak cepat?!” perintah Andika.
Sopir yang mengerti kegelisahan penumpangnya, langsung tancap gas.
Sesampainya di rumah sakit, Andika memberi beberapa lembar uang merah kepada sopir tersebut, sang sopir berkali-kali mengucapkan terimakasih.
Andika tak menghiraukan sopir taxi tersebut, dia berlari ke ruang ICU.
Baru saja Andika memasuki loby rumah sakit, terlihat Intan sedang duduk di kursi.
Di dekatnya wanita berbaju putih tersebut, melihat Andika mendekat Intan tersenyum, berdiri dan menyambut Andika.
“Mana Airin?” tanya Andika.
“Di ruangan ICU, siapa sudah tenang. Habis di beri obat.” Intan menjelaskan.
Andika mengangguk. “Kamu, kenapa di sini?” tanyanya pada Intan.
“Tunggu, kamu. Ayo, masuk di ruangan dokter. Dia sudah menunggu dari tadi.” Intan menarik tangan Andika.
Bagai kerbau di cucuk hidungnya, Andika mengikuti langkah Intan masuk ke dalam ruangan yang bernuansa putih.
“Permisi, Dok!” pamit Intan.
Dokter yang sedang mencatat sesuatu di buku agenda, mengangguk lalu mempersilahkan mereka duduk.
“Pak Andika, apanya bu Airin?” tanya Dokter tersebut.
“Kakaknya, Dok!” ucap Andika.
“Suaminya mana?” Dokter yang bernama Alvi kembali bertanya.
“Lagi ke luar kota, Dok,” bohong Andika.
Dokter kembali mengangguk tanda faham.
“Baiklah, saya ingin menyampaikan kondisi terkini bu Airin.” Sejenak Dokter tersebut menarik napas, lalu mulai berkata.
“Secara tehnis, kondisi bu Airin sudah normal, tetapi di karenakan dia baru saja keluar dari koma, jadi kami ingin memantau perkembangan bu Airin.
Hanya saja, sepertinya pasien sudah tak merasa betah, dan ingin pulang, sehingga mulai tak tenang. Maka sebagai dokter, saya mengijinkan pasien pulang. Tapi, dengan catatan jika terjadi sesuatu, segera pasien di bawa kembali ke rumah sakit. Bagaimana!?” tanya Dokter meminta kesanggupan Andika.
“Siap, kami bersedia, Dok.” Jawab Andika mantap.
Andika merasa, kalau berada di rumah Airin akan bisa lebih santai, apalagi kata Intan, Airin sering kali meeacau tak jelas.
Dokter tersebit mengangguk mendengar jawaban Andika, di tanda tangannya berkas kepulangan Airin. Lalu memberikan kepada asistennya untuk di sampaikan di ruang administrasi.
“Silahkan, bapak ikut kepada suster tersebut untuk melunasi biaya administrasi, setelah itu pasien Airin susah bisa pulang.” Dokter memberi arahan kepada Andika.
Setelah mengucapkan Terima kasih, Andika dan Intan keluar menyusul suster yang akan mengantarkan mereka ke ruang administrasi.
Hanya sepuluh menit mereka berjalan sampailah di tempat yang ingin mereka datangi, Andika mengeluarkan kartu debit, memberikan kepada petugas.
Selesai urusan adminstrasi, Andika dan Intan berjalan menuju ke ruang ICU tempat Airin di rawat.
“Dik, ngapain kamu ke kantor Polisi?” tanya Intan waktu mereka jalan di koridor.
“Nggak jadi, tadi waktu Terima telpon kamu, aku langsung ke sini,” jawab Andika.
“Iya, tapi ngapain kamu mau kesana?” kejar Intan.
“Kepo,” jawab Andika.
“Ish, kamu. Ditanya baik-baik malah di gituin.” Intan manyun.
“Mau nengok Danu,” jawab Andika pelan.
Intan menghentikan langkah, membuat tubuh Andika membantunya.
Intan berbalik menatap Andika, lelaki itu membuang muka saat mengetahui lIntan menatapnya tajam.
“Jangan bilang, kalau.... “
“Iya, sudah jangan di bahas. Nanti, di dengar sama ibu dan adiknya,” jawab Andika.
Andika memang berniat tak memberi tahu soal Danu kepada bu Marni dan Mira, dia takut jika bu Marni akan menjamin anak lelakinya.
“Kak, Airin mau pulang,” rengeknya ketika melihat Andika.
Andika tersenyum, lalu mengangguk. “Iya, kita beres-beres dulu, lalu pulang.
Bu Marni dan Mira yang juga sedang menjaga Airin ikut bahagia.
“Alhamdulillah, akhirnya kita pulang juga!” seru Mira.
Gadis yang masih duduk di bangku SMA terlihat senang, sampai tak segan memeluk ibunya.. Sedangkan ibu Mirna tak berkata apa-apa.
Tak sampai satu jam, mereka sudah berada di mobil yang membawa mereka kembali ke rumah Airin.
Andika rencananya akan ikut bermalam selama tiga hari, untuk memantau perkembangan adiknya itu.
Bu Marni dan Mira menyambut senang keinginan Andika.
“Nak, kok mas mu daritadi hapenya tak aktif?!” tanya bu Marni.
Sejak tadi, dia berusaha menelpon anaknya untuk mengabari bahwa istrinya sudah pulang ke rumah.
“Mungkin dia lagi sibuk, Bu,” jawab Mira menenangkan wanita paruh baya tersebut.
Bu Marni mengangguk, menyimpan hape di saku baju, lalu membantu merapikan pakaian Airin ke dalam lemari.
“Kak, tolong kakek itu suruh masuk!” seru Airin.
Mereka yang berada di tempat tersebut saling berpandangan.
“Ma— “
Belum sempat Mira menjawab, mulutnya sudah di tutup oleh Andika.
“Iya, Rin. Tunggu kakak suruh dia masuk.” Andika berdiri pura-pura berdiri menyambut tamu yang Airin maksud.
Airin bangkit dari tidurnya, dia berjalan ke arah pintu.”
“Airin! Kamu!!?” pekik bu Mirna tak percaya.
*****
( Maaf, up nya agak sorean, ada yang tau, siapa yang datang kepada Airin, dan kenapa bu Marni histeris? Pantenginterus yah bab selanjutnya. Kalau boleh minta like dan komentar, sebagai penyemangat, dan mohon subscribe ceritanya supaya bisa dapat info kalau bab barunya sudah di up. Makasih, dari Athalaz author pemula)