webnovel

Mengobrol dengan Jane

Nasihat Pak Arthur tadi, masih terngiang dengan jelas sekali. Aku baru tahu ternyata ada banyak hal-hal semu yang baru aku ketahui saat ini.

Apalagi, tempat yang aku singgahi sekarang menyimpan misteri yang tak bisa terpecahkan dalam waktu singkat. Semua ucapan Pak Arthur benar adanya.

Aku memang tidak bisa berlama-lama di tempat yang memang tidak menerimaku dengan baik.

Setelah percakapan singkat tadi, aku lantas kembali masuk ke dalam rumah atas perintah beliau. Katanya, aku tak boleh berlama-lama di luar sendirian karena sangat bahaya untuk jiwaku sendiri.

Sebenarnya aku tak tahu apa yang mereka inginkan dariku. Aku rasa, aku hanyalah pria biasa yang tak memiliki hal-hal aneh.

"Kau harus tetap hati-hati ketika melihat orang baru datang ke rumah Albert. Jangan pernah dengan mudah terlihat ramah kepada mereka, dan buatlah dirimu seperti orang misterius yang sulit untuk didekati. Dengarkan ucapanku ini, Kevin. Kau harus bisa berhati-hati dan jagalah dirimu di tempat orang lain. Kita tidak tahu hati masing-masing manusia seperti apa."

Ucapan Pak Arthur masih terngiang dengan jelas. Aku belum mengerti dengan baik sebenarnya siapa, apa, dan mengapa mereka melakukan hal-hal seperti itu.

Ada rasa khawatir saat mendengar ucapan beliau tadi. Entah benar atau tidak, tapi mungkin aku harus berhati-hati.

Menurutku, Pak Arthur adalah orang yang baik. Hanya saja, terkadang sifatnya tak bisa kita terka akan seperti apa. Kadang terlihat baik, kadang galak, kadang cuek, bahkan kadang-kadang berubah menjadi pendiam.

"Eh. Kau dari mana?" Albert datang kepadaku sambil membawa beberapa makanan.

"Aku? Engga kemana-mana. Tadi di luar. Ngobrol sama Pak Arthur." jawabku sambil memakan cemilan yang Arthur bawa.

"Hah? Ngobrol sama Pak Arthur?" Albert seperti tak percaya.

Aku mengangguk. "Memang kenapa?"

"Kok bisa?"

"Entah. Aku juga tak tahu. Dia mendadak baik."

"Terus? Bilang sesuatu engga?"

Aku jadi teringat apa yang dikatakan Pak Arthur tadi mengenai Albert. Dengan segera aku mengalihkan perhatian agar Albert tak penasaran. Bagaimanapun, aku harus berusaha menutupi itu semua.

Setidaknya, aku cukup tenang setelah mendapat nasihat dari pak Arthur. Walau aku tak tahu kebenarannya seperti apa, tapi apa salahnya mendengar nasihat selagi itu baik?

Sampai saat ini, aku juga masih heran karena sering mendapati Jane sedang bermain di halaman rumah. Entah aku yang sedang berhalusinasi atau tidak, tapi anak kecil itu tampak nyata. Dia senang bermain ayunan sambil tertawa sendiri, seolah menikmati benar permainannya itu.

"Kevin, kemari!" tadi sebelum masuk, Jane memanggilku.

Aku termangu, berdiri di tempat.

Dia tersenyum lalu kembali mengayunkan tangannya seolah memintaku untuk ke sana.

"Ada apa?" tanyaku setelah menemuinya.

"Mengapa kau diam sendiri? Mana temanmu?" tanyanya.

"Sepertinya sedang tidur."

"Oh begitu." dia mengangguk-anggukan kepalanya. Aku agak sedikit ragu saat ingin menjawab ucapannya. Takut, dia adalah sesosok yang dipanggil oleh orang jahat untuk memata-matai rumah ini.

"Tadi, kau tampak serius sekali mengobrol dengan Pak Arthur." dia terkekeh. "Tak sangka ya?"

"Maksud kau?"

"Iya. Kau, tak menyangka kan ternyata manusia di sini bisa sekejam itu?"

"Iya. Dan kau pun sama kejamnya dengan mereka." lanjutku dengan lugas.

Jane tertawa.

"Jadi, kau pikir orang baik seperti aku, bisa berlaku jahat? Aduh Kevin. Lihatlah anak kecil ini. Dia cantik. Pakaiannya bagus. Rambutnya lucu. Masa kau anggap jahat? Apa kau tak punya mata?"

"Tapi sosok sepertimu bisa berubah menjadi apa saja. Aku tak bisa mempercayai orang baru dengan cepat."

"Jadi kau menganggapku sebagai orang baru?" Jane berdecak. "Tak seharusnya kau begitu."

"Tapi kan kenyataannya?" aku tak mau kalah argumen dengan anak kecil ini. "Saat pertama kali bertemu, kau memang senang menggangguku, Jane. Kau bahkan melemparkan jam tua kepada Albert hingga menyakitinya."

Jane tiba-tiba bangun dari ayunannya. Dia menatapku dengan intens setelah aku mengatakan hal demikian.

"Apa? Benar kan?" tanyaku yakin.

"Kau tahu dari mana? Apa setelah mengatakan hal itu, kau sudah membuktikannya?" kali ini, aku melihat raut Jane cemberut. Seperti kecewa ala-ala anak kecil.

"Aku tak ada bukti. Tapi kau memang senang mengganggu kan? Kau pecicilan sekali. Tak bisa diam. Be-"

"Aku memang nakal, tapi aku tak berniat mengganggu kau, Kevin!" bantahnya dengan cepat. Aku langsung terdiam setelah itu. Takut, jika Jane melakukan hal yang tak aku duga.

"Sekali lagi, aku tak berniat mengganggu siapapun. Mungkin, saat aku beraktivitas kau melihatku. Jadi, kau merasa sedang diganggu. Padahal sebenarnya tidak. Dan ya! Untuk kejadian itu, aku memang tahu. Tapi aku bukanlah pelaku yang melemparkan jam itu. Kau harus percaya kepadaku, Kevin. Justru kau harus bersyukur karena bukan kau yang mengalami kejadian itu."

Aku terkejut. Segera aku mengambil tempat duduk untuk mendengarkan ceritanya.

"Maksudnya? Aku?"

Jane mengangguk. "Sebenarnya, seseorang ingin kau yang kena lemparan jam itu. Namun aku berhasil hindari."

"Mengapa hanya aku saja? Albert?"

"Justru itu. Aku tak bisa menghindarinya dari temanmu karena Albert berada tepat di sampingmu. Andai kalau temanmu ada di belakang, mungkin hal itu tak akan terjadi." Jane tampak serius. Aku melihat, tak ada raut kebohongan di dalam ucapannya.

Entahlah. Penjelasan dia sangat membuatku terkejut.

"Lalu, siapa seseorang itu yang berniat mencelakaiku?" aku mulai penasaran.

"Ada. Dan aku juga tak bisa berbuat banyak karena energinya jauh lebih besar. Ihh!" dia menunjukan sikapnya yang ketakutan. "Sosok itu menyeramkan. Aku tak berani membuat ulah di depannya."

Ucapan Pak Arthur dengan Jane terbilang sama. Mereka sama-sama meyakini jika di tempat ini, ada sebuah sosok yang memiliki energi negatif besar dan bisa melakukan apa pun. Dia selalu berusaha mencelakaiku dengan berbagai cara. Seperti kata Jane pula, aku benar-benar tak menyangka jika ternyata kejadian jam tua terbang itu sebenarnya tertuju kepadaku. Bukan kepada Albert.

"Kau harus hati-hati, Kevin." Jane memecah lamunanku. "Meski aku selalu berusaha ada dan melindungimu, tapi kau jangan banyak berharap kepadaku. Aku ini hanya sosok kecil yang tak bisa berbuat banyak. Ibarat disentil sedikit saja, aku sudah terlempar jauh. Maka dari itu setiap kali aku melihat sosok itu, kami semua yang ada di rumah selalu bersembunyi karena tak berani dekat-dekat dengannya. Selebihnya dari itu, kau yang mampu mengendalikan dirimu sendiri."

"Dengan cara?"

Jane kembali duduk di ayunannya dengan ceria. "Teruslah dekat dengan Tuhan. Jalin cinta dengan erat dengan-Nya, karena tak ada siapapun yang bisa melindungimu dengan aman kecuali Tuhan. Hanya kuasa Tuhan lah yang mampu menghancurkan sosok itu, dan mampu menenangkanmu."

Aku tersenyum.

Lagi-lagi, apa yang diucapkan oleh Jane sama seperti apa yang diucapkan oleh Pak Arthur.

Aku rasa, keduanya sama-sama baik dan ingin berusaha melindungiku dengan berbagai cara. Apalagi setelah mendengar cerita Jane, aku yakin bahwa dia bukanlah sosok jahat yang ingin menyakiti manusia. Benar ucapannya. Setiap sosok pasti beraktivitas layaknya manusia. Hanya saja, waktu itu aku tak sengaja mendengar dia sedang bermain piano. Aku kira, itu adalah gangguan tak mengenakan walau rupanya, Jane tak berniat untuk itu. Dia hanya ingin agar aku tahu bahwa di rumah ini, tak hanya ada aku dan Albert saja. Dia ingin memberitahuku bahwa sosok-sosok seperti dirinya itu ada, walau cara penyampaiannya cukup membuatku takut dan tak bisa tidur dengan tenang.

"Kevin? Mengapa kau melamun?"

...

Bab berikutnya